Mohon tunggu...
KOMENTAR
Financial

Kenapa Garuda Rugi?

25 Oktober 2022   08:24 Diperbarui: 25 Oktober 2022   08:26 215 1
Kenapa Garuda Rugi?

#catatan_RV

Dalam sebuah penugasan, saya dan tim berkunjung ke salah satu perusahaan BUMN. Usai urusan tugas, kami berkesempatan berbincang santai dengan General Manager (GM) BUMN tersebut.

Karena suasana yang cair dan akrab, saya pun tergelitik ingin bertanya pasal dua BUMN yang kerap jadi buah bibir masyarakat: Pertamina dan Garuda.

Kenapa jadi buah bibir? Karena keduanya dikabarkan selalu merugi. Padahal, dalam pemahaman awam, dua perusahaan plat merah itu tak mungkin rugi.

Garuda tiketnya mahal, dan terlihat selalu penuh. Harusnya untung.

Demikian pula Pertamina. Masyarakat tak habis pikir kenapa bisa rugi. Sebab tak punya pesaing, jualannya selalu habis, pembeli tidak pernah hutang. Harusnya untung besar. Pedagang bensin eceran yang nota bene beli dagangannya dari Pertamina saja selalu untung, kok. Kenapa Pertamina malah rugi?

Itu yang kemudian saya tanyakan. Saya yakin GM ini tahu jawabannya.

Oya, sebelumnya perlu saya tegaskan, BUMN yang kami datangi ini termasuk yang sehat, selalu untung. Tiap tahun selalu bisa membagikan dividen (laba) kepada pemerintah sebagai pemegang saham utama.

Sang GM menjawab pertanyaan saya panjang lebar, begini.

Garuda rugi karena memang biaya operasionalnya sangat tinggi. Pendapatan tak mampu menutupi biaya operasional tersebut.

Kenapa tinggi? Karena mereka memilih menjadi maskapai dengan standar pelayanan prima (premium service) yang konsekwensinya berbiaya tinggi. Mereka juga menjaga image sebagai maskapai yang selalu 'ontime', anti 'delay'.

Di sisi lain, mereka tidak bisa menjual tiket terlalu mahal karena akan ditinggal penumpang.

Jika terlalu mahal, penumpang mereka dipastikan beralih ke kompetitor, yaitu maskapai 'low cost' yang tiketnya murah. Meskipun ada risiko sering 'delay'.

Kompetitor bisa jual tiket murah karena mereka memang tidak berkonsep premium service sebagaimana Garuda.

Mereka juga 'cuek' saja jadwal flight sering 'delay' bahkan kadang bisa tiba-tiba batal.

Sang GM menguraikan perbandingan biaya operasional Garuda dengan maskapai-maskapai 'low cost' itu.

Garuda memilih beroperasi di terminal 3 Bandara Soetta. Biaya boarding penumpang untuk tiap penerbangan di sana enam juta rupiah. Sedangkan maskapai lain memilih di terminal 1 atau 2 yang biayanya cuma sepertiganya. Jauh lebih hemat.

Garuda selalu menggunakan garbarata (lorong untuk penumpang naik/turun pesawat). Untuk itu, tiap penerbangan membutuhkan biaya sewa garbarata1,5 juta ketika berangkat dan 1,5 juta di bandara tujuan.

Sementara, maskapai lain tidak menggunakan garbarata. Penumpang hanya menggunakan tangga untuk naik/turun pesawat. Juga harus jalan kaki dari/menuju terminal. Kadang kepanasan kadang kehujanan.

Lalu, Garuda menyediakan makan di kabin. Untuk satu orang penumpang biayanya 75 ribu. Sementara maskapai lain tidak menyediakan, walau sekedar air mineral kemasan gelas sekalipun.

Dan, terakhir, ini yang paling besar biayanya, Garuda menyediakan 5 pesawat 'standby' supaya tidak ada penerbangan delay.

Artinya, lima pesawat tersebut disewa sangat mahal tapi tidak menghasilkan sama sekali, karena hanya menjadi pesawat cadangan untuk mengantisipasi ada pesawat yang berhalangan, agar tidak terjadi 'delay'.

Itu lah sebabnya Garuda terkenal tidak pernah 'delay'. Karena, begitu ada pesawat yang terkendala untuk terbang, langsung dikerahkan pesawat pengganti.

Sementara, maskapai lain tidak begitu. Mereka tidak punya armada cadangan. Kalau pesawat terkendala, maka terjadilah 'delay'. Satu penerbangan 'delay' pasti akan berrentet pada jadwal-jadwal penerbangan selanjutnya. Bahkan tak jarang ada yang terpaksa dibatalkan.

Dari beberapa item itu saja sudah terlihat betapa jauh lebih mahalnya biaya operasional garuda dibanding kompetitor. Sementara, ia "dipaksa" untuk tetap hidup karena satu-satunya 'simbol' negara di bisnis transportasi udara.

Itu lah pejelasannya kenapa Garuda merugi. Singkatnya, karena persaingan yang tidak simetris dengan kompetitor, tutup sang GM.

Saya pun mengangguk-angguk paham. Penjelasan yang sangat jelas dan masuk akal, batin saya.

Lantas, Pertamina, bagaimana penjelasannya? Kenapa selalu merugi?

Belum sempat sang GM menjawab, saya mendapat "panggilan alam." Ketika panggilan selesai saya tunaikan, kesempatan melanjutkan diskusi tak ada lagi.

Disclaimer:
Angka-angka di atas mungkin tidak persis seperti yang diucapkan sang GM saat itu, karena saya lupa, maklum obrolan santai, tidak dicatat. Tapi gambarannya lebih kurang demikian.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun