Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Dua Media Online Ini Memuat Berita Menyesatkan

12 Maret 2014   12:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:01 207 1
(Tulisan ini juga saya posting di Suara Nurani)

Pada era demokrasi seperti sekarang ini, kehadiran berbagai media masa, sebagai tanda kebebasan pers, tidak bisa dihindarkan. Ini terbukti dengan bermunculannya ratusan surat kabar harian, tabloid dan majalah. Selain itu, tumbuhnya stasiun-stasiun televisi baru, baik lokal maupun nasional, juga menjadi pertanda berkembangnya sistem demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia.

Pertumbuhan dan kemajuan teknologi internet, menjadi pendukung lahirnya media masa online. Masyarakat dimanjakan oleh kemudahan mengakses berbagai media online.

Atas hal itu, mau tidak mau, sadar atau tanpa sadar, media masa memiliki pengaruh yang besar bagi masyarakat. Opini yang terbangun dalam masyarakat, sangat ditentukan oleh informasi yang tersaji oleh media masa.

Selain mempengaruhi opini masayarakat, media masa juga mengenalkan banyak kosa kata dan istilah kebahasaan. Melalui kosa kata yang dipakai oleh media masa, masyarakat semakin akrab dengan istilah atau kosakata tertentu yang semula asing atau belum ada.

Istilah “dangdut”, awalnya digunakan oleh Tempo melalui wartawan Putu Wijaya. “Dangdut” yang dipakai Putu untuk menyebutkan jenis musik yang berornamen kendang dan dangdut, semakin diakrabi dan akhirnya biasa digunakan oleh masyakat.

Setelah tahun 1998, media masa semakin besar peranannya dalam mempengaruhi opini masa dan pengenalan istilah-istilah baru. Kata-kata yang awalnya terasa asing, menjadi kata yang semakin sering digunakan bukan hanya dalam penulisan di media masa, namun juga dalam pembicaraan sehari-hari.

Saking dianggap penting dan besar peranannya bagi masyarakat, media masa terkadang luput dari sensor kualitas dan ketepatan. Luput dari sensor kualitas dan ketepatan yang saya maksud tentu saja adalah dari segi isi berita maupun dari pemilihan kata yang digunakan, yang sering kali tidak mencerminkan kebenaran publik.

Anda tentu masih ingat, kasus kesalahan diksi yang digunakan oleh Kompas.com saat mengulas tindakan tidak senonoh yang dilakukan penyair Sitok Srengenge. Kata “Teman tapi Mesra” yang digunakan wartawan dan redaksi Kompas.com untuk menggantikan wanita yang menjadi korban, bukan saja tidak tepat secara bahasa, tetapi juga jika dilihat dari logika.

*

Kompas.com tidak sendirian. Agaknya dalam kasus menabrak logika kebenaran publik, media online memang rajin melakukannya. Seperti tulisan yang baru-baru ini saya temukan pada sebuah media online. Cobalah amati kata-kata pada paragraf pertama berita berjudul Nikahi Vita KDI, Supiah Hadi Ditawari Jadi Artis.

Jakarta-Kasus dugaan pernikahan tidak sah antara Supian Hadi yang merupakan Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) Kalimantan Tengah dengan Novita Anggraeni atau Vita KDI memberi berkah tersendiri buat sang bupati.

Sekilas, kalimat ini terasa biasa-biasa saja. Namun, bila diamati pemilihan kata yang tertulis di sana, sangat bertentangan dengan kebenaran publik. Kata “memberi berkah” apakah layak digunakan untuk sebuah “pernikahan tidak sah“?

Sejak kapan pernikahan tidak sah dianggap mengundang berkah? Saya yakin masyarakat mana pun, kelas sosial apa pun, suku dan agama manapun, berkeyakinan bahwa pernikahan itu harus dilakukan secara sah. Dalam artikel ini pernikahan tidak sah, justru dianggap membawa berkah.

*

Kasus Kompas.com dengan TTM-nya cukup membuat saya salut pada akhirnya. Karena dari yang saya baca, redaksi yang meloloskan artikel yang memuat "TTM-nya SS", mengundurkan diri. Pun artikelnya dihapus dari kanal Kompas.com. (Benarkah sudah dihapus? Atau saya yang keburu tidak kebagian link-nya?)

Hal yang membuat saya prihatin adalah pada berita kedua. Kira-kira sebulan lalu, saya sudah memposting komentar di bawah artikel itu. Saya tuliskan saran yang intinya mengatakan bahwa sebaiknya wartawan dan redaksi berhati-hati dalam memposting artikel, berhati-hati dalam penggunaan diksi agar tidak menyesatkan masyarakat.

Saya juga mengajukan saran, bahwa kata “memberi berkah” bisa saja diganti “membawa dampak lain”. Tetapi, hingga artikel ini saya tulis lalu sekarang saya posting, redaksional dalam artikel tersebut masih belum berubah. Bahkan komentar saya tidak terlihat. (Apakah memang komputer saya yang eror?)

Lebih prihatin lagi, setelah saya telusuri situs berita ini ternyata beralamat di Banda Aceh. Sebuah kota yang berada dalam propinsi yang istimewa, pun menerapkan syariat Islam bagi masyarakatnya. Pertanyaan atau renungan kritis saya adalah: Apakah Aceh mencoba sedang mencoba keluar dari syariat Islam, sehingga media masanya dibiarkan saja memposting berita 'pernikahan tidak sah yang memberi berkah'?

Memang kata-kata yang digunakan dalam dua kasus tadi, akan dinilai sebagai berita sampah. Sebab sudah jelas berisi gosip yang tidak berguna untuk Anda dan saya yang sering mengaku sebagai orang cerdas. Konsumen berita-berita gosip semacam itu adalah masyarakat berpola pikir tidak sehebat kita. Maka saya dan Anda mungkin saja langsung paham, bahwa itu menyesatkan dan tidak akan mempedulikannya.

Namun, saudara-saudara kita yang tidak sekritis dan secerdas kita, sangat mungkin akan disesatkan oleh berita-berita dengan redaksional yang keliru semacam itu. Tidakkah Anda peduli kepada mereka?

***

Tulisan Lainnya Soal Media Masa:

Apa Kalimat yang Sangat Sering Ditulis Wartawan?

Ahmad Tohari Sambut Baik "Jimat NU"

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun