Sudah banyak buku yang membahas soal Gus Dur. Sisi pembahasannya pun beragam, seperti pemikirannya yang mencintai universalitas, kepemimpinannya dalam dunia politik dan pemerintahan, maupun bagaimana Gus Dur berkiprah bagi dunia Islam dan kebangsaan.
Pembahasan-pembahasan soal Gus Dur yang walaupuan dilakukan terus menerus, tak pernah menyebabkan kebosanan. Justru sebaliknya, semakin lama dan banyak dibahas, semakin menarik. Orang yang semula tak kenal, apalagi yang terheran-heran dengan sosok Gus Dur, menjadi mahfum. Dan yang sudah kenal menjadi semakin cinta.
Gus Dur tampaknya memendam simpanan kisah yang selalu tersedia untuk dibicarakan, menyimpan potensi cerita yang tak pernah habis untuk ditulis. Wajarlah bila setiap tahun berbagai judul buku dan tulisan Gus Dur dari banyak penulis, diterbitkan.
Akhir 2014 lalu misalnya, “Presiden Gus Dur The Unthold Stories” terbitan Kepustakaan Populer Gramedia diluncurkan. Penulisnya, Priyo Sambadha, seorang staf Istana Kepresidenan RI, punya segudang kisah unik yang sengaja ia tuangkan dalam buku ini. Dalam buku ini, tentu saja Priyo yang telah berpengalaman selama 14 tahun sebagai staf Kepresidenan sejak era Presiden Soeharto, membeberkan pengalamannya selama Gus Dur menjadi Presiden.
Dalam sambutannya pada acara Haul ke 5 Gus Dur di Ciganjur Jakarta Selatan akhir Desember 2014, Priyo menegaskan bahwa buku ini jauh dari pembahasasn politik kenegaraan. Padahal ia adalah ‘orang istana’ dan Gus Dur adalah seorang Presiden. Lalu apa yang Priyo kisahkan dalam bukunya?
Diawali dengan Bab 1 “Kedatangan Presiden Baru di Istana” Priyo pun memulai ceritanya. Sore itu ia dan sejumlah staf Kepresidenan dan Paspampres, menyambut kedatangan Presiden dalam rangkaian acara yang ia pikir akan berlangsung kaku dan formal seperti penyambutan terhadap Presiden sebelumnya.
Semua perangkat presiden tidak ada yang bersuara. Semua tegang menyambut presiden baru. Wartawan mulai memuntahkan amunisinya. Kilatan cahaya lampu blits mulai menghujani Presiden dan Ibu Negara.’
“Ayooo…. Cepat, buka dong pintunya! Seperti apa sih Presidennya?” teriak saya dalam hati.
Beberapa saat kemudian yang terasa bagai seharian itu, saat yang dinanti pun tiba. Pintu mobil dibuka Paspampres dengan takzim. Darah saya berdesir lebih keras.
Eeeng ing eeeng…!!! Taaraaaaa….!!!!
Saya saksikan, seorang lelaki dengan perawakan gemuk duduk dengan santainya di jok mobil yang dilapis kulit pilihan. Posisi duduknya yang agak melorot membuat kemeja putih yang ia kenakan berlipat-lipat dibagian punggungnya. Tanpa jas, tanpa dasi. Ia lebih Nampak seperti pegawai atau karyawan pada umumnya. Bahkan saat itu ia langsung mengingatkan saya pada Pak RT di kampung yang sering tanding catur dengan saya.” (halaman 9)
Cerita pun bergulir ke arah penyambutan yang tak seperti biasanya, karena kali ini berlangsung lebih cair. Justru ketegangan muncul dari para staf Kepresidenan yang selama ini membayangkan dan mengalami betapa formal, ribet dan repotnya acara penyambutan terhadap seorang Presiden, yang tidak terjadi pada acara penyambutan terhadap Presiden Gus Dur.
Tidak ribet dan tidak formal yang boleh dialami oleh para staf Keprisidenan seperti saat penyambutan, juga biasa terjadi selama Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. Seperti beberapa waktu kemudian, saat persiapan pengambilan foto Presiden yang berlangsung dengan ‘tantangan’. Disebutkan oleh Priyo acara pengambilan foto Presiden sudah disiapkan matang itu, menghadapi persoalan sederhana namun serius karena jas yang dikenakan Presiden tampak kusut. Ia dan putri Presiden, Yenny Wahid, sudah bahu membahu mengatasi kekusutan jas itu. Sampai tiba pada kesimpulan bahwa jas Presiden harus segera distrika.
Seorang staf lalu pontang-panting mencari strika. Betapa menemukan strika di dalam istana bukanlah hal yang mudah. Beberapa menit Presiden harus menunggu. Priyo dan para staf menjadi panik. Untunglah strika itu ditemukan. Persoalan belum selesai, sebab kabel yang menghubungkan strika dengan listrik kurang panjang. Kabel sambungan harus didapatkan. Kembali staf Kepresidenan pontang-panting mencari kabel sambungan. Pun dengan waktu yang tak sebentar.
Keadaan ini membuat Priyo dan semua staf menjadi semakin panik. Priyo menduga-duga Presiden pasti akan sangat marah dan para staf berhak atas hukuman yang berat. Masa Presiden disuruh menunggu strika dan sambungan kabel? Logika ini saja sudah membuat semua staf dihantui ketakutan.
Tetapi dugaan dan ketakutan mereka sama sekali tak terbukti. Dengan sabar bahkan santai Presiden menunggu. Tidak mengeluh sedikit pun, tidak menyalahkan siapa pun. Walaupun para staf masih saja dilanda kepanikan. Setelah kabel sambungan itu ditemukan, saatnya bertanya: Siapa yang akan menyetrika? Para staf dan ajudan Presiden adalah para pria yang kurang biasa dengan urusan menyetrika. Sebelum ada perintah, Ratih Hardjono, Sekretaris Presiden mengajukan diri (halaman 35).
Begitulah potongan kejadian yang diceritakan Priyo dalam bab 3 “Sesi Foto Resmi Kepresidenan”. Masih ada 6 bab lain dalam buku yang ditulis secara santai dan apa adanya ini. Cerita Presiden Gus Dur menundukkan para demonstran dalam Bab 2: “Presiden Terima Demonstran,” Kisah Priyo memakan roti Presiden dalam Bab 4: “ Cerita dalam sepotong Roti, Presiden menyambut kunjungan berbagai kalangan dalam Bab 5: “Istana Rakyat”. Kemeriahan atau keakraban keluarga Gus Dur dalam Bab 6: “Suasana Baru di Istana.” Gaya kepemimpinan Gus Dur yang diwarnai banyak irama dalam bab 8: “Simfoni nomer 9”.
Dalam buku ini, sesuai dengan judulnya mengupas hal-hal yang sangat jarang diketahui oleh masyarakat bahkan para wartawan. Kejadian-kejadian unik dikisahkan dengan menarik oleh Priyo selama menjadi orang dekat Presiden. Mungkin karena kedekatan itu pula-lah, Priyo dalam bab 7 “Wali allah”, menceritakan pertanyaannya kepada Gus Dur, perihal apakah Gus Dur itu wali.
Selama ini Priyo telah tahu bahwa banyak orang yang menganggap Gus Dur adalah seorang wali. Dan Priyo sangat tahu bahwa wali yang sebenarnya tidak akan mengatakan kepada orang awam tentang kewaliannya. Saking penasarannya, Priyo memberanikan diri secara langsung kepada Gus Dur. Saat itu beberapa tahun setelah Gus Dur telah turun dari jabatan Presiden. Priyo menemani Gus Dur yang sedang dirawat di rumah sakit.
Dengan hati-hati, Priyo mengajukan pertanyaannya yang diucapkan dalam bahasa Jawa:
“Gus, banyak orang percaya bahwa Anda itu seorang wali. Mohon maaf, benarkah itu?”
Mendengar pertanyaan saya yang sensitife itu, Gus Dur mendadak terdiam sejenak.
Waduh, jangan-jangan telah berani lancangaku ini!
“Sampeyan bener mau tahu Mas….?” Jawab Gus Dur serius.
“Nyuwun duko, inggih Gus atau: Maaf, iya Gus,” jawab saya lirih dan ragu.
Sesaat kemudian, keluar jawaban Gus Dur yang langsung dan to the point.
“Iya Mas, itu bener….” Tegas Gus Dur dengan pelan namun mantap.
Wajahnya tetap mghadap langit-langit kamar rumah sakit yang berwarna pucat.
Mungkin sepucat wajah saya saat itu.
Hening….
Ya allah, merinding seluruh badan saya. Dada saya sesaat terasa sesak. Lidah saya kelu.
Tiba-tiba Gus Dur menyambung lagi.
“Saya memang wali. Wali murid! Hehehe…” (halaman 124)
Maka begitulah Presiden Gus Dur The Untold Stories karangan Priyo Sembadha sekali lagi melengkapi pemahaman kita tentang sosok Gus Dur.
Untuk menyimak versi suara dari artikel ini silakan dibuka di sini