Bahwa setiap calon presiden memiliki misi dan program yang, katanya, pro rakyat dan membela kepentingan nasional, itu memang sudah selayaknya orang berkampanye. Tapi, pernahkah kita berpikir siapa sesungguhnya pelaksana semua program itu? Yang sebenar-benarnya pelaksana? Yang karena kedudukannya "terpaksa" harus tunduk kepada kebijakan baru yang memaksa mereka bekerja dari nol lagi ?
Contoh paling nyata dari gonta-ganti program ini adalah pemberlakuan kurikulum untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. Belum lagi jeda waktu sosialisasi kurikulum 2013 selesai, di penghujung tahun 2014 bisa saja akan ada kurikulum baru. Dan yang paling bertanggungjawab atas suksesnya penerapan kurikulum baru itu, tentu saja guru dan penyelenggara pendidikan sebagai titik temu paling alamiah antara warga dengan pemerintah. Guru akan menjawab semua keluhan rakyat tentang "apa", "kenapa", dan "bagaimana" kurikulum baru, dan sisi lain guru berhadapan dengan "pimpinan tertinggi", melalui struktur jabatan pemerintahan, yang menuntut agar kurikulum itu HARUS dapat diterima warga.
Singkatnya, pegawai negeri secara politis, tidak memiliki kepantingan apapun, karena mereka bekerja sesuai ketentuan yang telah digariskan. Tidak ada ruang "kebijakan", yang ada hanya ketaatan terhadap peraturan yang dibuat oleh para politikus. Lagipula, pegawai negeri sesungguhnya alergi terhadap dunia politik, tempat di mana aturan bisa dipelintir, dan undang-undang bisa dipesan. Para "pelayan negeri" ini, telah terbiasa bekerja dalam koridor yang baku dan standar. Semuanya harus sesuai ketentuan, jika tidak maka sanksi administratif dan bahkan sanksi pidana telah menunggu. Berbeda dengan politik yang " bila tidak sesuai ketentuan, rubahlah ketentuan itu, agar sesuai sesuai kepentingan kita"
Bagaimana dengan rakyat? Ahhh.....rakyat sibuk dengan urusan perut mereka masing-masing. Nggak sempat mikir yang beginian.............
......Midnight in Babang