Kondisi ini berangsur-angsur makin meredup seiring dengan menurunnya kapasitas produksi minyak dan gasnya. Sehingga kata orang yang dulu menikmati , sekarang ini kondisinya bagai bumi dan langit walau masih tetap lebih baik dari daerah lain.
Dulu sempat terpikir, bisahkah suatu saat saya menjadi orang nomor satu di kabupaten tempat lahirku ini, rasanya tidak mungkin terjadi. Dan reformasi telah mewujudkan impian masa lalu. Dengan semangat berbakti dan berkat bantuan kerabat serta para " sahabat " yang kebetulan menjadi pengusaha (putih bahkan hitam) semua urusan menjadi sangat mudah dilalui. Resmilah menjadi Bupati yang terhormat (photo profil kayaknya cocokkan ).
Menjadi Bupati yang jauh dari Jakarta ternyata sangat memuaskan, semua serba nomor satu bahkan sholat di mesjidpun sudah diatur. Protokoler dari kamar sampai kantor, dimanapun selalu menyertai sesuai jadwal kegiatan bahkan buka pintu mobilpun tak sempat, tahunya tinggal duduk dan senyum.
Kalau sebelumnya selalu bebas tanpa ada yang mengatur, perubahan tatacara berkomunikasi dan jadwal kegiatan dari subuh sampai larut malam pada minggu kedua seolah-olah menjadi neraka. Jadwal kegiatan yang sudah diatur bahkan kadang -kadang saya tidak tahu ada acara apa dan dimana, harus tetap dilaksankan. Ironinya ketemu istri dan anakpun menjadi susah.
Sampai 3 bulan pertama sebagai Bupati, serasa masih demam panggung. Masih belum terfkirkan apa yang harus dilakukan. Hari-hari awal masa jabatan hanya diisi oleh kegiatan silaturahmi ke gubernur, silturahmi dengan Muspida, tokoh masyarakat, pemuda dan LSM. Kalau dengan para pendukung jangan ditanya mereka selalu sudah menunggu dari pagi sampai malam diruangan lain tentunya.
Akhir bulan ketiga barulah saya tahu ada yang harus segera saya kerjakan, perlahan tapi pasti semua SKPD menjadi kotributor yang baik dan siap dimarahi karena saya sudah mulai merasa mengerti masalah yang harus dikerjakan. Semua SKPD segera rapat dan menyusun program yang harus disampaikan untuk disahkan oleh Anggota Dewan menjadi APBD-P, sedangkan APBD murni memakai anggaran lama karena pelantikan Bupati tertunda menunggu fatwa MK dan KPU akibat protes dari patina yang kalah. Itupun menjadi berkah sehingga bisa belajar lebih lama, atas info yang dibisikan dari para staf ahli dan staf pribadi tentunya.
Baru saya tahu , ternyta dalam penyusunan DUP yang disusun SKPD, sebagian besar adalah masukan dari keluarga, anggota dewan dan sahabat yang membantu financial pada waktu kampanye. Sebagian besar mereka adalah para politisi dan pengusaha anggota asosiai tertentu. Rasanya memang kalau tanpa bantuan politik dan keuangan mereka mustahil jadi Bupati.
Dengan sedikit penekanan dan arahan, semua SKPD serta Asosiasi yang terlibat dalam kegiatan semua bisa dikondisikan dan diakomodir, semua senang dan kebagian jatah proyek. Saya juga dibisiki Ketua Panitia Lelang yang bersertifikat resmi bahwa semua sudah diatur dan sudah biasa. Toh kalau ada temuan ( istilah tim lelang) yang diperiksakan adminstarsinya yang lain seperti biasapun telah diatur. Anggota Dewan, Inspektorat dan teman lainnya sudah dikondisikan dan lelangpun dimulai, dengan pemenang sesuai scenario yang sudah diatur dan tentu "setoran" sudah mulai masuk.
Beruntung jadi Bupati yang berbatasan dengan Ibukota propinsi, ternyata banyak "masukan" yang tidak semuanya dimasukan ke PAD, ataupun bila dimasukan ke PAD toh yang mahalkan ijinnya. Puluhan titik billboard segera menanti, ratusan tower komunikasi dari berbagai provider menunggu untuk memberi kenang-kenangan begitu pula saat pembebasan lahan untuk perumahan. PAD meningkat pendapatan pribadi juga meningkat dengan sendirinya. Pantas patina enggan melepas jabatan dan banyak yang kepengen jadi Bupati. Sebenarnya masih banyak pendapatan yang bisa didapat Bupati, kalau diuraikan disini rasanya perlu banyak halaman dan bisa dijadikan bahan persoalan LSM, Jaksa dan KPK untuk memeriksa kolega bupati lainnya .
Tanpa terasa tahun pertama sebagai Bupati sudah terlewatkan , rasanya 24 jam tidak cukup untuk bersuka. Kenyamanan jabatan tidak berlangsung lama, karena saya putra daerah asli yang dan satu-satunya dari keluarga yang menjadi pejabat, maka banyak ninik mamak dan keluarga besar, saking sayangnya selalu memberikan informasi postif dan negative serta semua bisik tetangga dan isu akhirnya terdengar juga.
Mereka mengeluhkan sekolah, rumah sakit, pasar dan jalan banyak yang rusak tapi tidak diperbaiki. Dengan muka memerah karena malu dan menahan amarah karena ditegur keluarga besar yang peduli, segera saja semua SKPD dikumpulkan, rapat.
Dari hasil rapat diketahui bahwa infrastruktur yang rusak sebagian besar memang warisan dari pemerintahan Bupati sebelumnya dan berada agak dipinggiran bukan juga daerah yang menjadi pendukung pilkada. Hanya saja daerah tersebut merupakan daerah kawasan ekonomi dengan kegiatan industri manufaktur dan jalan lintasan untuk kegiatan ekspor impor hasil pertanian menuju kepelabuhan dan berfungsi juga sebagai jalan utama tranportasi antar kota antar propinsi.
Setelah didata dan dihitung, menyelesaikannya dibutuhkan anggaran pembangunan sebesar Rp. 125 miliar hanya untuk jalan saja belum termasuk ruang kelas, pasar dan rumah sakit. Bahkan akibat kelalaian para birokrat tanpa disadari sudah banyak pabrik yang tutup dan pemutusan hubungan kerja dengan karyawannya akibat kondisi infrastruktur yang tak kunjung baik.
Tidak terfikirkan sebelumnya bahwa APBD sebesar Rp.500 miliar tidak cukup untuk menyelesakan perbaikan infrastruktur nonrecovery yang ada. Ternyata lebih dari 50 % dipakai untuk biaya rutin termasuk gaji pegawai PNS dan honorer titipan para stakeholder dan 20 % disetor untuk Diknas, sisanya < 30 % untuk belanja pembangunan yang dibagikan ke 14an SKPD. Berarti setiap SKPD rata-rata hanya mendapatkan Rp. 150 miliar/14 SKPD kurang lebih sama dengan Rp.10,70 miliar. Berarti untuk perbaikan jalan pertahun hanya tersedia anggaran sebesar 10 % saja atau angaran nya kurang Rp.112,30 miliar. Maka secara terpaksa alokasi untuk dinas yang lain dikurangi untuk dialihkan ke jalan, sehingga SKPD bidang PU mendapat prioritas lebih dulu walaupun totalnya hanya Rp.45 miliar saja.
Untuk mengatasi masalah kurangnya anggaran, dibentuklah TIM INVESTASI yang tugasnya mempelari semua regulasi yang ada. Ternyata didalam UU 32/2004 OTDA dan UU 33/2004 Perimbangan Keuangan serta PP dan Permennya, bukan penyelesaian masalah yang didapat malah membuat saya sebagai Bupati putus asa.
Masalahnya yang membuat saya putus asa adalah sebagai berikut :
1) Pada UU 32/2004 OTODA ternyata kewajiban dalam pembagian tugas dan wewenang, masih banyak yang selama ini belum maksimal tersentuh.
2) Keterbatasan DAU sebagai daerah yang mempunai SDA kecil dan hampir habis sulit untuk mendapatkan DAU yang lebih besar.
3) DAK yang diharapkan tidak turun sama sekali sebagaimana usulan yang disampaikan ke Depdagri, Depkeu dan Bappenas, katanya tidak memenuhi syarat. Padahal kabupaten lain setiap tahun mendapatkan DAK melebihi yang diminta. ( kabarnya pake CALO)
4) Melakukan kerjasama dengan pihak ketiga dengan anggaran multiyear menjadi bumerang, karena Bupati sebelumnya dicurigai kongkalikong dengan kontraktor. Bahkan untuk proyek yang diprediksi menghasilkan PAD mengikuti Perpres 67 pun batal dilakukan.
5) Pinjam dari Bank sebagaimana amanat UU pun tidak bisa dilakukan, karena rencana pinjaman yang berjumlah Rp.100 miliar setelah dihitung tidak akan mampu dikembalikan kalau mengacu kemasa sisa masa jabatan, tinggal 3 tahun. Kalau pun dipaksakan berarti setiap tahun pemda harus bayar ke bank sejumlah Rp.136 miliar atau Rp.41,6 miliar pertahun, berarti selama sisa masa jabatan beberapa SKPD mengalami stagnasi akibat minimnya anggaran belanja pembangunannya.
6) Ada usulan dari staff yang mempunyai latar belakang pendidikan ekonomi dan dulunya pernah bekerja di Bursa Efek sebagai pialang, untuk mengeluarkan Obligasi Daerah / municipal bond katanya bisa dipergunakan untuk pembangunan infarstruktur. Setelah didalami ternyata hanya bisa dipergunakan untuk Infrastruktur recovery atau Infrastruktur yang menghasilkan, misalnya PDAM dan jalan Tol. Kalaupun dikeluarkan tidak juga bisa dipakai karena tidak mungkin membangun atau meningkatkan kapasitas PDAM, sekarang saja disubsidi karena merugi akibat kebocoran teknis dan administrasi yang besar. Membangun Jalan Tol nilai ekonomisnya tidak tercapai. Dan apalagi UU mensyaratkan laporan keuangan harus 3 kali berturut " wajar tanpa sayarat", sedangkan selama ini selau dinilai disclaimer.
Akhirnya rapat dengan SKPD menjadi sia-sia, karena tidak ada cara yang bisa dilakukan bagi kabupaten saya yang BUKAN tergolong DAERAH TERTINGGAL. Dapat dibayangkan bagaimana bupati daerah tertinggal akan bisa mengentaskan dan meyelesaikan infrastruktur untuk kebaikan dan kesyejahteraan rakyatnya, kalau sarana prsarana pendidikan dan rumah sakit yang berguna dalam pembangunan SDM tidak bisa dipenuhi dengan baik. Demikaian juga bila sarana prasarana ekonomi yang menunjang pendapatan dan membuka lapangan kerja tidak bisa diperbaiki apalagi dibangun baru, jangan berharap rakyat akan berpenghasilan lebih besar dari US $ 1 dollar (batas kemiskinan BPS).
Alhamdulillah azan subuh memnyentakan saya dari mimpi, selamatlah saya dari hujatan dan pemeriksaan Jaksa dan KPK. Idealisme hanya tinggal diadalam hati dan menyakitkan, ternyata kalau jadi bupati pusing setengah mati.
Tapi kenapa mereka berebut dengan segala cara untuk menjadi Bupati ? Allah lah yang tahu isi ati dan rencana manusia, semoga Allah memberikan para pemimpin yang bijak dan paham dalam membuat regulasi demi Bangsa Indonesia yang besar ini, bukan UU pesanan yang akan menghancurkan.