Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Musik Langgam Jawa dan Campursari Hanya untuk Pesta Pernikahan?

20 Agustus 2015   06:53 Diperbarui: 4 April 2017   18:21 625 16
Pada saat-saat tertentu bahkan pada siang menjelang sore pun, penulis sering memutar dan tentu saja melantunkan dan ngura-ura lagu-lagu Jawa, seperti: Jago Kluruk, Pak Rebo, Kembang Glepang, Ketawang Ibu Pertiwi,atau lagu-lagu dolanan serta klenengan yang lembut mendayu.
Herannya tanggapan para tetangga kadang rada aneh menurut penulis. “Mau mantu ya Mbah, kok mutar tembang Jawa?” Demikian juga saat mutar lagu ini di sekolah setelah semua siswa pulang dan tinggal para guru dan karyawan yang harus menyelesaikan tugas, mereka selalu nyeletuk: “Waduh…yang mau mantu dan tanggapan…“ Dalam hati penulis cuma ngedumel ‘memang lagu Jawa hanya untuk orang yang akan mengadakan pesta perkawinan?’
Keadaan seperti juga dialami penulis saat di Sleman ( Gejayan dan Condong Catur ), Kebumen, Gombong, dan Batu Retno. Memutar lagu Jawa seperti bukan sesuatu yang biasa lagi. Generasi telah berganti, jaman telah berubah, selera pun berbeda, dan semua ada waktunya. Tetapi apakah budaya lokal harus terpinggirkan?
Sore hari di depan taman pusat Kota Solo sambil menikmati soto kaki lima, di mobil penulis memutar lagu-lagu dolanan dari rekaman RRI Surakarta. Penulis pun ikut menyanyikan lagu dolanan anak-anak dengan syair seperti ini:

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun