Tiga jam menjelang perayaan dan pesta perkawinan Tono dan Tini, tiba-tiba saja langit yang cukup cerah dengan sedikit mendung berubah menjadi mendung tebal disertai angin yang cukup keras. Tenda biru sebagai penutup dapur di belakang rumah mulai tersingkap. Titik air gerimis mulai menghujam bumi. Pak Karman, bapaknya Tini dan Bu Darmi, ibunya Tini selaku yang empunya hajat mulai kuatir.
Mbah Karyo, buyutnya Tini yang berasal Kebummen juga merasakan kegelisahan ibunya Tini. Apalagi saat mendung mulai berganti dengan hujan yang cukup deras. Beberapa sinoman yang ada di depan mulai kelabakan mengatur meja dan hidangan yang basah karena bocornya tenda serta hempasan air hujan yang dibawa masuk oleh angin.
Setengah jam menjelang hujan masih mengguyur. Wajah-wajah kuyuh mulai menghiasi beberapa panitia pesta tersebut.
Di ruang tengah ibunya Tini yang gelisah sedikit mengeluh entah kepada siapa sambil bergumam: ‘ Wah kepriye iki…..’Wah….gimana ini?
Mbah Karyo yang pandai membaca bahasa tubuh putrinya, segera menuju kamarnya. Mbah Jinem, salah satu warga yang sering membantu hajatan ( sekalipun tidak dimintai tolong ) juga keluar dari sentong lalu menuju belakang rumah dekat lumbung. Paklik Halim, adik Bu Darmi lalu berjalan menuju kamar belakang, tempat ia dan keluarganya menginap.
Beberapa saat kemudian, dari dalam kamar Mbah Karyo keluar asap mengepul dengan bau khas kemenyan yang segera memenuhi seluruh rumah dan halaman rumah.
Di belakang rumah, Mbah Jinem menaruh sebuah sapu lidi dengan menghadap ke atas. Dan di atas genting dapur ditaruhnya sebuah celana dalam wanita entah milik siapa. Sambil komat-kamit dia menghadap ke langit serta mengayunkan jari telunjuk dan tengah ke arah timur dan barat.
Di kamar belakang, Paklik Halim bersimpuh dalam keheningan doa memohon agar hujan segera reda dan perayaan berjalan lancar.
Beberapa ibu biadan ( yang membantu persiapan perjamuan ) mengambil sebuah lidi yang diberi sebuah cabai rawit, sesiung bawang merah, lalu sambil membaca doa lidi tadi ditancapkan di tanah dengan menghadap ke atas.
Sesaat kemudian hujan dan angin mulai reda, sekalipun masih mendung. Hingga jam sepuluh malam, hujan tak turun lagi selain gerimis. Pesta berjalan dengan lancar dan tamunya pun mbanyu mili ( mengalir )
Setelah pesta selesai, beberapa orang berbincang dengan kelompoknya masing.
Parmin : “ Mbah Karyo memang pandai. Sudah sering dia menjadi pawang hujan. Waktu aku mantu dulu yang nolak hujan ya Mbah Karyo…..”
Parti : “ Mbah Jinem sekalipun dukun bayi dia juga bisa nyirep ( meredakan ) hujan….”
Yu Ngatinem : “ Untung sing mbiada gelem gawe sadatolak udan.” – Untung yang membantu di dapur mau membuat lidi penolak hujan.
Harjo : “ Coba kalo Paklik Halim gak segera doa….”