Setelah Pandu wafat, tahta Ngastina kembali lagi ke tangan Drestarata. Karena memang dialah yang berhak sebagai putra sulung Prabu Abyasa, ayah Drestarata. Namun, Sang Drestarata yang bijak mengenal dirinya sendiri yang buta tak pantas memegang kekuasaan. Ia pun menyadaripara putranya masih terlalu kecil untuk mengembang tugas mengatur negara. Dititipkannya para Kurawa pada Pendita Durna. Seperti halnya para Pandhawa yang ditinggal mati sang ayah, Pandu.
Siapapun memaklumi, para Kurawa berhak atas tahta Ngastina. Para Pandhawa, putra Pandu tak berhak atas negeri yang gemah ripah loh jinawi ini. Rupanya kenyataan ini tak berkenan di hati para dewa sebagai ayah para Pandawa. Batara Dharma tentu saja sangat berharap kelak Puntadewa yang menjadi ratu di Ngastina. Demikian juga Batara Bayu, ayah Sena dan Batara Indra, ayah Janaka, serta Batara Aswin ayah dari Nakula dan Sadewa tak akan pernah rela jika para putranya hanya jadi lurah di padukuhan di Ngastina. Pandu telah ‘diangkat’ menjadi pengganti Prabu Abyasa di Ngastina. Sabda pandhitaning ratu. Sekali terucap tak kan tertarik lagi. Pandu adalah raja Ngastina. Dan penggantinya adalah Puntadewa bukan kembali ke Drestarata apalagi Sang Suyudana atau Kurupati!!
Kurawa memang bebal dan adigang, adigung, adiguna. Sombong. Tapi bukan berarti tak layak menjadi para pembesar di Ngastina. Sebab, memang merekalah yang berhak. Bukan Pandawa. Bukankah di Ngastina banyak orang bijak seperti Bisma, yang dapat membimbing Kurawa.....
Pendita Durna mengetahui ketidakrelaan para dewa pada Kurawa atas tahta Ngastina. Salahkah jika ia terus berjuang demi naik tahtanya Sang Kurupati? Ataukah salah memilih pengamat Sang Sengkuni yang senantiasa membakar hati dan pikiran mereka yang berbicara kepadanya?
Apapun yang terjadi, termasuk kematian yang mengenaskan di pentas Barata Yudha akan dijalani oleh Sang Pendita Durna demi mempertahankan hak Kurawa. Bagi Pendita Durna, para dewa hanyalah kaum oportunis yang ingin mempertahankan keakuannya setelah menikmati keindahan dunia bersama Dewi Kunti dan Dewi Madrim!!!
Kematian Aswatama di tangan Parikesit sang pewaris tahta Ngastina akibat kehancuran Kurawa di babak akhir Barata Yudha menyadarkan Pandhawa bahwa dunia yang diperjuangkan bukanlah sesuatu yang membuat mereka bahagia. Kurawa, yakni para saudaranya dan anak cucunya bahkan orang yang mereka cintai banyak yang gugur. Sia-sia hanya karena ambisi.....
Dunia harus ditinggalkan. Lewat Mahameru mereka menuju swargaloka. Banyaknya darah yang tertumpah oleh tangan Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa termasuk Drupadi menyebabkan mereka tak pantas masuk swargaloka. Kecuali Sang Satria Ludira Putih yang tak pernah tegas dan mengambang atas Barata Yudha diperkenankan masuk. Yudhistira pun merengek di hapadan para dewa agar Drupadi dan saudaranya diperkenankan menuju swargaloka.
Tetesan ‘luh’ rupanya telah menjadi suapan dan minuman segar para dewa membawa Drupadi, Wrekudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa menuju swargaloka meninggalkan Parikesit mengemban tugas membangun kembali Ngastina yang telah hancur lebur dengan keluh kesah para janda dan yatim piatu serta para korban Barata Yudha dan umpatan para pecinta negeri ini pada Pandhawa yang tertipu ..........