Permainan Ujung merupakan permainan tradisional masyarakat Suku Tengger di Desa Ngadas Kabupaten Malang. Tak ada catatan sejarah sebagai bukti otentik serta bukti empiris bahwa ini merupakan permainan asli Suku Tengger di Desa Ngadas. Sebab, di tempat lain atau di desa-desa di wilayah selatan Malang ada yang masih menjalakan permainan ini. Misalnya di daerah Donomulyo, Sumbermanjing, Purworejo, Kalipare, dan Bululuwang serta Dampit. Namun, berbeda latar belakang diadakannya permainan Ujung-ujungan di Desa Ngadas dan desa-desa lainnya.
Desa-desa lain biasanya mengadakan pertunjukan permainan ini pada masa akhir puncak kemarau. Dimana hujan yang seharusnya sudah turun, masih belum juga mencurahkan airnya dari langit. Jadi, boleh dikatakan permainan ini diadakan sebagai pertunjukan setelah acara ‘doa bersama’ minta hujan. Apa kaitannya? Masih dalam penelitian penulis. Mengingat permainan ini sudah jarang dilakukan di wilayah Malang Selatan karena adanya pergeseran pandangan masyarakat akibat pengaruh ‘budaya agama’ Sebelum tahun 1980an, acara ini sering diadakan di sana untuk memohon segera turunnya hujan. Memang wilayah di sana dikenal sebagai daerah kering dengan curah hujan yang sedikit. Sekarang, permohonan hujan banyak dilakukan di tempat-tempat ibadat tanpa diakhiri denganh permainan ini. Bahkan, untuk mencari sumber atau data tentang permainan ini sudah amat sulit.
Permainan Ujung di Desa Ngadas.
Bagi masyarakat Suku Tengger di Desa Ngadas, permainan ini masih dijalankan setiap tahun di akhir Upacara Karo¹ Upacara Karo merupakan salah satu upacara utama Suku Tengger selain Kasada dan Unan-unan. Upacara Karo dilaksanakan pada dua bulan setelah Upacara Yadnya Kasada atau bulan ke dua menurut penanggalan Suku Tengger. Permainan ini dilakukan hanya dilakukan oleh kaum muda pria yang bersedia dengan saling memukulkan rotan atau ujung ranting bambu ( Jawa: carang. Carang merupakan ranting bambu Ori yang dikenal kuat dan lentur ).
Beberapa pemuda yang bersedia dan berani tampil, berkumpul di depan rumah Kepala Desa atau Balai Desa. Kemudian dua orang pemuda akan saling berhadapan dengan hanya memakai celana panjang yang diikat dengan sarung khas Suku Tengger dan memakai kopiah, tanpa memakai baju atau kaos. Diiringi dengan musik gamelan khas Suku Tengger, dua pemuda yang saling berhadapan ini akan secara bergantian menyabet atau mencambuk punggung atau pinggang pemuda lawannya. Tidak diperkenankan mencambuk atau menyabet bagian tubuh lainnya. Sedangkan pemuda yang disabet atau dicambuk diperbolehkan menangkis atau menahan sabetan dengan cara memegang kedua ujung rotan atau bambu dengan menahan di hadapan tubuh yang dianggap akan menjadi sasaran. Salah tangkisan dan kurang kuatnya menahan akan tercambuk yang bisa mengakibatkan luka atau memar yang menyakitkan. Demikian saling menyabet atau mencambuk secara bergantian sebanyak 5 kali. Bagi yang kalah, tidak boleh ada dendam setelah permainan. Demikian juga bagi yang menang tidak diperkenankan menyombongkan diri. Jika aturan ini dilanggar akan menjadi bahan cemoohan dari para penonton dan warga masyarakat serta teguran dari para sesepuh desa.