Agustus 2007
Jam 4 sore. Selesai mengecat dan membenahi kamar kost putriku, aku jalan-jalan ke Malioboro sendirian sambil menunggu travel akan mengantarku pulang ke Malang.Rasa lapar yang mulai mengusik mengajakku ke warung lesehan di depan Pasar Bringharjo. Belum habis nasi gudeg yang ada di piring saat seorang tukang becak berkata lirih padaku :
“ Betah rencang estri, Mas? ” ( Butuh teman wanita, Mas? ) Aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.
“ Taksih enem Mas. Ditinggal pacaripun, gadhah yoga alit,” lanjutnya. ( Masih muda, Mas. Ditinggal pacarnya, punya anak masih kecil )
“Capai Mas…” jawabku sekenanya.
“ Pijet kemawon mboten menapa-napa “ ( Pijat saja tidak apa-apa ) Brengsek…..ulet juga ‘sales’ ini.
Tak sengaja kulirik ibu penjual gudeg, tampaknya ia begitu tenang. Pikiran pun melantur, jangan-jangan mereka sindikat! Entahlah. Kutinggalkan warung setelah menenggak teh yang masih tersisa dan berjalan menuju Benteng Vedenberg. Jam masih menunjuk angka 5. Masih 4 jam lagi aku harus menunggu travel yang akan mengantarku pulang ke Malang. Sungguh membosankan…. Aku pun leyeh-leyeh di kursi taman tanpa malu-malu. Toh semua orang cuek bebek…..tak peduli. Namun deru mobil dan suara microphone penjual es bakar membuatku tak bisa memejamkan mata.
Jam 6 sore. Seorang gadis mungil seusia anak SMA kelas 2 datang dan duduk di sebelahku.
“ Capai Om….nunggu teman sedari tadi nggak datang-datang,” katanya tiba-tiba mengawali pembicaraan.
“ Lha kemana temanmu?”
“ Gak tau? Mungkin sudah dapat yang lain?”
“ ….. ? ? ? ? …..”
“ Om…bisa antar aku ke hotel ‘anu’ nemui teman-teman di sana. Kalau Om capai bisa tidur di sana. Aku mau kok menemani…..”
Bumi gonjang-ganjing langite kelap-kelap lintange katon aliiiiit……… (he..he…he…) Sebuah taksi membunyikan klakson dan gadis itu bergegas masuk dan melambaikan tangannya padaku.
Duh Gusti, nyuwun agunge pangeksami, kataku dalam hati sambil melangkahkan kaki menuju gereja di depan Taman Pintar.
Juni 2008.
Jam 6 sore. Rasa penat disekujur tubuh setelah 6 jam mengendarai mobil dari Pantai Baron membuatku malas menemani istri dan ketiga putriku berbelanja di Maliobro. Kurebahkan badan di kursi taman di depan Taman Pintar. Seorang laki-laki muda datang dan langsung ‘menawarkan diri’ untuk menemani menikmati ‘keeksotisan’ Jogyakarta. Sesaat kemudian, beberapa laki-laki muda nan modis bermunculan dengan senyum manis yang membuat diriku keder. Kutinggalkan Taman Pintar mencari istri dan ketiga putriku di Malioboro.
Oktober 2010
Jam 7 malam. Selesai studi banding di SD Muhamadiyah dan SD Mangunan beberapa guru ( seperti biasa ) belanja ke Malioboro. Aku yang sudah bosan, sengaja mengajak teman guru pria menuju hotel ‘anu’ yang ditawarkan oleh gadis kecil 2 tahun yang lalu.
Mataku menjadi kabur, saat kulihat gadis itu kulihat di sana juga. Dengan basa-basi kami tanya porter harga 12 kamar standard untuk 2 bulan ke depan. Lalu dengan iseng ( bin kurangajar ) tanya tentang gadis itu.
“ Tamu rutin Mas….” katanya santai.
“ Rutin……? ” Ah, aku yakin orangtuanya adalah pemilik hotel ini. Kutinggalkan hotel itu menuju hotel tempat kami menginap.
Maret 2012.
Jam 10 pagi, Senin. Seperti biasa, tak ada kegiatan mengajar kecuali memantau para pembantu umum membersihkan taman dan halaman sekolah. Serta mengecek sarana dan prasarana yang ada. Iseng, kubuka email dan ternyata ada yang masuk dengan pesan singkat:
Kami menghargai bapak yang kolot dan konservatif. Tapi jangan menganggap kami liberal. Kami hanya ingin ‘eksis’ LGBT Jogya
Kubalas singkat email itu.
“ Semoga kalian segera menemukan jalan yang benar…. Kami berdoa untuk kalian”
Jam 10.30
Blog kututup. Pikiranku melayang ke Surabaya daerah Gang Dolly, Jalan Kusuma Bangsa ( depan SMA 2 ), Taman Bambu Runcing ( Embong Macan ), dan Taman Apsari. Lalu kembali melayang ke Malang Jalan Pajajaran dan Kertanegara ( depan SMA 3 ), Jalan Gajahmada, dan Jalan Bukit Berbunga Kota Batu.
Jogyakarta, ada apa denganmu?
Hanya sebagian kecil kisah dari Jogya.