Sebagian tokoh masyarakat dan agama pernah menentang pementasan Tari Tayub karena dianggap sering menjadi sumber keonaran dan menjadi ajang pelacuran tersembunyi. Bisa dimaklumi, karena pada masa lalu setiap orang ( pria ) yang mendapat selendang ( Jawa:ketiban sampur ) dari penari ( wanita ) Tayub maka diperkenankan berjoged bersama. Sebagai rasa terima kasih, pria yang ketiban sampur memberi uang ( Jawa: saweran ) kepada penari Tayub dengan cara menyisipkan dikotang mereka. Masalahnya timbul, saat pria yang ketiban sampur dan telah memberi uang tak mau segera bergantian dengan pria lain yang juga ingin berjoged. Sehingga terjadilah pertengkaran, apalagi dalam setiap pementasan biasanya disajikan tuak atau arak yang dapat membuat mabuk para peserta Tayub.
Para seniman, budayawan, tokoh masyarakat, dan agama akhirnya menyepakati bahwa Tari Tayub tak mungkin dihapus dari budaya lokal. Keputusan pun diambil setiap orang yang ingin menari atau berjoged Tayub harus mendaftarkan diri dulu kepada anggota kelompok penari Tayub dan langsung memberi saweran yang telah disepakati serta tidak boleh lebih atau kurang. Lama berjoged pun hanya sekitar 5 – 7 menit saja dan pesertanya bukan hanya pria ( dewasa ) tetapi juga para wanita. Terpenting tidak boleh berjoged dengan gaya yang seronok serta menyentuh tubuh penari lainnya. Minuman keras memang masih sulit dihindari namun pembatasan jumlah yang harus diminum akan diawasi oleh masyarakat sendiri. Sehingga mabuk-mabukan sampai teler jarang terjadi lagi. Dari sinilah kemudian muncul akronim atau istilah baru dari kata Tayub berarti ‘ditata supaya guyub’.