Buat wanita Jawa, tidak ada keharusan untuk mengganti nama keluarga dengan nama suami setelah menikah. Namun sudah menjadi hal yang biasa bila kemudian dia dipanggil sesuai nama suami oleh lingkungan sekitarnya, walaupun kadang-kadang ia tetap dipanggil dengan namanya sendiri oleh teman-teman akrabnya.
Seorang teman Ibuku biasa dipanggil Bu Joko, karena nama suaminya adalah Joko. Nama aslinya sendiri adalah Atik.
Suatu ketika, Ibuku mengajak teman-temannya untuk ke rumah Bu Joko yang kabarnya akan segera menikahkan anaknya.
Bu Sis berkata, "Lho, yang mau mantu kan Bu Prayit Jeng, bukan Bu Joko..."
Ibu ngotot, "Yang mau mantu itu Bu Joko... Bu Prayit itu siapa?"
"Bu Prayit yang rumahnya di Jalan XX nomer 4."
"Lho, itu bukan Bu Prayit, namanya Bu Joko."
"Bukan Bu Joko Jeng, namanya Bu Prayit... Atik Prayitno."
"Lhaaa... ya itu... namanya Atik. Kok sekarang jadi Prayit? Suaminya kan namanya Joko?"
Usut punya usut, si Atik ini baru saja berganti suami. Setelah Joko meninggal, Atik menikah lagi dengan Prayitno. Otomatis namanya berubah, dari Bu Joko jadi Bu Prayit.
Sejak itu Atik dipanggil Bu Prayit-Joko. Atau kalau mau lebih panjang lagi, Bu Prayit Yang Dulunya Bu Joko.
Untung Atik ini jujur. Ganti nama ini tidak dia manfaatkan untuk hal-hal yang buruk, seperti ngemplang arisan misalnya.
Maka, jelaslah sudah bahwa Shakespeare memang bukan orang Jawa, sehingga bisa-bisanya dia berkata, "What's in a name?"
Karena bila dia orang Jawa, dia pasti tahu bahwa bila menyangkut nama, bisa panjang urusannya...