Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Asistenku Sayang #6: Ning, Dari Nobody Jadi Somebody

12 April 2013   08:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:20 375 4
"Aku ini orang susah. Tapi aku ndak mau anakku nanti juga susah."

Prinsip hidup ini sudah dipegang Ning kuat-kuat sejak pertama kali bergabung bersama kami. Masa kecilnya dihabiskan di ladang berbukit-bukit, mulai dari menanam singkong sampai memanggul karung, sehingga bahunya kokoh seperti laki-laki. Walaupun begitu, Ning ini lembut hati. Simpatik, tapi bikin segan.

Tugas utama Ning adalah mengantar Eyang kontrol atau terapi di Rumah Sakit. Usia yang lanjut menyebabkan Eyang menderita osteoporosis. Selain itu, tidak ada pekerjaan yang ditolaknya. Bila melihat postur tubuhnya, pekerjaan laki-laki pun bisa dilakukannya, tapi Mama melarang.

Dari semua anggota keluarga, Ning paling suka menempel padaku dan Arjuno. Bila sudah tidak melayani Eyang, dia mengekorku terus. Ke manapun aku pergi, dia ikut. Padahal aku bukan tipe orang yang suka pergi ke tempat-tempat hiburan yang banyak diminati asisten rumah tangga, misalnya Mall atau pasar.

Setiap kali Arjuno mengerjakan PR, Ning akan mengintip dari balik punggungnya, ikut membaca.  Bila Arjuno malas-malasan, Ning yang mengingatkan, "Ayo Mas, PR-nya dikerjakan. Yu Ning mau ikut belajar".

Karena banyak menganggur di sore hari, akhirnya Mama membiayai Ning untuk ikut kursus menjahit. Kebetulan salah satu teman Mama adalah guru menjahit. Tapi setiap kali kami menanyakan hasil jahitannya, Ning selalu menolak menunjukkan. Malu, katanya. Ketika Mama bertanya, guru menjahitnya menjawab, "Ya memang harus sabar Bu, wong dia memang biasa kerja  di kebun. Kalau disuruh menjahit ya hasilnya seperti itu..."

Mendengar jawaban "bersayap" seperti itu, Mama memutuskan tidak bertanya lebih lanjut, tapi tetap dibiarkannya Ning ikut kursus menjahit.

Apakah dengan ikut kursus menjahit, Ning jadi lebih feminin? Tidak juga. Dia tetap galak kalau memang merasa perlu marah. Bertengkar dengan tukang becak yang sangar pun dilakoninya bila dia merasa benar. Apalagi pada tukang sayur yang "sengaja" mengurangi uang kembalian.

Ning hanya takut pada kedua ibunya. Dua ibu? Ya.

Karena miskin, sejak lahir Ning dititipkan pada orang lain, sementara ibunya menjadi TKW. Ibu angkatnya ini sebenarnya anaknya banyak juga, jadi sejak kecil Ning harus membantu keluarga angkatnya di ladang dan di rumah. Tapi Ning tidak pernah mengeluh, karena dia merasa beruntung ada yang mau merawatnya.

Memasuki usia belasan, ibu kandungnya pulang. Ning jadi punya dua ibu.

Ning tidak pernah membantah kedua ibunya ini. Masalahnya, kedua Ibu ini tidak selalu akur. Puncaknya adalah ketika Ning dianggap cukup umur untuk menikah. Rupanya, sebelum jadi TKW, Ibu Kandung pernah berjanji menikahkan Ning dengan anak seseorang yang dianggap berjasa padanya, sebagai bentuk balas budi. Ketika Ning dewasa, janji itu ditagih.

Di sisi lain, Ibu Angkat ingin Ning menikmati masa mudanya. Sadar bahwa dia tidak bisa memberi banyak, Ibu Angkat ingin Ning bekerja sampai puas dulu sebelum menikah. Karena itu dia menahan Ning supaya tidak cepat-cepat kawin.

Ning jadi galau. Akhirnya kedua Ibu ini membuat kesepakatan. Ning boleh bekerja sampai batas waktu tertentu, setelah itu harus mau dinikahkan dengan laki-laki pilihan Ibu Kandung.

Walaupun lega, Ning tetap galau. Dia kenal laki-laki yang hendak dinikahkan dengannya itu, tapi tidak terlalu suka padanya karena, "Dia nganggur Bos, nanti aku makan apa kalo jadi sama dia?"

"Bos" adalah panggilan kesayangan Ning untukku.

Menjelang akhir batas waktu, Ning makin rajin kursus menjahit. Rupanya dia ingin memakai pakaian buatan sendiri dalam pernikahannya nanti. Ketika kutanya pakaian apa yang sedang dibuatnya, Ning menjawab, "Kebaya sama rok putri duyung, Bos."

Ketika kebaya dan rok itu jadi, guru menjahitnya melarang Ning membawa pulang pakaian itu. Jadilah, kedua pakaian itu 'menginap' dulu di rumah si Guru. Ketika Mama bertanya kenapa, si Guru bisik-bisik menjawab, "Tak permak sek Bu, supoyo iso digawe." Saya permak dulu Bu, supaya bisa dipakai.

Pada hari Ning meninggalkan kami, aku sengaja pergi dari pagi sampai malam. Lebih baik kami tidak bertemu daripada aku nangis bombay. Ning pun paham, karena itu dia tidak menungguku untuk berpamitan.

Setelah menikah, Ning masih sering berkunjung sambil membawa anak-anaknya. Segunung hasil kebun tak lupa dibawanya.

Suaminya yang semula pengangguran kini mau bekerja. Kubayangkan si Suami mengkerut diomeli Ning bila malas bekerja... hehehehe... L-300 tua milik mertua laris disewakan untuk petani-petani di desanya yang hendak membawa hasil bumi ke pasar. Walaupun sudah ada jalan raya, memang belum ada angkutan umum yang menjangkau desa mereka.

Kebunnya yang semula hanya sepetak pun kini sudah bertambah luas. Dia bahkan mempertimbangkan untuk menukar Mitsubishi tua itu dengan yang lebih baru.

Ning, dari nobody jadi somebody. Terharu-senang-salut aku dibuatnya.

Ketika berkunjung tempo hari, dia berbisik, "Aku masih pengen nyekolahin anakku di Malang lho Bos. Bos jadi gurunya anakku, ya..." Matanya mengedip-kedip usil.

Oalah Ning... tidak sampai hati aku menolak...

Asistenku Sayang #7: Gara-gara Asisten Tetangga

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun