(gambar dicopy dari www.charlietumini.blogspot.com)
Mengibarkan bendera ‘Merah Putih’ di depan rumah tinggal kita merupakan suatu bagian dari bentuk suka cita warga negara Indonesia merayakan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI. Namun di sekitar tempat tinggal saya, lebih banyak yang tidak mengibarkannya saat momen peringatan tersebut. Sudah lunturkah rasa nasionalisme dari sebagian warga negara ini? Ataukah hanya ‘sekedar’ maaf ‘lupa’…suatu ‘penyakit’ yang di negara ini masih sangat ditolerir. Atau jangan-jangan terpinggirkan oleh urusan puasa, mudik, dan persiapan menjelang lebaran?
Coba buka akun FB, Twitter, atau media-media jejaring sosial lainnya yang kita miliki lalu hitung dan bandingkan jumlah postingan dari teman-teman kita tentang Dirgahayu RI dengan postingan tentang Selamat Idul Fitri, mana yang lebih banyak? Bukan bermaksud membenturkan antara Nasionalisme dengan Agama, toh momen keduanya juga beda hari.
Kawan saya yang baru saja saya nobatkan sendiri sebagai The Welfare Man, mengatakan bahwa nasionalisme kita jadi luntur sebagian besar karena pemerintah sudah salah urus. Rakyat hanya bangga akan negaranya yang bisa menjamin kesejahteraan, keamanan, dan kenyamanan, sementara pengelola negara ini yaitu pemerintahnya belum bisa menjamin itu semua. Jumlah penduduk miskin masih banyak, tingkat pengangguran masih tinggi, teror terjadi dimana-mana, bentrokan antar warga sering terjadi, belum lagi tingkat kriminalitas dan korupsi yang tinggi.
Kawan saya itu kemudian bertanya pada saya “ Kamu kan tau klo indikator kesejahteraan masyarakat Amerika itu jauh lebih baik daripada negara kita?”.
Saya jawab “iya, saya tau itu”.
“Kamumau gak kalau negara ini bubar saja dan bergabung dengan Amerika, sehingga kita nantinya jadi warga negara Amerika, yang punya hak dan kewajiban yang sama dengan warga Amerika sebelumnya, sehingga nantinya suatu saat kesejahteraan kita juga akan sama dengan mereka?”
“ Mau sie, tapi apa nantinya akan berjalan mulus seperti itu? Apa tidak ada diskriminasi? Justru nantinya kita diangap seperti daerah jajahan dan dieksploitasi habis2an untuk kepentingan mereka?”
“ Heh, Amerika itu negara demokratis, gak mungkinlah seperti itu, mereka itu menghargai perbedaan. Di sana itu tempat berkumpulnya berbagai ras dan keyakinan dan mereka setara. Justru yang jadi pertanyaan,mau gak mereka terima kita?”
“Emangnya pemerintah kita mau legowo bergabung dengan mereka dan kehilangan kekuasaannya?”
“ Ssst..itulah. Pasti tidak mau” Tapi kalau kita semua rakyat setuju pasti akan bisa terwujudPernah dengar “Dreamland”? Itulah Amerika”
“ Kenapa tidak kamu saja yang ke sana, jadi warga negara sana?”
“ Saya bukan tipe yang egois, saya mau mengajak semua bangsa ini jadi sejahtera”
“ Emangnya pemerintah kita gak sanggup bikin rakyatnya sejahtera?”
“ Kau tidak lihat buktinya? Potensi kekayaan negara kita ini sangat besar, tapi kita gak maju2 juga, banyak yg salah urus, banyak yang diselewengkan”
Dia lalu mengungkapkan kecurigannya pada elite penguasa yang selalu mengobarkan semangat nasionalisme. Menurutnya elite jaman ‘pasca kemerdekaan’ yang mengobarkan semangat nasionalisme hanya ingin melanggengkan kekuasaannya, menutupi kesalahan dan kecurangannya dengan menciptakan musuh dari luar. Para elite itu tidak mau lahan garapannya diganggu pihak luar. Akhirnya nasionalisme jadi benteng melanggengkan kesewenangan.
“ Nasionalisme jaman dulu dah bergeser motifnya sekarang. Kalau dulu wajar kita berjuang karena yang dari luar itu menindas kita. Sekarang musuh kita ada di dalam negara ini sendiri, jumlahnya banyak lagi, dan kuasanya besar lagi karena posisinya ada di tempat2 strategis. Hanya ada satu institusi yang saya percaya di negeri ini, KPK.”
“ Lalu bagaimana caramu mewujudkan bangsa ini bisa setara dengan Amerika?” tanyaku.
“ Itulah…saya juga bingung karena saya hanya seorang penjual pulsa”.
Para elita sibuk mengobarkan semangat dan doktrin nasionalisme, sementara masih banyak rakyat yang berpikir keras bagaimana caranya besok bisa perolah makanan.
Dirgahayu Negeriku…jayalah melebihi Amerika.