Sebenarnya agak ragu juga utk mempublish cerita ttg Baduy ini, takut kalau2 tulisan ini memprovokasi org2 utk mengunjungi Baduy dan berdampak pada pergeseran kearifan, kesahajaan dan keteguhan mereka mempertahankan adat leluhurnya. Bukan berarti saya ingin mengatakan bahwa kita yg bukan org Baduy ini tidak arif dan sahaja, silahkan menilai sendiri. Tetapi kemudian saya berpikir bahwa masalahnya bukan terletak pada kunjung-mengunjungi itu, tetapi bagaimana perilaku kita saat mengunjungi dan belajar tentang sesuatu dari mereka. Hormatilah adat leluhur mereka, taati ketentuan yang telah mereka buat, dan terakhir…jangan buang sampah sembarangan selama dalam perjalanan.
Inilah sebagian petuah leluhur Baduy yang terdapat di pintu masuk kampung Baduy:
gunung teu meunang dilebur lebak teu meunang dirusak larangan teu meunang dirempak buyut teu meunang dirobah lojor teu meunang dipotong pondok teu meunang disambung nu lain kudu dilainkeun nu ulah kudu diulahkeun nu enya kudu dienyakeun
artinya: gunung tak boleh dihancurkan lembah tak boleh dirusak larangan tak boleh dilanggar buyut tak boleh diubah panjang tak boleh dipotong pendek tak boleh disambung yang bukan harus ditiadakan yang jangan harus dinafikan yang benar harus dibenarkan
Beginilah ceritanya…..
Sekitar pukul 14.00, hari itu (25 Des ’09) kami pun start dari Salemba menuju Kampung Baduy. Tim kami berjumlah 8 org yang terdiri dari 3 org fasilitator kami dari WABI (Wisata Alam Budaya Indonesia) yang sudah sering berkunjung ke Kampung Baduy, 2 org tenaga medis, seorang seniman, seorang petualang sejati dan saya sendiri “manusia biasa yang suka senang-senang”. Pukul 18.00 kami tiba di Desa Ciboleger, desa terakhir yang dapat dilalui kendaraan roda empat. Di desa ini kami menginap semalam di rumah salah seorang penduduk. Rute kami waktu itu adalah Salemba (Jakarta)-Serang-Pandeglang-Rangkasbitung-Leuidamar-Ciboleger.