Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Apa yang Membuat Sebagian Masyarakat Kerap Memilih Golput pada Saat Pesta Demokrasi (Pemilu) Tiba?

27 November 2024   08:05 Diperbarui: 27 November 2024   08:05 121 2
Partisipasi dalam pemilu adalah salah satu pilar penting dalam demokrasi. Namun, fenomena golput atau tidak memberikan suara dalam pemilu terus menjadi isu yang relevan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Meskipun golput merupakan hak yang dilindungi undang-undang, tingginya angka golput sering kali mencerminkan persoalan yang lebih dalam dalam sistem politik dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokrasi. Artikel ini akan membahas alasan utama mengapa sebagian masyarakat memilih golput, didukung oleh data dan pendapat ahli.

1. Kekecewaan terhadap Sistem Politik
Salah satu alasan utama masyarakat memilih golput adalah kekecewaan terhadap sistem politik yang ada. Banyak orang merasa bahwa politisi atau partai politik tidak benar-benar mewakili kepentingan mereka. Survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2023 menunjukkan bahwa 45% responden merasa politisi hanya memperjuangkan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, bukan rakyat secara keseluruhan. Ketidakpercayaan ini semakin diperparah oleh kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi.

Menurut Dr. Alvan Nurdin, seorang pakar politik dari Universitas Indonesia, kekecewaan ini berakar pada kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan. "Ketika masyarakat tidak melihat hasil nyata dari kebijakan pemerintah atau malah menyaksikan penyalahgunaan kekuasaan, mereka cenderung merasa tidak ada gunanya berpartisipasi dalam pemilu," ujarnya.

2. Kurangnya Edukasi Politik
Sebagian masyarakat golput karena kurangnya pemahaman tentang pentingnya suara mereka dalam pemilu. Pendidikan politik yang minim, terutama di kalangan masyarakat pedesaan atau marginal, berkontribusi pada rendahnya tingkat partisipasi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, tingkat partisipasi pemilu di daerah pedesaan lebih rendah dibandingkan daerah perkotaan, yakni hanya 67% dibandingkan dengan 75%.

"Golput sering kali terjadi karena masyarakat tidak memahami bagaimana suara mereka bisa memengaruhi kebijakan publik," kata Dr. Nuraini Ahmad, seorang sosiolog dari Universitas Gadjah Mada. "Selain itu, banyak yang tidak mengetahui bahwa abstain dari pemilu justru memperlemah kontrol masyarakat terhadap kekuasaan."

3. Kandidat yang Tidak Memenuhi Harapan
Pilihan kandidat yang dianggap tidak mewakili aspirasi masyarakat juga menjadi faktor utama golput. Dalam pemilu 2019, survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia menemukan bahwa 38% golput disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap kualitas kandidat yang bertarung. Banyak masyarakat merasa bahwa kandidat yang tersedia memiliki rekam jejak yang buruk atau tidak kompeten.

"Pemilih membutuhkan figur yang memiliki integritas, visi yang jelas, dan kemampuan untuk merealisasikan janji-janji politik," ujar Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia. "Ketika mereka tidak menemukannya, golput menjadi bentuk protes yang paling mudah dilakukan."

4. Faktor Sosial dan Ekonomi
Kondisi sosial dan ekonomi juga memengaruhi keputusan untuk golput. Masyarakat yang memiliki kesulitan ekonomi cenderung memprioritaskan pekerjaan atau kebutuhan sehari-hari daripada berpartisipasi dalam pemilu. Penelitian yang dilakukan oleh International Foundation for Electoral Systems (IFES) menunjukkan bahwa masyarakat miskin memiliki tingkat partisipasi yang lebih rendah karena keterbatasan waktu dan sumber daya.

Selain itu, hambatan geografis, seperti jarak ke tempat pemungutan suara yang jauh, juga menjadi alasan golput. Di daerah terpencil, infrastruktur yang kurang memadai sering kali membuat masyarakat enggan berpartisipasi.

5. Fenomena Apatisme Politik
Apatisme politik, atau ketidakpedulian terhadap proses politik, adalah alasan lain mengapa masyarakat golput. Fenomena ini biasanya terjadi di kalangan generasi muda yang merasa bahwa politik tidak relevan dengan kehidupan mereka. Menurut survei Youth Political Engagement Index yang dilakukan pada 2022, hanya 52% anak muda Indonesia yang menganggap pemilu penting, sementara sisanya menganggap bahwa politik hanyalah ajang perebutan kekuasaan.

"Ada kebutuhan mendesak untuk melibatkan generasi muda dalam politik dengan cara yang kreatif dan relevan dengan gaya hidup mereka," kata Anita Wahid, seorang aktivis pemuda. "Media sosial, misalnya, bisa menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan kesadaran politik di kalangan anak muda."

6. Pengaruh Kampanye Hitam dan Disinformasi
Kampanye hitam dan penyebaran informasi yang menyesatkan (hoaks) menjelang pemilu juga berkontribusi pada meningkatnya golput. Ketika masyarakat dibombardir oleh narasi negatif tentang kandidat atau proses pemilu, kepercayaan mereka terhadap sistem demokrasi bisa menurun. Sebuah studi oleh Cek Fakta Indonesia pada 2019 menunjukkan bahwa 64% masyarakat terpapar informasi palsu selama periode kampanye, yang sebagian besar berisi narasi negatif tentang kandidat tertentu.

Kesimpulan
Fenomena golput mencerminkan berbagai permasalahan yang ada dalam sistem demokrasi, mulai dari kekecewaan terhadap sistem politik hingga kurangnya edukasi politik. Meskipun golput adalah hak yang sah, tingginya angka golput dapat mengancam legitimasi pemerintah yang terpilih.

Untuk mengatasi fenomena ini, dibutuhkan upaya bersama dari pemerintah, masyarakat sipil, dan media. Pendidikan politik yang inklusif, peningkatan kualitas kandidat, serta penguatan transparansi dalam proses politik adalah langkah-langkah yang perlu diambil. Sebagaimana dikatakan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, "Demokrasi tidak hanya tentang hak untuk memilih, tetapi juga tentang tanggung jawab untuk terlibat secara aktif dalam proses politik."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun