Artikel ini akan membahas lima hal penting yang wajib diketahui guru sebelum memberikan reward kepada peserta didik, didukung dengan teori dan data yang relevan.
1. Memahami Jenis Reward: Eksternal vs. Internal
Reward dapat dibagi menjadi dua jenis utama: eksternal dan internal. Reward eksternal adalah penghargaan yang diberikan dari luar, seperti hadiah fisik (misalnya, stiker, mainan, atau permen) atau pengakuan sosial (misalnya, pujian, sertifikat, atau penghargaan). Sebaliknya, reward internal berfokus pada penghargaan yang berasal dari dalam diri siswa, seperti perasaan bangga, kepuasan diri, atau rasa pencapaian.
Menurut penelitian oleh Deci, Koestner, dan Ryan (1999), reward eksternal yang diberikan secara berlebihan dapat menurunkan motivasi intrinsik siswa, yaitu motivasi yang berasal dari minat dan kesenangan pribadi terhadap kegiatan belajar. Mereka menemukan bahwa siswa yang terlalu sering diberi reward eksternal cenderung kehilangan minat terhadap tugas yang mereka lakukan begitu reward tersebut dihentikan. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk menyeimbangkan antara reward eksternal dan internal, dengan fokus lebih pada bagaimana membangun motivasi intrinsik siswa.
2. Mengenali Efek Jangka Panjang dari Reward
Sebagai pendidik, penting untuk menyadari bahwa reward tidak hanya berdampak pada perilaku siswa dalam jangka pendek, tetapi juga memiliki implikasi jangka panjang terhadap perkembangan sikap belajar mereka. Alfie Kohn (1993) dalam bukunya Punished by Rewards menyatakan bahwa penggunaan reward yang berlebihan dapat mengarah pada perilaku yang disebut “overjustification effect”, di mana siswa merasa bahwa tugas atau aktivitas hanya berharga jika ada hadiah yang menunggu di akhir.
Studi dari Lepper, Greene, dan Nisbett (1973) menunjukkan bahwa ketika anak-anak diberikan reward untuk aktivitas yang sebelumnya mereka sukai, minat mereka terhadap aktivitas tersebut berkurang setelah reward dihentikan. Misalnya, anak yang senang menggambar menjadi kurang tertarik melakukannya setelah mereka diberi hadiah atas aktivitas menggambar mereka. Oleh karena itu, guru harus berhati-hati dalam memberikan reward dan mempertimbangkan dampak jangka panjangnya terhadap motivasi belajar siswa.
3. Menyesuaikan Reward dengan Usia dan Tingkat Perkembangan Siswa
Setiap siswa berbeda dalam hal kebutuhan dan preferensi mereka, terutama ketika berkaitan dengan usia dan tahap perkembangan. Misalnya, anak-anak yang lebih muda (usia TK hingga SD) mungkin lebih responsif terhadap reward yang bersifat konkret, seperti stiker atau bintang emas, karena mereka masih berada pada tahap perkembangan yang lebih visual dan konkret.
Sebaliknya, siswa yang lebih tua (SMP hingga SMA) mungkin lebih menghargai bentuk reward yang lebih abstrak dan berbasis penghargaan sosial, seperti pujian yang tulus atau pengakuan atas usaha dan kerja keras mereka. Bandura (1986) dalam Social Learning Theory menekankan pentingnya penguatan sosial dalam proses belajar, terutama bagi remaja yang cenderung lebih dipengaruhi oleh interaksi sosial dan pengakuan dari orang lain.
4. Menerapkan Prinsip Keadilan dalam Pemberian Reward
Keadilan adalah aspek penting dalam pemberian reward. Siswa sangat peka terhadap ketidakadilan, dan jika mereka merasa bahwa reward diberikan secara tidak adil, hal ini dapat menurunkan motivasi dan bahkan memicu konflik di dalam kelas. Adams (1965) dengan Equity Theory menjelaskan bahwa individu termotivasi oleh keadilan, dan mereka akan membandingkan rasio input (usaha) dan output (reward) mereka dengan orang lain.
Guru harus memastikan bahwa reward diberikan berdasarkan kriteria yang jelas dan transparan. Misalnya, jika reward diberikan berdasarkan pencapaian akademik, pastikan kriteria penilaian sudah dijelaskan sebelumnya sehingga semua siswa memahami apa yang dibutuhkan untuk memperoleh penghargaan tersebut. Dengan demikian, siswa merasa dihargai atas usaha mereka, bukan semata-mata keberuntungan atau preferensi guru.
5. Menggunakan Reward sebagai Bagian dari Penguatan Positif, Bukan Manipulasi
Tujuan utama dari pemberian reward adalah untuk menguatkan perilaku positif, bukan untuk memanipulasi siswa agar melakukan sesuatu yang mereka tidak sukai. Oleh karena itu, reward harus diberikan dengan tulus dan bukan sebagai alat untuk mengendalikan perilaku siswa. B.F. Skinner (1938), seorang tokoh terkemuka dalam teori behaviorisme, menekankan pentingnya penguatan positif sebagai cara yang efektif untuk membentuk perilaku. Namun, dia juga memperingatkan bahwa penguatan harus diberikan secara konsisten dan hanya ketika perilaku yang diinginkan terjadi.
Sebagai contoh, daripada memberikan reward hanya untuk hasil akademik yang tinggi, guru dapat memberikan reward untuk usaha, kerja keras, atau peningkatan yang signifikan, sehingga siswa merasa dihargai tidak hanya atas hasil akhir tetapi juga atas proses belajar mereka.
Kesimpulan
Memberikan reward kepada siswa bisa menjadi alat yang efektif untuk memotivasi dan meningkatkan perilaku positif jika dilakukan dengan bijaksana. Guru harus mempertimbangkan beberapa faktor penting sebelum memberikan reward, seperti jenis reward yang digunakan, dampak jangka panjang, kesesuaian dengan usia, prinsip keadilan, dan tujuan dari pemberian reward itu sendiri. Dengan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip ini, guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih positif dan mendukung perkembangan motivasi intrinsik siswa.
Sebagai pendidik, tujuan utama kita adalah untuk membantu siswa menemukan kegembiraan dalam belajar dan mengembangkan kecintaan mereka terhadap pengetahuan. Dengan demikian, reward sebaiknya bukan menjadi satu-satunya motivator, tetapi alat tambahan yang digunakan secara bijaksana untuk mendukung proses belajar yang menyenangkan dan bermakna.