Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Penyihir

24 Maret 2012   04:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:33 131 0
"kamu tahu apa yang kupikirkan saat kurasa hatiku kian rusak? Menyihirmu nona"

**

Hay, sedang apa sekarang? Apa masih sibuk memandangi kalender yang ternyata berjalan lebih cepat dari rasa bahagia yang hadir? Tapi apapun yang kau rasakan, sedikitpun dan pastinya tak merubah raut cantikmu bukan? Mungkin jika ada yang sedikit tampak untuk di lihat adalah matamu yang kian lembab. Namun kuharap kau tak secengeng dulu.

Oh ya ada yang ingin kuceritakan padamu tentang percakapan yang kulakukan dengan seorang rekan kerja. Saat itu ia berkata kalau jas hujan yang kukenakan mulai banyak robekan. Aku menjawab yang dikatakan temanku itu dengan: semua yang pernah di pakai dan melebihi kapasitasnya pastilah rusak. Dan apa kamu tahu apa yang terlintas di pikiranku saat setelah mengucap itu? Aku langsung mengingatmu, mengingat semua yang pernah kau katakan ataupun kukatakan. Aku mengingat kita yang dulu.

Kamu pasti heran setiap kali aku menulis kata "kita" untuk menyebutkan aku dan kamu. Tak apalah, wajar adanya jika kau merasa seperti itu, terlebih kita memang tak pernah terikat dalam satu kata yang terartikan 'sama'.

Namun dalam satu kata "kita" itulah aku tak henti merasa 'Bodoh' dengan semuanya. Kau tahu seperti apa rasanya memandangi orang yang kita sayang tanpa pernah mampu menggapainya? Itu perasaan paling konyol yang pernah aku miliki, terlebih ketika aku menyandarkan diri pada tempat yang ada kamu dan dia di situ. Hahaha, aku tak henti tertawa memandangi begitu hebatnya aku untuk tetap di situ dengan segala rasa sakit dan cemburu.

Dan apa kau masih ingat tentang percakapan kita hari itu, Desember dengan segala Hujan yang datang pada bulan itu? Hari itu kita seperti memandangi diri masing-masing tentang anehnya pilihan yang kita jalani. Hari itulah kupikir jika aku pernah berarti untukmu, dan hari itu pula kau tahu jika aku selalu mengingatmu.

"sekarang aku ngerti apa yang mas rasa Agustus lalu. Dan sekarang mas ngerti kan apa yang aku rasa dulu?" ucapmu sebagai balas tanyaku yang tak mengerti kenapa kita 'masih'.

Tapi pada akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari semua hiruk pikuk masa lalu itu. Tentu saja sambil mencoba menganggap biasa semua yang pernah kau ucap padaku, karena bagaimanapun juga kau pasti sudah lupa dengan apa yang kau katakan dulu. Maaf bukan maksud menyebutmu pelupa atau bagaimana, hanya saja aku pernah mengetes daya ingatmu tentang beberapa hal yang dulu dengan kata yang begitu berarti untukmu ketika menggambarkan "kita". Dan benar kau lupa, malah kata itu kau artikan dengan seseorang dari masa lalumu yang jauh. Aku pun tertawa -hahahaha.

Mengingat menjadi penting karena hidup itu bergerak dan kita tahu manusia itu terbatas dalam menyimpan kenangan. Dan seperti kata Moamar Emka jika penulis itu Observer yang baik, maka aku ada seperti seorang observer ketika aku mengingat kamu, semuanya. Tapi kau keliru jika bisa melakukan itu baru ketika aku belajar menulis untukmu dulu. Jauh sebelum itu aku selalu melakukannya, ketika aku belajar menjadi seorang peniru. Pertama kali adalah saat aku memberi warna buah jeruk yang kugambar dengan warna Orange, 22 tahun yang lalu.

Namun tak bisa kusalahkan utuh jika kau memang pelupa, karena bagaimanapun juga manusia itu memilih apa yang ingin di ingat ataupun di lupa. Kamu pasti pernah mendengar jika Cinta itu Buta? Kau salah jika mempercayainya, saat jatuh cinta manusia tetap bisa melihat karena itu ia bisa mengingat. Yang ada hanyalah kita mulai memilih apa yang ingin kita lihat. Dan ketika kau mulai lupa dengan apa yang pernah kita cakapkan dulu, maka aku tahu ada yang lebih penting dari seorang aku yang wujudnya baru dua kali kau lihat ini.

Tapi tunggu, ini belumlah selesai. Kau tahu terkadang aku begitu kesal dengan tingkahmu yang sesekali terasa peduli, namun di lain waktu kau begitu tak bisa kumengerti?

Kau tahu seperti apa rumitnya menerjemahkan rasa di hatimu, tentang begitu fleksibelnya hatimu yang bisa berubah karena satu rasa yang datang tiba-tiba? Salah, kau salah jika itu membuatku sakit kepala. Lebih dari itu, dari hal itulah kutahu seberapa penting aku untukmu. Dulu mungkin kau pernah berkata menyayangiku, namun di waktu yang deras mengalir ini aku tak sedikitpun yakin dengan kata-kata itu. Dimana kamu ketika aku begitu ingin kau dengar? Ah ya, tentu saja kau sedang berjalan dengannya, menyusuri tiap segi kotamu.

Menyadari semua hal aneh yang begitu biasa kau ceritakan padaku? Maaf ternyata aku fasih sekali membaca tentang tak mudahnya merasa untuk tak cemburu. Lalu, hahaha aku kian menyadari betapa biasanya aku. Kukatakan sekali lagi, walau mungkin kau sangat bosan membacanya berulang: Malaikat itu tak seharusnya merasa cemburu ketika melihat yang di kasihinya berjalan bahagia dengan seseorang yang Nyata ada. Harusnya ia menghujanimu dengan doa untuk bahagiamu yang lama. Bukan menggerutu tak henti jika kamu tak pernah mengerti isi hatinya. Kau salah menyebutku 'Malaikat-ku'.

Dan apa yang kau tahu ketika aku merasa begitu kesal ketika aku bisa di kelabui mimpi olehmu, tentang apa yang kupikirkan untuk kulakukan? Aku ingin menyihirmu, bukan menjadi batu, tapi kan kusihir kamu menjadi penyihir yang sama sepertiku, lengkap dengan bibir yang hitam dan topi lancip. Hanya saja aku merasa ragu, kau tetap tak akan menjadi seram seketika itu, karena pastinya kau tetap cantik walau berdandan serba Gothic. Mungkin akan ada yang menamaimu dengan: Penyihir berpipi bulat dan bermata lembab.

**

Di senja yang remang dan jalan yang berliku penuh batu aku akan tetap berjalan, bukan lagi kearahmu seperti dulu dengan menaiki kereta dan turun di stasiun tua kotamu. Kamu bertanya kemana arahku sekarang? Entahlah, namun yang jelas tak mengarah pada kota yang membuatku melantunkan lagu: Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu, merintih sendiri di telan deru kotamu. Ah, apa kau ingat ketika aku menulis status yang kukutip dari lagu Kla itu, kau meng-like-nya. Apa kau bermaksud mendoakan aku merasakannya? Sakit tahu ketika benar menyanyikan lagu itu saat benar pulang ke Jogjakarta.

Yang pasti aku akan berjalan pada suatu tempat yang tak lagi membuat hatiku kian rusak. Aku tak hendak memakai hatiku untuk merasakan kecewa sekali lagi. Apalagi aku tak ingin di suatu malam yang sunyi menyanyikan lagu 'Manusia Bodoh' dari Ada band.

Sudah ya curhatanku kali ini, mungkin dengan membacanya kau menjadi semakin sadar jika aku bukan orang baik yang sering kau kira selama ini. Ya, mungkin setelah membacanya kau makin yakin jika aku hanyalah pengeluh berbadan tinggi namun tak gemuk sepertimu. Dan terakhir untuk apa yang kita pernah lewati -Terimakasih telah pernah memilihku menjadi Keajaiban-mu. Tapi tentang niatanku untuk menyihirmu tetap tak berubah, walau kutahu kau akan tertawa dan berkata: kau telah menyihirku jauh sebelum itu, dengan kata-kata yang kau rekahkan di duniaku. Kenapa memilih menjadi penyihir jika kau bisa menjadi penyair?

"bukankah sudah pernah kukatakan jika aku pernah di kelabui mimpi, dimana aku pun sesat jalan ketika coba menuju arahmu? Dan apakah kau tahu sekarang, aku sedang terbang menuju dirimu, melewati senja yang remang dan berbatu. Tentu saja hendak menyihirmu, bukan lagi menjadi penyihir sama sepertiku, tapi menjadi hantu." Jawabku.

*beberapa bagian dikutik dari puisi Lupita Lukman: Penyihir

[end]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun