Ibarat kacang lupa kepada kulitnya, demikian petuah bijak yang mengajarkan kepada kita agar tak lupa kepada riwayat atau sejarah kehidupan manusia. Memang, sepantasnya ummat manusia tak boleh lupa dengan sejarah hidupnya atau garis keturunannya. Seorang anak tak boleh lupa siapa ibu dan ayahnya. Sejarah hidup atau bukti-bukti historis akan berfungsi untuk memberikan gambaran hitam dan putih dari peristiwa masa lalu. Potret buram kehidupan masa lalu sepantasnya untuk dieliminasi dan potret indah sejarah sewajarnya untuk diwujudkan kembali di era kekinian. Relasi atau hubungan historis antara kekuasaan Islam (khilafah Islam) dengan para penguasa atau sultan di Indonesia khususnya wilayah Sumatera terjalin erat dan harmonis. Beberapa lembar fakta sejarah telah mencatat dengan jelas dan otentik terhadap jejak penerapan syariah di Sumatera dan jalinan kerjasama para sultan dengan institusi politik internasional Islam (khilafah Islam). Di bidang dakwah, pada tahun 100 H (718 M). Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada khalifah Umar bin abdul Aziz dari Khalifah Bani Umayah meminta dikirimkan da'i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Dua tahun kemudian beliau yang semula Hindu masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun di kenal dengan nama sribuza Islam. (Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, 2005, hal 6). Menurut Musyrifah Sunanto dalam pustaka yang sama di halaman 138, tercatat bahwa di bidang hukum, Sultan Iskandar Muda dari Aceh menerapkan hukum rajam terhadap puteranya sendiri yang bernama Meurah Pupok yang berzina dengan isteri soerang perwira. Beliau berkata: "mati anak ada makamnya, mati hukum kemana hendak dicari". Kerajaan Aceh Darussalam mempunyai UUD Islam bernama kitab Adat Mahkota Alam. Sultan Alaudin dan Iskandar Muda memerintahkan pelaksanaan kewajiban shalat lima waktu dan pelaksanaan ibadah puasa secara ketat. Hukuman dijalankan kepada mereka yang melanggar ketentuan. Sedangkan di bidang ekonomi, Sultan Iskandar Muda mengeluarkan kebijakan riba diharamkan. Selain itu, di Kesultanan Samudera Pasai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az Zahir (1297/1326) telah mengeluarkan mata uang emas yang ditilik dari bentuk dan isinya menunjukkan hasil teknologi dan kebudayaan yang tinggi. Para sejarahwan juga telah mencatat tentang jalinan kerja sama antara insitusi politik di wilayah Sumatera dengan penguasa muslim internasional. Kerjasama tersebut terlihat dalam bantuan militer yang diberikan oleh Khilafah Islamiyah. Dalam Bustanus Salatin karangan Nuruddin ar Raniri disebutkan bahwa kesultanan Aceh telah menerima bantuan militer berupa senjata disertai instruktur yang mengajarkan cara pemakaiannya dari Khilafah Turki Utsmani. Tahun 1652 kesultanan Aceh mengirim utusan ke Khilafah Turki Utsmani untuk meminta bantuan meriam. Khilafah Turki Utsmani mengirim 500 orang pasukan beserta sejumlah besar alat tembak (meriam) dan amunisi. (Lihat : Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Kesultanan, hal 52-53). Keterkaitan Nusantara atau wilayah Sumatera sebagai bagian dari Khilafah kian nampak jelas pada pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan Malikussaleh di Kesultanan Samudra Pasai Darussalam oleh utusan Syarif Mekkah. Syarif Mekkah saat itu berwenang sebagai wali (setingkat gubernur) di dalam sistem kekhilafahan Islam.
Tak Sekedar Romantisme Sejarah Jejak penerapan syariah dan jalinan kerjasama institusi politik di Sumatera dengan khilafah Islam diatas sepantasnya tak hanya sekedar menjadi romantisme sejarah atau nostalgia indah. Kedamaian dan kesejahteraan yang pernah terwujud di lintasan sejarah penerapan syariat Islam sewajarnya untuk dapat diwujudkan kembali dalam realitas kehidupan masa kini. Namun, semangat untuk meujudkan kembali kehidupan Islam dengan metode (thariqah) khilafah Islam sebaiknya disertai dengan pemahaman dan edukasi syariah yang utuh dan komprehensif. Untuk itu dibutuhkan sebuah formula atau konsep yang jelas dan bebas dari nuansa kekerasan untuk memberdayakan ummat menuju cita-cita luhur tersebut. Konsep yang jelas dan tegas telah termaktub di dalam Al-Qur'an dan as Sunnah yang menggambarkan bagaimana langkah-langkah yang ditempuh oleh insan utama Rasulullah SAW untuk melakukan perubahan atau transformasi ummat. Di dalam beberapa kitab sirah dikabarkan bahwa Rasul saw melakukan proses perubahan dengan kaderisasi, terjun ke masyarakat dan perubahan sistem dengan penerapan hukum Islam. Tahapan kaderisasi (tatsqif wa takwin) yang dilakukan oleh rasul saw menghasilkan kader-kader yang militan dan senantiasa menjadikan dakwah sebagai poros hidup mereka. Marhalah (tahapan) selanjutnya dengan terjun ke kancah kehidupan ditempuh rasul saw untuk melakukan pergolakan pemikiran (sira'ul fikr) hingga masyarakat menerima risalah Islam sebagai aturan kehidupan mereka. Akhirnya, proses revolusi pemikiran tersebut berhasil membentuk sebuah masyarakat ideal di Madinah yang diatur oleh nilai-nilai Islam dibawah kepemimpinan rasulullah saw. ; 01 Jun 07].( Asmaul Husna; Ketua Umum Muslimah Peduli Ummat Sumut.) (wns) [Walhasil, jejak penerapan syariah dan khilafah di Sumatera semakin membuktikan bahwa Islam sebagai ideologi yang paripurna telah pernah diterapkan dalam kehidupan nyata bukan konsepsi yang utopia (mimpi) atau sekedar doktrin teologis. Bahkan Penguasa jagat raya, Allah SWT juga telah berjanji akan kembali memberikan kekuasaan tersebut: "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhoinya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang tetap kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik" (TQS. An Nuur: 55).
KEMBALI KE ARTIKEL