Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Pemimpin yang Bimbang, Pantaskah?

29 Maret 2012   04:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:19 132 0
Bimbang itu mulia. Ketidakyakinan akan apa yang kita pilih menunjukkan kemanusiawian kita. Bimbang menghindarkan kita dari kemungkinan menjadi tiran. Paling tidak ini yang Putu Wijaya pernah katakan. Mungkin bisa diterima, mungkin juga tidak. Terutama jika kita bicara tentang sikap seorang pemimpin.
Ketika seorang manusia merasa sanggup menjadi pemimpin atas manusia lain. Ketika manusia mengucap sumpah untuk melayani manusia lain. Ketika itulah sisi manusiawi bisa kita kesampingkan. Menjadi pemimpin berarti juga menjadi setengah dewa.
Bagaimana bisa pemimpin tidak yakin akan apa yang diucapkannya?. Bagaimana bisa pemimpin ragu atas putusan yang diambilnya?. Sementara sejuta harapan ada di setiap ucapan, tindakan dan keputusan itu.
Jika kata telah terucap. Jika keputusan telah diambil. Hadapi apapun konsekuensi yang muncul. Bukan justru lari sembunyi dan buang badan. Menjadi pengecut karena bimbang sungguh memalukan. Mandheg dan lengser pandhito bahkan lebih terhormat.
Berlindung pada kemanusiawian hanya menjadi alasan. Bukan atas dasar itu seorang pemimpin bersumpah. Tidak untuk itu seorang peminpin ditasbihkan. Melakukan apa yang manusia lain tidak bisa lakukan. Mengerti apa yang tak dimengerti.
Maka kemarahan menjadi sebuah keniscayaan. Keputusasaan menjadi sebuah pemakluman. Ketika berhadapan dengan kebimbangan sang pemimpin.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun