Pohon rambutan di depan rumah Lek Kasno masih pendek. Batang pohonnya masih sebesar betis orang dewasa. Dahan-dahannya juga masih kecil-kecil, belum kuat untuk menopang tubuh orang yang ingin menikmati buahnya. Buah rambutan berwarna kemerah-merahan menyembul satu-satu di sela-sela daun rambutan yang lembat, menarik minat siapa saja yang melihatnya.
Lek Kasno kelihatan sibuk pagi ini. Sejak pagi ia membongkar-bongkar gudangnya mencari sesuatu. Hari ini hari minggu, ia tidak kerja. Sehingga ia ingin mengerjakan pekerjaan di rumah yang belum sempat terselesaikan minggu kemarin. Lek Kasno mendapatkan sesuatu yang dia cari di gudang. Sebuah kawat berduri yang sudah berkarat ia bawa ke pohon rambutan. Kawat duri berkarat itu ia lilitkan ke batang dan dahan-dahan pohon rambutan. Namun, tidak semua ia lilitkan, karena ukuran kawat duri yang tidak terlalu panjang, ia hanya melilitkan pada bagian yang cukup besar.
Kemarin Lek Kasno marah-marah ketika baru pulang kerja. Ia melihat banyak daun rambutan dan kulit rambutannya yang masih belum cukup masak berserakan di bawah pohon. Tidak hanya itu, beberapa dahannya juga ikut patah, seperti baru habis dipanjat orang. “Ada yang maling rambutanku. Awas saja, kalau ketahuan, kupatahkan tangannya!” runtuk Lek Kasno dalam hati.
“Sibuk Lek?” sapa Misno yang kebetulan lewat di depan rumahnya. “Rambutannya sudah mulai merah-merah, sebentar lagi bisa makan rambutan nih?” sambung Misno guyon.
“Rambutan-rambutan, gundulmu. Gak tau apa semalem rambutanku habis dicolong orang? Kalau ketahuan orangnya yang maling rambutanku, kupatahkan tangannya,” jawab Lek Kasno ketus.
Mengetahui keadaan sedang tidak baik, Misno meneruskan berjalan ke warung seraya menggerutu dalam hati, “Wong guyon kok malah di sengitin.” Lek Kasno kembali sibuk dengan pekerjaannya, membuat ranjau untuk si maling rambutannya.
Menjelang siang, ia menunggu di dalam rumahnya, sambil mengintip melalui sela-sela dinding papannya yang sudah keropos di makan rayap. Ia ingin mencari tahu siapa sebenarnya orang yang maling rambutannya. Sebilah golok telah siap di sampingnya. Pagi-pagi tadi ia asah hingga mengkilap. Mungkin lek Kasno benar-benar berniat mematahkan tangan orang yang maling rambutannya.
Waktu yang ia tunggu akhirnya datang. Enam orang anak kecil bergerombol datang menuju pohon rambutannya. Mereka masih kecil, mungkin sekitar enam-tujuh tahunan. Yang paling besar di antara mereka sekitar delapan tahunan. Lek Kasno sedikit kaget melihat ternyata yang beberapa hari ini mencuri rambutannya adalah anak-anak kecil itu. Tetapi, tetap saja ia geram. Ingin sekali ia memitas kepala anak-anak itu biar jerah dan tidak lagi mencuri rambutannya. “Dasar maling cilik. Kecil-kecil sudah jadi maling, bagaimana kalau besar nanti?” gerutu lek Kasno.
Anak-anak kecil yang sudah siap di bawah pohon memulai dengan aksi mereka. Awalnya mereka ingin memanjat, tetapi karena kawat duri karatan yang melilit seperti ular di dahan pohon rambutan, mereka mengurungkan niatnya. Akhirnya mereka hanya bisa menggapai dahan yang lebih pendek. Satu-persatu buah rambutan berhasil ia dapatkan. Masih hijau-hijau. Tetapi tak apalah, bagi mereka rambutan pentil lebih baik daripada tidak ada sama sekali.
Lek Kasno berjalan tergesa-gesa keluar rumahnya. Ia ingin menangkap basah maling-maling cilik yang sudah menghabiskan rambutannya, memitas kepalanya, kemudian mematahkan tangan mereka agar kapok dan tidak akan mencuri lagi. Tetapi, ia bukan algojo yang tidak berperasaan melakukan hal-hal seperti itu, terlebih dengan anak-anak kecil yang masih di bawah umur.
“Hei, bocah!!” bentak lek Kasno,”Siapa suruh kalian mencuri rambutanku. Dasar maling cilik. Kupatahkan tangan kalian!!”
Mendengar teriakan Lek Kasno, keenam anak itu lari meninggalkan pohon rambutan. Lek Kasno mengejar anak-anak itu. Dua orang berhasil ia tangkap. Keduanya menangis karena dijewer kupingnya oleh lek Kasno.
“Siapa yang nyuruh kalian maling rambutanku, hah!!” bentak lek Kasno geram. Kedua anak itu hanya menangis diintrogasi Lek Kasno. Keduanya langsung dibawa ke rumah orang tua mereka. Sepanjang jalan kedua anak itu menangis, meronta-ronta minta ampun.
“Kardi!!” teriak Lek Kasno memanggil orang tua kedua anak itu. Kardi keluar. Wajahnya penuh keheranan melihat anaknya menangis bersama Lek Kasno.
“Ada apa Lek, pagi-pagi udah teriak-teriak di rumah orang,” tanya Kardi.
“Ini anak-anakmu, kecil-kecil sudah jadi maling,”
“Emang mereka maling apa?” tanya Kardi yang masih belum paham duduk perkaranya.
“Anak-anakmu ini dari kemaren maling rambutanku sama teman-temannya. Rambutanku habis semua dibuat mereka. Tolong Kau didik anak-anakmu baik-baik, biar kalau sudah besar gak jadi maling kayak bapaknya.”
Kardi merasa tersinggung dengan ucapan terakhir Lek Kasno. Ia geram karena Lek Kasno mengungkit-ungkit aibnya di depan anak-anaknya. Tangannya mengepal. Darahnya naik ke ubun-ubun, memendam emosi yang tak tertahankan. Tetapi, ia masih bisa menahan emosinya. Ia tidak ingin ada pertengkaran di rumahnya hanya karena masalah rambutan.
“Sudahlah lek, Cuma masalah rambutan saja, tidak perlu dipermasalahkan lebih jauh. Berapa banyak rambuatan sampeyan yang habis, saya ganti.”
“Tidak usah dipermasalahkan bagaimana, ini jelas-jelas masalah! Kalau dari kecil anak-anakmu sudah terbiasa mencuri barang milik orang, bagaimana nanti dia besar, hah! Aku nggak butuh uangmu, sebanyak apapun uangmu tidak mungkin bisa menggantikan rambutanku yang sudah hilang dicuri sama anakmu.”
“Ya ampun, lek. Terus, sampeyan maunya apa? Cuma masalah rambuatan saja sampeyan sampai mencak-mencak pagi-pagi di rumah orang, kaya anak kecil saja sampeyan. ”
“Heh! Jaga omonganmu ya. Dasar keluarga maling. Memang buah jatuh nggak jauh dari pohonnya. Bapaknya maling, anaknya juga ikutan jadi maling!”
“Hei, Kasno. Sampeyan jangan seenaknya saja ngomong ya. Saya memang maling, tapi jangan bawa-bawa anak-anak saya. Kubunuh sampean nanti!!” ancam Kardi.
“Berani Kau bunuh Aku? Silahkan. Sini kalau berani, sekalian kupatahkan tanganmu!!” tantang lek Kasno.
Adu mulut itu pun semakin memanas. Keributan itu memancing perhatian orang-orang yang lewat di depan rumah Kardi dan para tetangga dekat. Anak-anak Kardi menangis. Tidak mengerti dengan apa yang terjadi dengan orangtua mereka dan Lek Kasno. Kardi masuk ke dalam rumah. Tidak lama kemudian dia keluar dengan sebilah parang di tangannya.
“Ayo, Lek. Nek sampean memang jago, patahkan tanganku. Sebelum kubunuh sampean!” teriak Kardi memulai pertempuran.
“Ayo, siapa takut!!” sambut lek Kasno.
Pertempuran pun dimulai. Kardi yang emosi karena kata-kata lek Kasno menjadi kalap. Ia menyerang lek Kasno terus menerus membabi buta. Kesadarannya telah hilang. Jiwanya telah kosong dari kebenaran. Lek Kasno yang terus-menerus mendapat serangan dari Kardi hanya bisa menangkis dengan parang yang telah diasahnya tadi pagi untuk memotong tangan orang yang maling rambutannya. Sesekali Lek Kasno menyerang dengan sisa-sisa kemampuannya dulu.
Orang-orang mulai berkerumun di rumah Kardi untuk menyaksikan kejadian itu. Tetapi, mereka hanya bisa menonton saja, tidak ada yang berani melerai karena keduanya saling menyerang membabi buta dengan menggunakan parang. Anak-anak Kardi masih terus menangis. Perasaaan bersalah itu kini bertambah menjadi perasaan khawatir jika terjadi sesuatu kepada bapaknya.
Pertempuran memanas. Kardi semakin kalap, begitu juga dengan lek Kasno. Keduanya tampak kelelahan, namun tidak ada satupun yang ingin menyerah dan kalah. Mereka berdua bertarung layaknya sebuah pertempuran antar kesatria. Orang-orang yang berkerumun hanya bisa berteriak meminta mereka mengakhiri perkelahian mereka. Lebih baik mereka tidak ikut campur perseteruan kedua orang tersebut daripada harus jadi korban.
Perang pun diakhiri dengan darah.
Saat Lek Kasno terlihat kelelahan, Kardi dengan cepat mengambil kesempatan tersebut untuk meraih kemenangannya. Dengan sigap, Kardi menusukkan parangnya ke perut Lek Kasno, menembus tepat di ulu hatinya. Sesaat setelah itu, dengan sisa-sia kekuatan yang ada, Lek Kasno mendorongkan parangnya ke perut Kardi. Darah memuncrat deras dari tubuh Lek Kasno dan Kardi. Keduanya roboh bersimbah darah.
Orang-orang yang melihat kejadian itu kaget bukan kepalang. Mereka tidak mengira akan seperti ini jadinya. Anak-anak Kardi berlari ingin menolong bapak mereka yang roboh berlumuran darah. Namun, usaha mereka ditahan oleh Misno. Keduanya menangis sejadi-jadinya. Perasaan bersalah itu menohok mereka. Ini semua gara-gara mereka. Gara-gara ulah mereka mencuri rambutan lek Kasno. Dan, pohon rambutan hanya berdiri diam dengan kawat duri melilit erat.
-ardianto ardi-