Islam adalah agama yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Hal ini bisa dijelaskan dengan perintah membaca “
iqra” menjadi wahyu pertama yang diterima oleh rasululullah saw. Kemudian ilmu yang pertama kali diajarkan kepada manusia yakni nabi adam as adalah ilmu tentang bahasa, berupa pengenalan nama-nama benda. ( QS. Al Baqarah : 31-34 ). Membaca kemudian bahasa, dua perpaduan sempurna untuk sebuah ilmu. Dan selanjutnya adalah proses penyimpanannya berupa menuliskan nya dengan pena, laksana mengikat hewan buruan dengan tali, demikian imam syafi’i menganalogikan. Maka ilmu adalah sangat penting untuk di miliki, yang dengan ilmu itu Allah akan mengangkat derajat hambanya seperti yang tertulis surah al mujadalah : 11. Berikutnya metode, cara untuk mendapatkan sebuah ilmu itu. Yaitu dengan bertanya. Seperti peribahasa malu bertanya sesat dijalan. Dan salah satu ciri orang yang berilmu itu adalah, kritis. Banyak bertanya. Dan dalam bertanya ada rambu-rambu yang harus dipatuhi :
1. Bertanya karena tidak tahu, wajib hukumnya Maka bertanyalah kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui ( QS. An Nahl : 43 ) Sebuah kisahyang diriwayatkan oleh Abu Dawud, yang sanad nya berasal dari Jabir ra berkata: ada sekolompok orang yang dalam perjalanan, tiba-tiba salah seorang dari kami tertimpa batu hingga mengalami luka pada kepalanya. Di malam harinya dia mimpi basah, lalu dia bertanya kepada temannya, “
Apakah kalian membolehkan aku bertayammum?” Teman-temannya rombongan tersebut menjawab, “
Kami tidak menemukan keringanan bagimu untuk bertayammum. Sebab kamu bisa mendapatkan air.” Lalu mandilah orang itu dan kemudian mati. Akhirnya berita ini sampai kepada Rasulullah SAW, bersabdalah beliau, “
Mereka ( rombongan tersebut) telah membunuhnya, semoga Allah memerangi mereka. Mengapa tidak bertanya bila tidak tahu? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya. Cukuplah baginya untuk tayammum… .” Maka bertanyalah kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. Bertanya dalam urusan seperti ini wajib hukumnya, agar jelas sesuatu itu.
2. Hindari Bertanya untuk membantah atau mendebat, apalagi hingga mengadu domba Seorang penanya hendaknya dalam bertanya supaya dia bisa mengambil manfaat dari jawaban yang diberikan dari pertanyaan tersebut. Bukan untuk berbantah-bantahan. Ibnul Qayyim mengatakan “
Jika anda duduk bersama seorang ‘alim (ahli ilmu) maka bertanyalah untuk menuntut ilmu bukan untuk melawan” (Miftah Daris Sa’adah 1/168) Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan abu dawud, Rasulullah SAW bersabda, “
dijaminkan sebuah rumah di syurga barang siapa menghindari perdebatan, meski padanya ada kebenaran”. Bagaimana bila kita ingin meluruskan pemahaman orang yang kita tanya, tanpa bermaksud membantahnya atau mendebatnya. Seperti cucu Nabi SAW, Hasan ibn Ali dan Husain Ibn Ali yang berlomba berwudhu cara ini mereka gunakan untuk memberi tahukan tata laksana berwudhu yang shahih kepada seorang kakek. Jadi tidak perlu bertanya dan mendebat bukan ? karena debat hanya akan menimbulkan luka hati dan syahwat untuk memenangi serta dengki ketika argumentasi terbantahi. Seorang penanya bukanlah seorang pendebat, maka tidak diperkenankan mengadu domba diantara ahli ilmu seperti mengatakan: Tapi ustadz fulan (dengan menyebut namanya) mengatakan demikian, dan yang demikian termasuk kurang beradab. Namun kalau memang harus bertanya maka hendaklah mengatakan: Apa pendapatmu tentang ucapan ini? Tanpa menyebut nama orang yang mengucapkan. ( Hilyah Thalibil Ilmi, Syeikh Bakr Abu Zaid dengan syarh Syeikh ‘Utsaimin hal: 178 )
3. Haram hukumnya bertanya yang kemudian berakibat haramnya sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan sebelum kita menanyakannya. "Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu al-Qur’an sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun
”. (QS. Al-Maidah: 101) Nabi SAW bersabda : Orang yang paling besar dosanya adalah orang yang menanyakan sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan. Kemudian , hal itu diharamkan karena adanya pertanyaan tersebut ( mutafaqun alaihi ) Islam adalah rahmatan lil alamin. Rahmat bagi seluruh alam. Maka syariatnya adalah di desain untuk memudahkan bukan untuk mempersulit. Tradisi memudahkan dan tidak menyulitkan ini telah dilakukan semenjak jaman rasulullah dan para sahabat. Begitu pula para
tabi’in. Syaikh Rasyid Ridha dalam kitabnya
yusru al islam mengutip sabda rasulullah tentang orang-orang yang yang gemar memperpanjang perkara, penjelasan, dan hukum-hukum yang membuat hidup bertambah kesulitannya. Biarkanlah (jangan tanyakan) yang aku diamkan bagi kalian ( yang tidak dijelaskan hukumnya ). Sessungguhnya, umat sebelum kalian binasa karena terlalu sering bertanya dan mereka berselisih dengan nabi-nabinya ( mutafaq alaihi )
4. Dianjurkan memperbagus kalimat pertanyaan dan cara bertanya Diantara kebaikan dalam bertanya adalah mencari situasi dan kondisi atau konteks yang tepat untuk bertanya. Kemudian memperbagus konten pertanyaan nya dengan pilihan diksi yang indah disertai dengan kelembutan ketika bertanya. “Ilmu memiliki 6 tingkatan, yang pertama adalah
bagusnya pertanyaan… dan sebagian orang ada yang tidak mendapatkan ilmu karena jeleknya pertanyaan, mungkin karena dia tidak bertanya sama sekali, atau bertanya tentang sesuatu padahal disana ada sesuatu yang lebih penting yang patut ditanyakan seperti bertanya tentang sesuatu yang sebenarnya tidak mengapa kita tidak mengetahuinya dan meninggalkan pertanyaan yang harus kita ketahui, dan ini adalah keadaan kebanyakan dari para penuntut ilmu yang bodoh”. ( Ibnul Qayyim ) Diantara cara memperbagus pertanyaan itu adalah dengan berlemahlembut dalam bertanya, ingat rambu-rambu bertanya bahwa bertanya bukan untuk mendebat atau membantahnya. “Dahulu Ubaidullah (yakni bin Abdullah bin ‘Utbah, seorang tabi’in) berlemah lembut ketika bertanya kepada Ibnu Abbas, maka beliau (Ibnu ‘Abbas) memberinya ilmu yang banyak” ( diriwayatkan Abdullah bin Ahmad bin Hambal di Al-’Ilal wa Ma’rifatur Rijal 1/186) Dan berkata Ibnu Juraij: Tidaklah aku mengambil ilmu ‘Atha kecuali dengan kelembutanku kepadanya” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih 2/423)
Wallahu a'lam bishawab Referensi : Al Qur’an & Terjemah Herry Nurdi, “Why not ? Fiqh itu asyik” . Dar Mizan, Bandung
http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/2009/05/adab-bertanya_22.html
KEMBALI KE ARTIKEL