Sempat berbincang dengan seorang teman, di tengah obrolan sarapan pagi. Dia mengeluhkan tentang beasiswa yang sedang berusaha dia dapatkan. Sembari mengeluh tentang masalah pengurusan yang sedikit rumit, dia bercerita bahwa masih ada juga yang mampu mendaftar beasiswa dan pada akhirnya mendapatkan beasiswa. Idealkah itu?? Beasiswa yang seharusnya diberikan kepada yang benar-benar tidak mampu justru diberikan ke seseorang yang berlebihan. Karena diakuinya uang ini akan dibelikan baju dan untuk makan-makan. Sistem kah yang tidak ideal dalam hal ini atau pemikiran saya yang belum diubah? Mungkin sekarang, idealnya semua mahasiswa berhak mendapat kesempatan untuk mengajukan dan mendapatkan beasiswa..yah mungkin itu.Alasan pertama untuk memikirkan kembali sikap idealis di bumi yang kurang ideal.
Alasan lain lagi, muncul ketika saya merenungi diri saya. Benarkah saya ini seorang yang sangat idealis? Itu yang dikatakan teman-teman kepada saya. Kata mereka keidealisan saya membuat saya tidak ingin bekerja di tempat lain selain di bidang yang saya pelajari. Benarkah ini idealis? Saya hanya berpegang bahwa saya menuntut ilmu dan akan mengamalkan ilmu ini di jalan yang sesuai dengan ilmu yang saya miliki. Saya hanya khawatir ketika saya mengerjakan pekerjaan di luar bidang saya,maka pekerjaan itu menjadi tidak mudah dan hasil nya tidak maksimal karena saya tidak mempunyai ilmu nya. Kondisi ini membuat saya sekarang memikirkan kembali keputusan untuk menjadi idealis. Terkadang saya dibenturkan oleh kondisi yang sangat sulit, dimana setelah ini saya harus bekerja dan mencukupi kebutuhan saya, apakah saya bisa menunggu pekerjaan yang saya inginkan. Kegelisahan itu selalu mengalir, terlebih ketika melihat petugas SKK di kampus yang berpenampilan tegap, wajah tak terlalu jelek. Apa kah ini pekerjaan yang mereka inginkan?? Atau mereka mengerjakan ini karena memang sudah tidak ada lagi tempat bagi mereka untuk mengukir mimpi-mimpi ideallis yang pernah tertanam di benak meraka. Saya yakin mereka pernah menggambarkan kondisi ideal bagi hidup nya. Lalu, masih kuat kah saya menjaga dan mempertahankan keidealisan saya dengan melihat realita ini??
Alasan ketiga, muncul ketika saya memikirkan seseorang yang saya kagumi, seorang dosen yang sedikit banyak mempengaruhi cara berpikir saya hingga saya ingin menjadi" someone like him". Beliau ini sangat cerdas, ide nya sangat cemerlang, akan tetapi sampai saat ini gelar profesor belum disandangnya. Tapi bagi saya, beliau adalah profesor saya. Apa yang ada di pikiran nya adalah bagaimana mahasiswa saya bisa pandai, karena itu tugas seorang dosen, bukan sibuk memikirkan proyek dan publikasi yang pada akhirnya menghasilkan cum. beliau hanya ingin penelitian yang dikerjakan itu jangan hanya teronggok menjadi sebuah paper saja yang masuk deretan jurnal ilmiah dan menambah koleksi perpustakaan. Beliau sering berkata, menelitilah hingga hasil nya dapat dimanfaatkan masyarakat luas. Saya sering mendapatkan sindiran mengenai penelitian yang saya kerjakan, yang sifatnya sangat tidak aplikatif. Dengan sindiran itu saya berpikir, beliau mencoba menanamkan idealisme nya kepada saya. Berat ini sangat berat, ketika saya sudah berubah menjadi seperti beliau, berbagai tantangan dan hambatan untuk tetap mempertahankan pemikiran beliau saya rasakan makin mengurungkan niat saya. Bantahan pun datang dari orang yang hampir 4 tahun ini membimbing saya dan saya bekerja dengan nya. Masih perlukah saya menanamkan ideologi beliau di tengah arus yang seolah-olah menentang ideologi beliau. Apa yang salah dengan ini semua?? Dunia..sungguh saya tak berdaya.
Dengan kerumitan yang ada, berpikir untuk menjadi idealis malah semakin rumit. Pernahkah anda berpikir, yang idealis itu yang seperti apa. Kok rasa-rasanya sangat relatif ya. Jadi mulai detik ini, saya akan menjalankan saja apa yang saya anggap nyaman karena menurut saya ideal samadengan nyaman.