Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Ali Khomsin, Meski Sarjana Masih Mengukir Kayu

10 Oktober 2011   13:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:07 123 0
Ali Khomsin sedang beraksi

Jepara : Bagi Ali Khomsin (25) meski dulu saat masih duduk dibangku kelas I Madrasah Tsanawiyah (MTs), tetapi ia sudah dikenalkan seni ukir oleh kakak kandungnya, Sudaim. Waktu itu dirinya dikenalkan dengan unsur ukir semisal sunduk samping, ngekoli, nyoreti dan nglemahi. Saat itu, kelas satu, kakaknya secara total mengajarinya mengukir. Setelah itu ia dilepaskan untuk memasuki ranah kerja secara nyata.

“Saya belajar natah sejak masih duduk dibangku kelas 1 MTs. Waktu itu yang mengajari adalah kakak kandung saya. Setelah kurang lebih setahun berjalan saya diajari, menginjak kelas 2 saya mulai kerja sendiri,” akunya saat ditemui dirumahnya.

Kini kepandaian lelaki yang tinggal di desa Dongos RT.05 RW.02 kecamatan Kedung kabupaten Jepara itu masih berlanjut hingga saat ini. Meski natah, istilah Jawa dari mengukir baginya bukan merupakan incaran profesi utama tetapi bagi Ali upah yang dihasilkan dari jerih payahnya itu sudah bisa untuk tambahan uang sakunya.

“Jika mau jujur, natah sebenarnya bukan profesi utamanya saya. Karena belum memiliki pekerjaan utama ya akhirnya saya jalankan hingga saat ini,” lontarnya.

Kepada Wartawan, lulusan IAIN Walisongo Semarang itu sempat membeberkan upahnya dari sejak MTs hingga Sarjana. Dikatakannya, dulu upah yang ia terima antara Rp.4.000-5.000,-. Itu dikarenakan, ia hanya bisa bekerja sepulang sekolah antara jam 14.00-16.00 WIB. Sedangkan saat upahnya sudah mencapai Rp.25.000-30.000,-/ hari.

“Ya, uang yang saya dapatkan hanya bisa untuk nambah-nambahi bayar SPP dan LKS. Selebihnya biaya yang lain ditanggung oleh orang tua. Untuk biaya kuliah di Semarang pun juga demikian masih menggantungkan diri kepada ortu,” bebernya.

Meski begitu, ia yang pernah mandeg 2 tahun selepas lulus MA masih menyimpan angan-angan agar suatu saat kelak mendapatkan pekerjaan layak sesuai dengan jenjang pendidikannya. Secara gamblang, ia pun malu jika lima tahun sudah menimba ilmu di Semarang tetapi akhirnya hanya menjadi buruh ukir saja.

Untuk saat ini, pekerjaan yang ada dijalani dulu. “Sementara ini, garapan yang diberikan sejumlah 6 stel perminggu saya jalani dengan serius. Tetapi dilain pihak saya juga berusaha agar ijazah S1 saya tidak nganggur nantinya,” harapnya. (SM/FM)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun