Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

"Dek, Kau Tahu Bedak Putih?"

11 Agustus 2012   21:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:55 233 1
Tuntutan tugas dari kantor sekitar setahun lalu pernah memaksa saya "berkenalan" dengan pemakai narkoba. Dia dipanggil Acoy. Sampai sekarang saya tidak tahu nama aslinya. Acoy yang saya panggil Abang itu lebih tua beberapa tahun dari saya. Sekitar 25 atau 26 tahun mungkin.
Entah karena faktor apa, perkenalan yang penuh unsur 'pemaksaan' justru mendekatkan kami pada akhirnya. Kami sering ngobrol tentang apa saja. Tertawa, atau memaki siapa saja sesuka kami.  Well, sampai detik ini saya memang belum berhasil menghentikan Abang pakai barang jahanam itu. Hidup dia masih dikelilingi botol-botol bertuliskan vodka, jack daniel,dan kadang-kadang diselingi menghisap tembakau topos (istilah ganja di daerah kami).

Beberapa hari lalu saya berkesempatan pulang ke Bengkulu dan Abang ngajak ketemuan. Saya iya-kan karena kebetulan juga kangen pantai. Kami asyik ngobrol ngalor ngidul sambil duduk di pasir pantai Jakat yang memang tidak  jauh dari kostan Abang. Pantai sepi karena memang masih siang bolong.

"Dek, kau tau bedak putih?"tanya Abang tiba-tiba.

"Taulah. Bedakku putih, mereknya my baby," sahut saya tanpa berpikir. "Mukaku jerawatan kalau pakai bedak padat,Bang."

"Tolol kau," umpatnya. Tak lama kemudian, dia mengeluarkan bungkusan plastik seperti bungkus obat dari kantongnya. Hanya ukurannya kecil. Didalamnya ada bubuk seperti kapur yang ditumbuk.

"Ini bedak putih," ujarnya. "Putaw, PT, snow white,"

Saya tertegun seketika. Perasaan was-was mulai muncul. Oke, selama ini Abang memang tidak pernahmacam-macam dengan saya. Bahkan dia yang pertama marah saat saya ketahuan mencoba menghisap rokok untuk pertama kali. "Tomboy boleh, bandel boleh, nakal boleh. Tapi jangan bodoh jadi orang. Mau rusak badan kau kaya' abang?" katanya waktu itu.

Tapi sekarang? kok tiba-tiba menyodorkan putaw? narkoba kan?

Saya masih diam menunggu reaksi Abang selanjutnya.

"Kalau pakai ini, rasanya ngefly,Dek. Kalau kau sedih bisa langsung jadi senang lagi. Cepat," lanjutnya. " Kalau masih macam ini pakenya dihisap. Tapi ada juga yang disuntik,"

Lagi-lagi saya bengong. Melongo. Hah? Terus?

"Ngapain coba Abang ngasih tau aku barang macam itu?"

"Kalau ada yang ngasih kau barang ini, jangan pernah kau sentuh. Apalagi kau pakai. Dengar kau kata Abang?" nada suaranya tiba-tiba berubah tegas. "Abang yakin kalau ganja kau sudah tau bentuknya, shabupun sudah karena sering abang pakai. Tapi asal kau tahu, ini yang paling murah dan paling sering makan korban baru,"

Karena saya masih terdiam, Abang melanjutkan ucapannya. "Abang tahu persis orang-orang macam apa yang bisa kau temui dengan kerjaan kau yang macam itu. Tampang kau preman, tapi pikiran kau masih polos macam anak kecil. Kalau di sini ada Abang, tapi Abang tak bisa awasi kau di Lebong sana. Kau harus bisa jaga diri kau sendiri. Ngerti kau,Dek?"

Saya mengangguk paham. Abang berjanji, pertemuan selanjutnya akan diisi materi "kuliah" yang lain yakni heroin dan inex. Abang belum dapat barangnya saat itu karena harganya mahal dan dia lagi bokek.

* * *

Ah, Abang.
Mungkin dia dibuang oleh keluarganya.
Dianggap sampah bagi lingkungan sekelilingnya.
Dikucilkan, tersingkirkan. Disepelekan.

Tapi bagi saya, Abang Acoy adalah manusia paling tulus yang pernah saya temui.
Umpatan kasar yang biasa dilontarkannya sejuta kali lebih bermanfaat dari mereka yang mengaku teman tapi kerap menusuk dari belakang. Mereka, para munafik bertopeng malaikat namun selalu berusaha menjatuhkan siapapun dengan segala cara.

Subuh ini saya terbangun. Mengucap doa singkat yang entah sudah berapa fajar saya panjatkan.


"Tuhan, berkatilah selalu Abang Acoy.Ubah hatinya,Tuhan. Lepaskan ia dari apa yang membelenggunya selama ini.Aku percaya hanya Kau yang sanggup pulihkan hidupnya kembali. Amin."


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun