Pacarku memiliki fobia. Seperti kebanyakan orang, pacarku anti kecoa. Tapi yang harus diingat, pacarku bukan takut, pacarku fobia.
Baginya, kecoa itu alien. Ya, makhluk dari luar angkasa. Bentuknya seperti serangga pada umumnya. Tidak berlendir, tidak bergelambir, tapi hebatnya, hanya mereka satu-satunya makhluk yang bisa selamat dari ledakan nuklir.
Banyak pengalaman tidak menyenangkan antara pacarku dan kecoa. Dari luka terkena kencingnya, sampai pengalaman diserang ratusan kecoa pasca penyemprotan hama.
Seberapa takut pacarku akan kecoa? Jangankan tersentuh seujung jari, melihat wujudnya dari jarak 3 meterpun dia lari ke ujung bumi. Dan jika ada kecoa tertangkap mata, jangankan melompati kursi atau meja. Menyebrangi jurang neraka pun ia rela.
Ingat.. pacarku bukannya takut, tapi fobia.
Pernah ada kecoa terbang hinggap di pundaknya. Seketika pacarku menjerit bak wanita diperkosa. Melonjak setengah melayang, mendadak amnesia etika di rumah makan. Persetan kata orang.
Aku? Aku tidak takut pada serangga. Tetapi bukannya aku suka. Bedanya aku takkan menjerit jika ada kecoa hinggap di kepala. Cukup ditepis saja.
Suatu hari, aku dan pacarku makan di pinggir jalan. Duduk bersebrangan, adu pandang, berpegangan tangan. Mengumbar kemesraan.
Tiba-tiba sesuatu yang renyah menyentuh kepalaku lembut, rasanya seperti ditimpuk. Aku menunduk. Aku pikir anak kecil di belakangku melemparku dengan kerupuk.
Tak ada apa-apa di bawah tempatku duduk.
Aku kembali menghadap pacarku, namun ia sudah berdiri. Merapat pada dinding di samping pagar besi. Wajahnya ngeri.
"It, it, Itu.. Y-yang.. K-k-k-kec.. Kecoa!" jeritnya.
Sebelum otakku mencerna, sebelum aku bereaksi apa-apa, ia maju dengan cepat. Tangannya melesat. Mengenai sesuatu di rambutku yang berwarna coklat.
Ternyata ada kecoa terbang dan hinggap di rambutku. Aku tidak tahu. Setelah terjatuh, kecoa itu kabur kebawah lemari biru. Pacarku mendadak lesu.
Ia baru tersadar bahwa ia baru saja menyentuh ketakutannya yang terbesar. Tapi gerak refleksnya hanya mengatakan bahwa ia harus menyelamatkan sang pacar.
Fobia bukan ketakutan biasa. Apapun yang ditakuti pengidapnya adalah sumber bahaya. Walaupun bagi orang lain, itu hal biasa. Seperti aku, yang tidak takut pada kecoa. Namun baginya? Sumber malapetaka.
Aku bisa saja menyingkirkannya dengan gampang. Tanpa harus ada pengorbanan. Tetapi refleks pacarku nomor satu adalah menyelamatkan. Ah, sungguh manis bukan?
Mungkin ini yang disebut tulusnya cinta. Cinta yang tak seberapa, jika dapat melawan ketakutan fobia, jelaslah sangat bermakna. Bagiku tak ternilai harganya.