Pada era modern ini, sistem Pilkada semakin kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai kepentingan. Salah satu isu yang mencuat adalah maraknya calon kepala daerah yang memiliki hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya. Selain itu, pragmatisme dalam pencalonan sering kali menjadi sorotan, terutama ketika calon lebih mengandalkan popularitas dan modal daripada pengalaman dan kemampuan manajerial yang mumpuni.
Di satu sisi, demokrasi memungkinkan siapa saja untuk maju sebagai calon kepala daerah. Namun, di sisi lain, pertanyaan besar muncul terkait kriteria ideal seorang pemimpin daerah: apakah sekadar popularitas dan modal sudah cukup untuk membawa perubahan yang diharapkan oleh masyarakat? Atau ada faktor lain yang lebih esensial untuk memastikan bahwa seorang kepala daerah mampu menjalankan tugasnya dengan baik dan membawa kemajuan bagi daerahnya?
Pilkada di Indonesia dihadapkan pada beberapa tantangan utama yang dapat mempengaruhi kualitas pemimpin daerah yang terpilih. Salah satu tantangan terbesar adalah pragmatisme dalam pencalonan. Fenomena ini terlihat dari banyaknya calon yang mengandalkan hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya atau popularitas yang sudah ada, baik melalui media sosial maupun jaringan politik. Pragmatisme ini dapat mengabaikan pentingnya pengalaman dan rekam jejak yang solid dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan.
Tantangan lainnya adalah potensi terjebaknya pemimpin dalam "autopilot government." Ini terjadi ketika seorang kepala daerah hanya menjabat secara simbolis tanpa memberikan perhatian serius terhadap kebutuhan masyarakat dan arah pembangunan.