saya yakin untuk bisa seperti mereka tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak tahapan tahapan yang diharus dilalui dan ditempuh. Anehnya konsepsi "mawadah wa rahma" banyak saya lihat disini. Disatu sisi saya memahami bagaimana menikah itu sebagai usaha untuk melengkapi "addien" kita, melengkapi pemahaman terhadap fenomena kemanusiaan dan lingkungan sekitar kita. Melengkapi untuk bisa hablummninal alam dan hablum minnas. Namun disisi lain, ketika sosok yang kadang "mengaku" sebagai pasangan kita cenderung "memaksakan" kehendak dan " mau"nya sendiri, akankah membawa kedamain dan ketentraman hati? atau malah membawa kepada suasana " hidup segan, matipun tak mau". Untuk masalah ini sebetulnya para "ambiyak" juga memberikan solusi kog. Ndak usa repot repot.....dahulu kala ketika Nabi Ibrahim mengunjungi Ismail yang beliau tinggalkan untuk beberapa lama di tengah padang pasir dan "hanya" berbekal mata air zamzam. Pada kunjungannya ini beliau mendapati Ismail sudah berkeluarga dan ketika dirumah di"sambut" Istri Ismail. Tiada disangka dan dinyana dalam kunjungannya ini Ibrahim sang Waliyullah memiliki "kesan" negatif terhadap menantunya ini. untuk itu si "Ibrahim" berpesan kepada Ismail yang dititipkan ke istrinya agar "mengganti Pintu". Dari Riwayat memang diketahui bila setelah mendapat pesan sang waliyullah ini Nabi Ismail menceraikan Istrinya dan memperistri seseorang lainya yang pada akhirnya menurunkan Nabiyullah Muhammad SAW.