Gunung bagi sebagian orang adalah tempat bersantai sambil menikmati keindahan alam. Bagi saya tidak salah, namun perlu dievaluasi. Gunung dengan segala kesakralan dibaliknya, harus dilihat lebih dari sekadar pemandangan. Keindahan gunung harus dibaca sebagai sebuah tanda bahwa setiap pendaki mesti menginternalisasi nilai keindahan dalam aspek kehidupannya, dan harus menjadi prinsip bahwa kecacatan dalam tindakan adalah noda yang bertentangan dengan kesakralan gunung. Jika suatu ketika, seorang pendaki, melanggar nilai keindahan, sejatinya kegiatan mendaki hanya dilakukan untuk menghibur aspek raganya, namun  mengabaikan aspek jiwanya.
Menurut saya, aktivitas mendaki merupakan  the art of knowing yourself. Perjalanan menuju puncak serta tumbuhnya ikhtiar untuk mewujudkan potensi dalam diri harus terus terawat dan berjalan secara berkelindan bagai dua sisi sayap, untuk sampai pada puncak perjalanan. Jika Mulla Shadra mengatakan "berfilsafat adalah perjalanan akal menuju tuhan", maka saya mengatakan "mendaki gunung adalah perjalanan raga menuju Tuhan". Sebab dibalik perjalanan, rentetan manifestasi menjadi signifikasi menuju Tuhan.