Minimnya jumlah jurnalis perempuan di tingkat redaksi atau manajemen puncak berdampak pada kebijakan media tentang tugas peliputan perempuan, masalah upah dan juga berpengaruh pada bagaimana media menggambarkan berita perempuan seperti kasus pemerkosaan, dll. Dari laporan yang sama, AJI menemukan gambaran negatif tentang perempuan di sejumlah media nasional. Akibatnya, berita kategori kekerasan terhadap perempuan masih mendominasi. Anehnya, ada juga kasus pelanggaran kode etik jurnalistik, khususnya dalam pemberitaan kekerasan terhadap perempuan sebagai korban. Perempuan yang dilecehkan mengalami berbagai kekerasan, seperti yang ditampilkan dalam berita dengan cara yang diskriminatif. Riset AJI menunjukkan, jumlah narasumber atau narasumber yang diwawancarai media masih lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Kondisi tersebut membuat suara perempuan terabaikan dalam isu-isu perempuan. Perspektif laki-laki dan perempuan dalam menanggapi isu-isu perempuan jelas akan berbeda. Hal ini dapat menyebabkan ketidaksetaraan gender dalam berita.
Kurangnya kepekaan gender di media dibuktikan dengan kegagalan menghilangkan stereotip berbasis gender yang bisa ditemukan. Oleh karena itu, peran jurnalis perempuan dalam redaksi sangat penting untuk mempromosikan ketidaksetaraan gender. Karena jurnalis perempuan telah digambarkan sebagai sosok yang kompeten, mandiri, berani dan penyayang berdasarkan penelitian pelopor jurnalis perempuan, Donna Born yang menemukannya (Ehrlich & Saltzman, 2015).
Bagaimana media Indonesia menangkap isu perempuan juga masih klise dan kondisi ini bertentangan dengan deklarasi Beijing pada tahun 1995 yang mengatakan dalam satu butir bahwa citra perempuan di media harus berimbang dan tidak klise. Selain citra perempuan di media yang cenderung stereotip, pemberitaan media juga masih diskriminatif.