Rencana peremajaan saat ini dibarengi dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang telah menembus 13 ribu rupiah per dolar nya. Menguatnya nilai tukar dolar ini membuat harga beberapa komoditas dari AS sendiri mengalami kenaikan termasuk kenaikan harga jual sistem kesenjataan produksi AS. Hal ini membuat pengkajian yang lebih lama dalam mempertimbangkan pesawat dari negara manakah yang akan dibeli guna memperkuat wilayah udara RI.
Dengan kenaikan nilai dolar tersebut, ada beberapa alternatif yang dimungkinkan yaitu dengan memilih F-16 dari AS atau Sukhoi 35 dari Rusia. RI dapat mempertimbangkan pemilihan pesawat tersebut dengan kondisi saat ini dimana terjadi kenaikan Dolar AS dengan beberapa mata uang dunia, serta penurunan nilai mata uang Rubel Rusia sendiri.
Dari segi pertahanan dengan menguatnya dolar akan membuat harga-harga persenjataan dan suku cadang peralatan tempur dari AS akan semakin mahal. Dengan begitu alternatif untuk pembelian pesawat F-16 dari AS bisa dikaji ulang. Sehingga negosiasi untuk pembelian Su-35 dari Rusia dalam rangka peremajaan F-5 yang direncanakan dapat lebih diintensifkan.
Tahun ini saja, akibat naiknya dolar AS dan menurunnya Rubel Rusia, harga pesawat dari kedua negara tersebut mengalami koreksi. Satu unit Sukhoi -35 menjadi bernilai USD 65 juta (setara Rp 844 miliar) Lebih murah dari F-16 buatan AS yang harga jual per unit mencapai USD 165 juta (setara Rp 2,1 triliun)
Sedangkan dari sistem teknologi, pesawat Su-35 mempunyai kualitas dan kemampuan berada diatas F-16 bahkan melebihi F-22 Raptor, sehingga dengan budget yang tersedia, jika RI membeli Su-35 dapat memiliki lebih banyak kuantitas jumlah pesawat dibanding jika membeli F-16 karena perbedaan harga yang hampir 3 kali lipat tadi dengan kualitas lebih baik..
Sukhoi 35 merupakan pesawat tempur generasi kelima dari Rusia, bermesin ganda dan bertempat duduk tunggal. Pesawat ini merupakan upgrade dari Sukhoi 27 yang telah memperkuat dirgantara RI lebih dahulu, mempunyai beberapa kelebihan avionik yakni mampu berhenti sejenak diudara dan dapat mengangkut lebih banyak rudal air to air. Bahkan dari beberapa sisi mempunyai kemampuan berada sedikit diatas dari pesawat tempur generasi kelima buatan AS yakni F-22 Raptor.
Bisa ditebak, bila salah satu produk dagang berharga mahal, orang akan cenderung lebih memilih harga yang lebih murah dengan kualitas yang lebih baik. Dan itu sudah menjadi naluri pembeli.
Yang terjadi kemudian dagangan F-16 dan suku cadang tentunya mengalami penurunan penjualan, yang berakibat berkurangnya ekspor AS, sehingga membuat industri dirgantara mereka menjadi turun, jika seluruh negara berpikiran sama, melemahnya industri AS akan mengakibatkan gagal membayar pegawai dan berujung pemecatan, jika itu terjadi maka Ekonomi AS masih dalam kondisi bahaya.
Seperti halnya pada penghujung tahun 1998, dimana industri dirgantara RI yang telah berhasil membuat pesawat terbang sendiri, menjadi hancur lebur akibat tidak adanya kegiatan penjualan yang berimbas pada produktivitas, sehingga untuk bertahan hidup beberapa karyawan waktu itu memproduksi alat-alat rumah tangga.
Itu baru satu industri saja, bisa dibayangkan dalam banyak produk seperti elektronik, otomotif, Software, dll. Semua negara yang berhubungan dengan dolar melakukan hal sama terhadap komoditas AS, jadi penguatan dolar terhadap beberapa mata uang dunia bisa menjadi pisau bermata dua bagi AS sendiri. Tentunya AS juga sudah menghitung dan mengantisipasi hal ini.
Meski demikian dengan harga yang relatif murah, Sukhoi-35 sendiri mempunyai kelemahan dalam hal operasional. Sebagai perbandingan dimana saat menerbangkan Sukhoi-27 saja TNI AU membutuhkan biaya operasional sebesar Rp 100 juta rupiah dalam satu jam penerbangan, sedangkan Suhkoi-35 membutuhkan anggaran Rp 250-300 juta dalam satu jam penerbangan. Nilai ini lebih mahal jika membandingkan dengan biaya operasional F-16 sendiri yaitu Rp 150-180 juta dalam sejam penerbangan.
Sukhoi sendiri menjadi favorit para pilot AU, pasca diperkuatnya jenis Sukhoi sebelumnya yakni Su-27 dan Su-30. Sehingga bukan menjadi hal yang baru bagi para pilot AU. Juga dalam hal perawatan bagi para teknisi, mereka tidak perlu belajar banyak dalam penanganan pesawat Sukhoi-35 nantinya.
Rusia sendiri juga telah menghitung keadaan ekonomi dunia saat ini, dengan turunnya beberapa nilai mata uang dunia termasuk Rubel Rusia membuat Pemerintah Rusia semakin gencar untuk menjual produk komoditi perdagangan mereka, termasuk menawarkan Sukhoi-35 kepada RI melihat momentum didalam negeri dimana RI melalui TNI-AU yang berencana melakukan peremajaan terhadap F-5 Tiger buatan AS. Guna ikut memperbaiki kondisi ekonomi mereka yang mendapat embargo komodoti dari negara-negara barat akibat invasi Rusia terhadap wilayah Ukraina.
Akibat embargo tersebut, membuat Rusia menggeser pasar komoditi persenjataannya kewilayah Asia Tenggara khususnya Indonesia. Promosi gencar produsen Sukhoi melalui perwakilan duta besarnya kepada para pejabat militer RI pada beberapa minggu terakhir sedikit banyak memberikan kesempatan kepada Rusia untuk memenangkan penjualan pesawat tempur tersebut. Nampaknya Rusia belajar banyak pasca kegagalan menjual pesawat Sukhoi komersial SSJ-100 mereka yang jatuh digunung salak sebelumnya, sehingga dalam promosi kali ini Rusia lebih berhati-hati.
Bijak memilih peralatan tempur yang akan dibeli berguna kelak dikemudian hari ketika suatu saat ada beberapa spare part yang akan diganti kita tidak lagi kesulitan akan embargo senjata yang pernah RI alami beberapa tahun yang lalu, sehingga untuk membuka embargo tersebut ada beberapa deal dan intervensi dari negara penjual suku cadang tersebut.
Semoga apapun pesawat yang akan dibeli nantinya dapat memberi rasa aman terhadap wilayah NKRI khususnya pada pertahanan udara, serta membuat RI menjadi lebih mempunyai efek gentar terhadap negara-negara sekitar.