Di salah satu lantai gedung pencakar langit yang sibuk, Raymond Ellion si pria Sumatera bertubuh kekar itu mencoba membuang serantang lauk berisi sayur dan ikan buatan ibunya. Meski makanan itu jelas lebih bersih dan bergizi, tapi menjadi tak menarik dibandingkan lauk buatan resto. Kebiasaan ini sering ia lakukan, sesering makanan yang dibekali oleh ibunya. Bagi orang-orang berkecukupan yang hidup di perkotaan, kebiasaan membuang makanan seperti yang Raymond lakukan adalah hal yang lumrah. Dan Raymond pun memafhumi kebiasaannya itu. Raymond yang besar di kota metropolitan dan tumbuh dalam lingkkungan modern menilai makanan dalam sebuah takaran selera. Ia sanggup membeli dalam jumlah banyak dan lumrah membuangnya jika kehilangan selera.
Secara kasat mata perbuatan ini jelas terlihat boros. Tapi ia yang tumbuh di lingkungan konsumtif memahami perilaku ini sebagai hal yang lazim. Sampai suatu hari, pengalaman sederhana yang saya bagikan kepadanya mampu mengubah kebiasaannya yang suka membuang makanan menjadi sangat menghargai makanan hanya dalam sekejap.
Pengalaman yang Perlu dibagikan
Pagi terasa hangat dan pengap oleh asap-asap pembakaran sampah yang membumbung laksana kabut di pegunungan. Di bawah langit nan biru dan semilir angin pagi sebuah pesta yang tak lazim digelar. Di atas tumpukan kantong-kantong sampah berwarna hitam, sisa makanan dari restoran siap saji dan pasar swalayan dipilah-pilah oleh setengah lusin pemulung tatkala pintu bak truk sampah dibuka. Lalat dan belatung bukan halangan bagi mereka yang hidup dalam dekapan kemiskinan. Mereka meloncat dari satu tumpukan ke tumpukan lainnya, menerobos kerumunan lalat, mengoyak kantong-kantong sampah untuk menemukan hasil terbaik.
Ayam goreng, bakso, sosis, udang, dan filet dada ayam seukuran cawan telah berjejal bagai tumpukan batang-batang besi kelabu kusam. Satu persatu makanan sisa itu diambil lalu dituang ke sebuah wadah yang mereka bawa.Ada yang dibawa pulang ada pula yang bisa langsung dimakan seperti buah-buahan. Hati saya terenyuh menyaksikan pemandangan tersebut. Di kepala saya terbayang kalau makanan itu sebelumnya tersusun rapi di rak penyimpanan bak seni rupa dalam etalase, dimasak dengan kepiawaian dan bercita rasa seni dari para koki terbaik guna membangkitkan selera makan. Tapi sayang, orang-orang konsumtif tak menilai makanan sebagai penyambung hidup apalagi karya seni sang koki. Mereka hanya melihat sebagai sebuah pemuas kenikmatan, secuil kemewahan dari gaya hidup yang mereka punya. Di tingkat ritel, makanan baru dalam jumlah besar terbuang sia-sia hanya karena bentuknya yang dianggap tidak tepat atau sisa dari penjualan. Padahal makanan itu sebenarnya masih layak untuk dimakan.
Yang lebih disayangkan lagi adalah dari semua makanan yang terbuang, ikut pula terbuang tenaga petani yang sudah berbulan-bulan merawat tanamannya. Semangat mereka untuk mendapatkan pupuk murah,harapan naiknya harga sayur mayur dan gabah untuk memakmurkan kehidupan terbuang sia-sia karena pemborosan. Namun apakah kita menyadarinya? Sayang, hanya sedikit dari kita yang memahami hal ini. Padahal, selain jerih payah petani, membuang makanan sama juga dengan membuang sia-sia sumber kehidupan di dunia ini: air. Ternak dan pertanian membutuhkan banyak air. Seekor ternak membutuhkan banyak air bersih untuk pertumbuhan dan produksi. Demikian juga dengan pertanian.Untuk menghasilkan padi dan biji-bijian dibutuhkan banyak air melalui sistem irigasi.
Tapi kenyataannya orang-orang berkecukupan memiliki kecenderungan membeli makanan dalam jumlah besar, yang kebanyakan merupakan makanan berbahan baku daging (non vegetarian-red). Restoran-restoran di Jakarta sedikitnya memerlukan berton-ton bahan baku mentah berupa daging, sayur, dan buah-buahan. Tapi setelah semuanya terhidang di meja makan, sepertiga dari makanan yang diproduksi itu berakhir di bak sampah atas berbagai alasan.
Langka tapi Nyata
Di saat orang-orang mulai sibuk menjalani aktivitas kerja, Karniti masih berjibaku memilah sampah makanan di bawah cahaya matahari yang kian meninggi. Sinarnya semakin terik, menyengat kulit tanpa ampun, membuat lanskap panorama begitu kontras dan aspal serasa mambara. Tapi Karniti masih saja mengais sayur mayur yang berserakan di antara tumpukan sampah. Di samping Karniti berdiri dua saudarinya, Sureni dan Surini. Mereka adalah tiga dari sekian banyak pemulung yang baru bisa makan setelah bergelut mengumpulkan bulir demi bulir sisa makanan. Sekantong lauk bercampur kotoran dan lalat harus mereka kumpulkan dengan bersusah payah sejak subuh hingga siang. Di tempat ini kehidupan terasa begitu keras bagi mereka yang tak punya pilihan. Dan Karniti bersama kedua saudarinya telah menjalani profesi ini selama lebih dari tiga puluh tahun yang lalu.
Sayangnya, mereka yang telah membuang makanan tak ada di sini untuk melihat pertunjukan langka tapi nyata. Dimana Karniti hidup selama lebih dari tiga puluh tahun dari makanan sisa yang dirayapi belatung dan dikerubuti lalat hijau nan gemuk. Jika mereka di sini, mereka akan menyaksikan Karniti bersama Sureni dan Surini menjelma menjadi peri yang menari-nari kegirangan tatkala mendapatkan bongkahan jeruk segar dalam genggamannya. Dan setelah perburuan makanan dirasa cukup, Karniti bersama dua saudarinya pun kembali ke rumah. Potongan daging ayam, cumi, udang, sayur, dan cabe diolah menjadi hidangan mewah keluarga. Mereka masak di pondoknya masing-masing, tapi kemudian berkumpul kembali saat makanan itu masak untuk bersama-sama dinikmati. Di dalam pondok kecil nan reyot berjejal-jejal Karniti, suaminya, dan putra bungsunya. Lalu di sampingnya ada Surini, dan Sureni beserta suaminya. Di jamuan makan pagi itu, mereka bercengkerama dan bersanda gurau seakan melupakan semua kesulitan dan kenangan di kampung halamannya yang dulu.
Semula keluarga Karniti bekerja sebagai buruh tani di Jawa Tengah. Namun tatkala tuntutan hidup semakin meningkat dan kemelaratan semakin pasti bagi mereka yang bekerja sebagai buruh tani, ayah Karniti pun memutuskan untuk memboyong keluarganya ke Jakarta dan mulai mencari nafkah sebagai pemulung. Kendati demikian, tinggal di Jakarta ternyata tak lantas membuat hidup mereka menjadi lebih makmur. Untuk membeli satu liter beras ayah Karniti sedikitnya harus mendapatkan beberapa kilogram kertas atau plastik daur ulang di antara tumpukan sampah yang menggunung. Dan untuk menghemat pembelian lauk, Karniti bersama ibu dan saudari-saudarinya mencari sisa-sisa makanan di penampungan sampah. Di tempat ini makanan sisa orang-orang berkecukupan, menjadi berkah yang tak boleh terbuang oleh Karniti dan kedua saudarinya. “Makanan yang sudah kami dapat tak boleh lagi dibuang. Karena kami adalah orang-orang yang makan dari sisaan,” kata Karniti pilu.
Sesaat setelah pesta makan usai, Surini kakak tertua Karniti berkata, “Kalau saja orang-orang kota mendonasikan kelebihan makanannya dan tidak membuangnya, mungkin kita tidak perlu bersimbah peluh, berlepotan kotoran demi sepiring lauk.” Sungguh membuat hati saya menjadi miris.
Kita Ikut Peduli
Beberapa hari setelah menyaksikan pesta makan tak biasa itu, pikiran saya selalu dibayang-bayangi oleh derita hidup mereka yang seakan tampa ujung. Memulung makanan di pusat pembuangan sampah mungkin terkesan tak manusiawi, namun sejatinya mewakili masalah kemiskinan dan keputusasaan kaum pinggiran yang yang tersisih.
Kejadian itu membuat saya gamang. Rasanya tak mudah bagi saya untuk melupakan pengalaman itu, meski saya berusaha mengenyahkannya.Saya pun termenung sambil menyisiri lorong pertokoan yang temaram oleh kerlap-kerlip lampu di salah satu mal di Jakarta. Di salah satu lantai khusus makanan, rentoran-restoran menyajikan hidangan terbaiknya dan sebagian memajangnya di depan etalase untuk menarik pengunjung. Di tempat inilah saya akan bertemu dengan Raymond Ellion, teman sewaktu sekolah menengah dulu. Raymond mengajak saya makan di salah satu resto yang ramai oleh pengunjung. Ia memesan seporsi sapi lada hitam, 3 mangkuk sup ikan, seporsi tumis jamur, seporsi ikan goreng berukuran sedang berbumbu manis, dan tiga mangkuk nasi putih. Rencananya ia masih ingin memesan beberapa menu penutup. Tapi karena pertemuan kali ini khusus membahas tentang pola makan konsumtif, maka ia mengurungkan niatnya. “Saya punya kebiasaan lapar mata. Memesan banyak menu, padahal menu sebanyak itu tidak sesuai dengan kapasitas lambung saya, sisanya biasa dibuang,” ujarnya.
Sebagai profesional muda yang belum memiliki pasangan, pelesiran kuliner adalah cara merayakan kemandirian finansial yang telah diraihnya. “Makan di luar untuk mencari selera,” katanya. Tapi sayang, ia seringkali tak menghabiskan makanan yang telah dipesan. Ini adalah pemborosan.
“Pemborosan? Memang betul. Tapi saya juga tak mungkin berlama-lama di resto hanya untuk melahap semua makanan hingga habis,” jelasnya kepada saya. Saya tak ingin berdebat dengannya. Tapi saya setengah berharap kalau Raymond bisa menyaksikan sendiri jerih payah Karniti dan saudari-sandarinya di tengah tumpukan sampah demi sepiring lauk. Seandainya Raymond bersama saya seminggu yang lalu, mungkin ia bisa melakukan perubahan luar biasa di dalam hidupnya – berhemat demi yang membutuhkan.
Saat situasi lebih memungkinkan, saya mulai berkisah tentang kehidupan Karniti. Raymond terkejut ketika mengetahui susahnya Karniti untuk mendapatkan makanan laik dari tumpukan sampah. “Apa yang bisa kita lakukan?” tanyanya. “Cukup menghemat pengeluaran makan dan jangan buang setiap berkah yang telah kita peroleh,” jelas saya. Malam itu perbincangan terasa sedkit kaku, dimana kami membahas dengan menghemat pengeluaran makanan mungkin kita bisa sisihkan sebagiannya untuk yang membutuhkan, seperti Karniti. Setidaknya jika setiap keluarga bisa mengambil langkah untuk mengurangi limbah makanan, maka akan ada manfaat yang signifikan bagi kehidupan ini. Air, energi transportasi, dan biaya pengemasan serta penyimpanan produksi pangan semua menjadi sia-sia ketika makanan yang masih baik dibuang. Sisa makanan juga memiliki implikasi serius bagi dunia. Makanan yang membusuk akan menyumbang tumpukan gas rumah kaca ke atmosfer.
Raymond pun mengangguk takzim. Seiring waktu yang terus bergulir ia semakin serius menanggapi kisah saya, lalu berkata, “Saya baru tahu kalau makanan sisa kita masih ada yang memakannya. Kalau direnungkan, kita masih jauh lebih beruntung dari mereka. Saya akan sayangi berkah,” ujarnya dengan tegas.
Selama ini ia sering membuang makanan berlebih hanya karena jenuh atau tak lagi berselera. Namun kisah Karniti dan saudarinya yang mencari makan di tumpukan sampah telah menggugah hatinya. Mulai detik itu, ia nyatakan tak akan lagi membuang makanan berlebih. Bahkan yang membuat saya terkesan adalah ketetapan hatinya untuk tidak makan di luar dan memilih untuk membawa makanan dari rumah, masakan ibunya.
“Sayang hanya sedkit orang yang peduli pada masalah makanan dan kehidupan para pemulung itu. Tapi saya juga mau ikut peduli,” kata si pria Sumatera bertubuh kekar itu.