Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Mencari Pemimpin di Pusaran Budaya Materialisme

21 September 2012   20:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:02 304 0
Jakarta baru saja memilih. Hasil hitung cepat dari beberapa lembaga survei menempatkan Jokowi-Ahok sebagai pemenang. Dari jauh  di sebuah kota kecil Sinjai,  Sulawesi Selatan, saya mengucapkan selamat pada rakyat DKI Jakarta. Betapa tidak, Pilkada Jakarta telah menampilkan  epik yang bercerita tentang perebutan kekuasaan antara si Kancil, cerdik pandai yang “kecil” dengan si Gajah.
Gubernur Incumbent, Bapak Fauzi Bowo (Foke) dengan segala kedigdayaan,…didukung oleh multi partai,  ormas, tokoh dan ulama termasuk lembaganya, MUI,dukungan Finansial dan kekuasaan selaku Gubernur berkuasa yang dapat mendikte birokrasi mulai dari walikota sampai RT/RW adalah Gajah, dijungkaLkan oleh Jokowi, orang sederhana, tanpa resources yg dimiliki kandidat Petahana.
Jokowi,  dengan  ketulusan,  membuktikan pengabdian di kampungnya, kota Solo sebagai Walikota dengan seabrek prestasi Nasional bahkan Internasional. Laki-laki kurus yang tidak piawai berpidato dengan seluruh aksen dan artikulasi bak orator, bicara apa adanya dengan aksen Jawa kental, datang dengan kebersahajaan, tanpa baliho dan uang banyak, menyapa warga Jakarta dengan “hati” menawarkan model dan gagasan tentang pembenahan Jakarta, ibukota republik  tercinta. Tak perlu kata atau pantun memukau. Rekam jejaknya sebagai pemimpin dibuka selebarnya tentang dia dan apa yang dilakukannya sebagai Walikota di suatau wilayah kecil negeri ini, Surakarta, Jawa Tengah.
Dengan gaya apa adanya itu, Jokowi memukau rakyat Jakarta sang pemilik  kedaulatan di Ibu kota negara. Hasilnya??. Menjungkirbalikan ramalan berbagai lembaga politik yang telah merilis hasil survei bahwa putaran kedua PILKADA Gubernur Jakarta, 20 september 2012 akan dimenangkan salah satu kandidat dengan persaingan ketat bahkan dengan selisih kemenangan tipis, tanpa mampu menyebut siapa yang dapat menang dengan teori probabilitasnya. Warga Jakarta menjawabnya dengan kemenangan telak buat Jokowi-Ahok. Semua wilayah di DKI Jakarta kecuali pulau seribu dimenangkan Jokowi.
Mencermati hasil Pilgub Jakarta ada rasa syukur dan sebongkah harapan akan menularnya secara sistemik pola dan model pemilihan pemimpin ala “Jakarta memilih Pemimpin”. Dengan demikian, kita bisa berharap  tampilnya pemimpin mumpuni di berbagai wilayah lain republik ini. Pemimpin yang dipilih bukan karena uangnya, geng keluarga, popularitas dan taklik buta rakyat jelata pada para pemimpini pemerintahan maupun agamanya. Lebih dari semua itu, Pemimpin lahir dari rekam jejak kepemimpinannya di strata lebih rendah  sebelumnya, kepeduliannya, pemahamannya terhadap masalah dan kedekatannya dengan rakyat.
Sebelum hasil hitung cepat, saya sangsi Jokowi menang. Betapa tidak, pengalaman saya mencermati Pilkada di berbagai  daerah selama ini, pemenang Pilkada selalu berasal dari kandidat dengan biaya  pemenangan tertinggi. Masyarakat tidak pernah mampu memilih  pemimpin dengan hati nuraninya, tapi didasarkan pada “berapa nominal rupiah dan kepentingan yang bakal didapat” jika serorang kandidat memenangkan Pilkada.
Imbas dari model tersebut, tidak salah bila kita melihat Pemimpin dengan karakter dan kemampuan luar biasa ditinggalkan rakyat yang telah disilaukan  materi dan kepentingan sesaat. Serta merta tampillah seseorang dengan kompetensi terbatas, apa adanya didaulat sebagai Pemimpin. Dia yang terpilih hanya karena dipilih oleh mayoritas pemilih.  Konsekuensi Pemerintahan Pemimpin Karbitan ini dapat secara kasat mata kita saksikan betapa mengenaskannya sistem pengelolaan daerah. Birokrat daerah tidak lagi mengabdi pada rakyat tapi jadi pelayan para Gubernur/Bupati/Walikota, pemimpinya itu. Jajaran pejabat birokrat dengan kualitas rendah kemudian tampil sebgai pengambil kebijakan pada jenjang kewenangannya masing-masing. Tak ada lagi rekruitmem jabatan berdasarkan pada kompetensi dan kualifikasi. BAPERJAKAT yang merupakan lembaga sakti, penyeleksi calon Pejabat daerah kehilangan gigi diompongkan dan mandul. Jabatan ditentukan oleh berapa banyak tetesan keringat dan duit yang dikorbankan seseorang untuk kemenangan sang Pemimpin. Pada banyak kasus, seorang yang menyadari kemampuanya tidak memadai untuk suatu amanah publik memaksakan diri merebut posisi tersebut dengan cara berkorban untuk kemenangan seorang kandidat di Pilkada, yang dengan itu kemudian dia dapat menggapai semua hal yang di inginkannya. Soal rakyat yang harus dilayaninya, bahkan tak pernah dipikirkan.
Pada kondisi tersebut. Rakyat bisa berharap apa pada pemimpinnya???
Semoga Kemenangan Rakyat di Pilgub Jakarta menjadi tititk balik pembenahan birokrasi negeri ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun