Ditengah miskinnya jiwa patriotisme pemimpin kita membela kehormatan bangsa. Sekelompok petugas patroli perairan laut KKP (perikanan dan kelautan) menunjukan kekukuhan jiwa dalam membela kedaulatan Negara. Patriotisme luar biasa! Dengan berbekal senjata seadanya sebagai petugas sipil dipersenjatai mereka tidak gentar dengan gertakan helikopter Malaysia yang mengarahkan senjata kepada mereka saat menarik paksa kapal nelayan Malaysia yang masuk ke perairan laut Indonesia secara illegal.
Di Malaysia, isu ini menjadi isu sentral. Semua media disana memberitakannya. Pejabat berwenang melakukan konferensi pers, diantaranya ada yang coba pengaruhi opni publik bahwa sikap petugas KKP kita berlebihan menangkap nelayan yang katanya hanya sekedar mencari makan. Padahal melampaui teritorial suatu Negara tanpa izin bukan soal cari makan tapi martabat.
Dalam ketegangan soal batas laut di Ambalat beberapa waktu lalu, kita dipermalukan dengan sikap provokatif kapal tempur malaysia yang ditanggapi tidak sepadan dengan kapal perang kita. Belum lupa kita dengan perlakuan itu, kembali petugas Malaysia menangkapi petugas KKP yang notabene sedang menangkap nelayan Malaysia dalam kasus pelanggaran tapal batas dan pencurian ikan. Betapa memalukannya, tak ada tanggapan berarti dari pemerintah.
Sikap petugas KKP yang gagah berani “meladeni” gertak sambal patroli Malaysia yang lalu ciutkan nyali tentara diraja Malaysia itu perlu diapresiasi oleh semua pihak khususnya pemerintah. Lalu bagaimana kita menaggapi berita itu?. Ketika orang di seberang sana serius menjadikan kasus itu sebagai masalah besar dengan berbagai berita dan pernyataan pemerintahnya, kita tenggelam dengan hiruk pikuk aksi tari "chaiya-chaiya"polisi humanis Briptu Norman, Politisi dan pemerintah berdebat tentang pembangunan gedung baru DPR dan sejumlah berita gossip picisan yang tak pernah hilang dari layar Tv Indonesia. Tidak pernah terdengar perbincangan patriotisme itu di café para executive atau mall-mall atau di ruang kuliah para calon pemimpin bangsa ini. Cerita kepahlawaanan petugas KKP itu hanya jadi cerita para nelayan dan petani kecil diladang dan warung kopi pinggir jalan.
Nasionalisme menjadi barang mahal di negeri ini. Patriotisme tak ada nilai lagi. Maka pantaslah negara ini tak pernah direken dalam percaturan bangsa-bangsa. Keberadaannya tak terlihat kecuali saat didera bencana besar, miris!!!. Sikap petugas KKP kita itu tentulah dipicu oleh kecintaan yang dalam terhadap tanah airnya. Maka selembar nyawa tak ada nilai lagi bagi mereka ketika berhadapan dengan soal pertaruhan martabat bangsa. Patriotisme yang sejogyanya ditulis dalam buku cerita anak-anak agar terukir bak prasasti di sanubari mereka bahwa masih ada tauladan bagi mereka, genenerasi sesudah kita yang miskin panutan. Petugas KKP itu pantas disematkan lencana didadanya. Di undang ke Istana Negara dalam upacara militer yang khidmad dipimpin oleh Presiden. Upacara itu hanyalah seremonial tapi berarti besar bagi bangsa ini. Malaysia yang selalu memaksa kita membawa persoalan tapal batas ke forum internasioanal karena mereka tahu lawan mereka hanyalah diplomat anak bawang yang dengan mudah di”kanvaskan”.
Bila saja Pemerintah peduli pada apa yang dilakukan petugas KKP kita itu, Malaysia akan berhitung seribu kali mempermainkan Indonesia soal tapal batas. Penyematan lencana itu menjadi “psi-war” bahwa kita meletakan kehormatan bangsa diatas segalanya apalagi hanya soal ketakutan tak ada "penampungan" pengangguran yang tidak dapat diurusi di dalam negeri lalu dikirim sebagai TKI disana karena ketidak berbayaan kita memberdayakannya.
Petugas KKP itu mengajarkan bagaimana memaknai nasionalisme dengan sikap patriotisme, maka masihkah prilaku mereka dianggap sebagai hal lumrah dalam melakukan tugas??? tidak bung, Negara besar tidak pernah mengabaikan sikap patriotisme warganya, sekecil apapun. Di Amerika, hal-hal remeh yang bernilai Patriot selalu mendapat tempat dan masuk dalam list peng-anugerahan lencana dari Negara,. Lalu kita???? Patriotisme diabakan….
Depok 12 april 2011