Tahun ini, tangan pegal bukan hanya karena capek, namun ditambah sedang radang jadi penulisan rapor memang menyiksa sekali. Sebelum penulisan rapor, guru-guru lebih dulu mengisi legger. Legger itu kumpulan nilai dari setiap bidang studi. Untuk kelas 4 ada 11 bidang studi, dan 4 ekstra kurikuler dalam buku rapor. Tiap sekolah berbeda jumlah ekskul-nya. Kadang malah tiap kelas juga beda. Di kelas 5 malah ada lebih banyak ekskul, karena ada PSLE English Math Science. Sebelum mengisi legger, guru kelas juga harus mengejar-ngejar guru bidang studi meminta nilai. Guru bidang studi pelajaran yang di UKK-kan (ulangan kenaikan kelas) masih harus melakukan remidial bila siswa belum mencapai KKM dalam UKK. Ini semua makan waktu.
Kelihatannya jadi guru SD itu enak. Sempat seorang K-ers menulis merendahkan semacam itu. Murid libur, guru libur. Katanya.
Tetapi, kenyataannya bukan demikian. Saat ini murid-murid sudah libur, namun guru masih tetap dinas, sebagaimana biasa. Menyelesaikan penulisan administrasi yang takkan terselesaikan pada hari-hari siswa sekolah. Selain tentu saja karena belum kelulusan SD, guru-guru juga perlu melakukan persiapan pelepasan siswa kelas 6 SD menuju SMP. Nah.
Penyerahan rapor kenaikan kelas, sering kali diwarnai banyak hal. Orang tua masa kini dengan naluri kompetitif tak jarang menanyakan ranking/urutan anaknya di kelas. Di beberapa sekolah terdahulu, karena bersifat internasional, ngelesnya gampang. Memang di pembelajaran sekolah berbasis internasional, jarang ada peringkat kelas. Ada sih yang memberikan, tapi hanya untuk peringkat 1,2,3. Ini di sekolah Universal, diceritakan orang tua murid les saya. Diberikan sertifikat. Tapi lazimnya di 3 sekolah internasional terdahulu belum pernah ada peringkat kelas.
Jadi saat penerimaan rapor, selain perilaku anak di kelas, biasanya orang tua menanyakan peringkat kelas anaknya. Untuk memudahkan, guru menuliskan top 10 nya di papan tulis. Beberapa orang tua sudah sibuk memotret tulisan guru, jika anaknya mendapat peringkat.
Sejujurnya, peringkat kelas bukanlah ukuran posisi anak di kelas. Murid terbaik di kelas 4 John Dalton tidak termasuk 10 besar. Ia anak perempuan mungil dengan sifat sigap dan bertanggung jawab. Sayangnya ia beberapa kali sakit sehingga ketinggalan eksperimen dan akhirnya nilai-nya menurun drastis. Padahal, anak ini cerdas. Ia terlempar dari 10 besar semester ini. Tidak jatuh sekali sih, peringkat 11, tapi cukup membuat sedih mungkin.
Murid lain yang tak kalah bertanggung jawab, kali ini mendapatkan ganjaran memuaskan, karena masuk 10 besar, sayangnya sedang berada di luar kota. Malam kemarin, saya ditelpon ayahnya dan mengucapkan terimakasih. Bangga? Tidak. Mengapa? Karena bukan guru yang membuat anak mendapat nilai baik. Guru hanyalah fasilitator, motivator dan pendamping bagi anak-anak. Usaha anak yang menentukan pencapaiannya.
Murid lain lagi, laki-laki juara renang di beberapa turnamen. Kritis dan cerdas, belum masuk 10 besar, tetap saja ia murid terbaik.
Murid lain lagi, anak laki-laki yang bernaluri pemimpin, cerdas, tetapi, malah ada di peringkat bawah. Bukan malas, hanya pendidikan sekolah mainstream memang kurang mengakomodir anak-anak ini. Anak kinestetik yang juga ekstrovert.
(Jadi ingat saat ikut nangkring bareng kompasiana dan LPDP, bu Ratna menjelaskan bahwa bukan semata-mata IPK syarat penyaringan awardee, namun kepemimpinan juga. Kadang memang pemimpin kemampuan sosialnya baik, cerdas, namun tidak meraih IPK yang baik, karena kelewat sibuk bersosialisasi? berorgaanisasi?)
Sebagai guru, sejujurnya menulis peringkat di papan tulis, menjelaskan nilai, memang membuat hati trenyuh. Ukuran prestasi anak bukanlah semata nilai-nilai pelajarannya. Sikap dan karakter anak juga sesuatu sekali untuk dijelaskan.
Sekolah sebelum 3 sekolah internasional, sekolah dasar Kupu-kupu tidak memberikan peringkat kelas juga. Nilai selalu disertai deskripsi, sehingga ada acuan orang tua lebih lengkap. Sementara rapor diknas belum seperti itu.
Percakapan dengan orang tua murid saat penerimaan rapor ternyata tak melulu urusan anak. Percayakah K-ers kalau ada orang tua murid yang KAMPANYE JOKOWI saat penerimaan rapor pada guru??? Untungnya pada guru lho. Hahahahahahaha.
Bagian lain dari penerimaan rapor kenaikan kelas atau semester adalah tanda kasih untuk guru. Di FB saya memajang hadiah-hadiah dari orang tua murid.
Seorang K-ers pernah bertanya pada saya, "mbak Maria kan guru, kalau akhir tahun ajaran dikasih apa senangnya?' Dan saya tertawa ngakak.
Ya, kebetulan saya ini guru yang ngga "mainstream". Ngga suka hadiah pernik-pernik seperti dompet atau tas. Kalau ada yang ngasih voucher gramedia,... itu baru sesuatu banget, buat saya. Jadi saya saranin, beli aja buku yang berhubungan dengan psikologi anak, hitung-hitung memberikan guru wawasan.
"iya mbak, bayangin aja kalau 15 wali murid semuanya ngasih dompet atau tas? Mau dibuat apa itu?" sekali lagi saya tertawa ngakak. Itu real dan nyata selalu terjadi setiap terima rapor, mbak. (batin saya) "tapi apa gurunya ngga tersinggung?"
Nah ini pertanyaan buat para guru. (kalau saya sih engga)
Salam edukasi, selamat terima rapor.
Maria Margaretha