______________________________________
Mas, kamu nulis status itu maksudnya apa?
--- sepi tak terjawab. Prasangka baik. Mungkin sambil sibuk yang lain. Ping.
Aku lagi sebel sama seseorang
--- oh? Aku ya? Pikiranku melayang. Cepat aku ketik pertanyaan tersebut.
Apakah saya?
--- Lama sekali jawabannya baru muncul.
Ngga kok. Ada deh.
Bukan aku ya? Sungguhan? Itu kok kayaknya di komen ada yang menyebut namaku?
Bukan mbak-e. Sungguhan.
Oh, ya wis. Maaf ya ganggu kesibukannya. Eh boleh kepo ngga? Itu siapa?
Ah mbak e pingin tahu aja... ngga usahlah. Asal bukan mbak e toh?
oke deh. Asal bukan saya. Selamat pagi.
__________________________
Kadang memang salah memahami status FB seseorang terjadi. Saya juga pernah inbox seorang teman yang menulis status perihal ras, yang saya tak nyaman sekali membacanya. Saat itu penulis status masih online, segera saya inbox, membicarakannya. Sempat juga penulis status tersebut terkesan berkelit. Akhirnya, karena kesal, sayapun menulis di kompasiana ini, perasaan saya membaca statusnya, tanpa meneybut nama dia, walaupun bagaimana, saya kirim link padanya, agar yang bersangkutan tahu mengapa, dan bagaimana perasaan saya membaca statusnya.
Tak berapa lama, yang bersangkutan menghapus statusnya dan mohon maaf. Sayapun mengjapus tulisan perasaan saya tersebut, karena, jujur, saya ngga mau jadi banyak yang nanya siapa sih? Buat apa. Tahupun cuma buat pembicaraan kan? Sedang perasaan saya privat sifatnya.
Begitulah, seorang teman menegur dengan kasih. Saya mengasihi teman saya, dan menyampaikan keberatan saya dengan sebaik mungkin. Walau memang kadang tak mampu menahan diri, saya lebih suka menuliskannya jadi artikel, ketimbang, menulis di komentar. Artikel bisa saya hapus, komentar selamanya nempel di sana.
Sekarang bicara mengenai komentar. Saya tidak mau memention nama seseorang dalam komentar kecuali untuk tujuan baik. Kadang ada sih yang bertanya, siapa yang kamu maksud ahli pornografi misalnya? Saya menjawabnya dengan santai, "yah semua yang suka nulis porno-porno." Misalnya dikejar, "iya, tapi di sana kan hanya ada 20 orang?" Sama santainya, saya jawab, "lihat saja 20 orang itu siapa yang suka nulis berbau porno. Sudah. Menurutku, itu bukan urusanmu."
Kenapa? Karena memang saya tidak punya maksud menyakiti, namun menegur sehalus mungkin. Kalau ternyata yang merasa bukan yang bersangkkutan malah orang lain, ya sudah. "Bukan kamu." jawaban itu tegas, dan melegakan, bagi yang merasa. Pertanyaan orang yang merasa, sebaiknya disampaikan langsung, karena bagaimanapun itu kan perasaannya. Menggunakan jalur pihak ketiga, menurut saya menunjukkan sifat pengecut. Takut mendapat jawaban ya memang kamu? Yah, kalau memang takut dengan jawaban ya memang kamu, bukan salah saya toh? Saya pernah membaca artikel seorang teman yang komentarnya panjang sekali, berkaitan dengan penasaran seorang lain. Sayangnya penasaran tersebut diungkap di komentar, bukan di inbox, padahal, memang artikel tersebut bukan membicarakan dia. Ujungnya si penulis artikel bermurah hati menjawab,"bukan kamu." dan case closed.
Menurut saya, menanyakan siapa sebaiknya bukan menggunakan jalur komentar. Pertanyaannya bukan siapa orang itu, melainkan, apakah orang itu saya? Kalaupun meng-inbox menanyakan siapa orang itu, menurut saya juga tidak pada tempatnya, karena menceritakan ketidak baikan orang menurut anggapan diri sendiri, belum tentu valid.
Jika menginbox menanyakan, apakah saya? Itu lebih baik. Karena mengetahui kekurangan diri menurut anggapan orang adalah cermin. Jelas tak mungkin bercermin melihat punggung kita bukan?
Bagaimana dengan artikel? Sama saja. Gunakan jalur pribadi untuk menanyakan hal-hal yang mengganggu kita. Walaupun sebisanya jangan menggunakan jalur pribadi untuk membicarakan orang lain.
Sempat kaget dengan komentar teman saya, saat membaca artikel saya mengenai makanan yang tersia-sia waktu itu. Beliau mengatakan bahwa beliau merasa tersentil. Kaget saya karena dalam artikel saya sebutkan namanya jelas sikap anaknya saat berada dalam acara nangkring itu. Kok bisa kesentil? Rupanya merujuk pada beberapa perjalanan bersama kami. Wah.
Saya menghargai kejujuran beliaunya menyampaikan perasaannya. Ia mengakui, dan juga mengatakan pada anaknya, sehingga si anak belajar memperbaiki perilaku. Ia tidak membicarakan perasaannya di artikel, atau di komen, atau di status FB, namun saat kami bertemu. Betapa banyaknya miskomunikasi yang bisa dihindari dengan ketulusan.
Membicarakan keburukan orang lain itu, ghibah,.. saya rasa sama salahnya sumber dan yang pengen tahu. Lagipula, ngapain merusak hari kita dengan membaca, atau mendengar hal-hal negatif? Kurangkah kejadian negatif di depan mata kita?
Saya misalnya, mendengar tukang angkot memaki-maki penumpangnya karena kurang bayar sudah negatif.
Melihat murid yang membuang makanan yang tak disukai juga negatif.
belum membaca koran, atau status yang tak sengaja lewat yang negatif juga banyak.
Buat apa lagi cari tahu hal-hal negatif? Fokus sama yang positif aja deh.
Selamat hari Senin. Selamat berpikir positif.
Salam edukasi,
Maria Margaretha