Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Stigma Perebut Suami Orang, Beban

16 Maret 2014   18:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:52 717 5
Cibiran, nyinyiran mungkin adalah sesuatu yang lazim di terima para 'pelaku' pagar makan tanaman atau para perebut suami orang. Selain kultur KEPO masyarakat indonesia, rasa simpati kepada yang 'tersakiti' juga menjadi alasan kenapa cibiran sering kali dilontarkan. Tak pelak, ini menjadi beban tersendiri untuk si pelaku TMT (Teman makan teman) atau PSA (Perebut Suami Orang).

Dulu saya pikir, orang orang seperti ini tidak punya malu dan cenderung cuek dengan sekitar. Tidak peduli dengan omongan orang yang penting dapat apa yang di mau. Tidak salah memang tapi ternyata tidak sepenuhnya benar.

Seorang teman yang kebetulan pelaku PSA, hidupnya berubah setelah cibiran dan nyinyiran sering ia terima. Setiap bertemu orang, ada saja yang sinis. Kata kata kasar sudah cukup akrab di telinganya, dikatain tak tau malu lah, bahkan di katain pel*cur juga pernah.
Awalnya teman saya itu memang cuek, tapi saking banyaknya cibiran lama lama hatinya ciut juga. Tak pernah lagi berinteraksi dengan orang orang sekitar,akhirnya dia memutuskan menetap di kota lain. Ada sesekali dia pulang kampung seperti saat lebaran, tapi momen itupun tak membuat dia menjadi normal lagi seperti dulu. Bahkan tak pernah mau keluar rumah sekedar menyapa tetangga atau teman teman.
Rupanya, meskipun usia pernikahannya sudah 3 tahun , stigma Perebut suami orang masih tetap menjadi beban hatinya. Malu bertemu orang orang, dan takut kalau kalau masih ada yang nyinyir terhadapnya.
Ternyata sampai segitunya.
Menjadi PSA rupanya tak mudah juga, harus punya mental yang kuat menghadapi celaan masyarakat.

Tapi ,setiap perbuatan kan memang ada resikonya. Termasuk mendapat celaan saat apa yang dilakukan di anggap salah dan tidak sesuai norma.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun