Hatiku ini yang mulai mengerti
Dan berani tuk menyambut janji…
Mungkin kalian sudah sering mendengarnya, yap.. untaian kalimat tersebut merupakan potongan lagu dari Letto “Menyambut Janji”. Jika kita perhatikan serangkai kalimat tersebut dengan pikiran yang bersih, ternyata penuh makna juga, Iya... Akhir-akhir ini aku sering sekali memutarnya di laptopku sebagai pengiring waktu belajar. Yah.. maklum aku tipe seseorang yang suka bosan kalau belajar tanpa iringan musik. Makanya dalam fase final test ini, lagu inilah yang menjadi list teratas di library mp3 ku, diiringi juga Coldplay “Clocks”, Coldplay “Speed of sound”, soundtrack ost X-Men First Class, Yui “Skyline”, Hans Zimmer “Red Warrior”, dan “Spirit” ost Team Medical Dragon diurutan2 selanjutnya. Namun, tidak kutampikkan juga bahwa list favorit dalam libraryku adalah Al-Baqarah, Ali Imran, Yaa Sin, dan beberapa surah terakhir lainnya yang menyusul, hehe.
Lirik grup band bergenre pop ini memang selalu menarik, makanya dari dulu aku lebih menyukai band ini daripada band lainnya karena aransemennya yang bagus dan alur katanya yang sastra banget. Mungkin karena mereka kuliah dijurusan sastra kali ya.. Tapi masa bodoh dengan letto, disini aku bukan sedang membicarakan tentang mereka. Yang kubahas sekarang adalah tentang bagaimana caranya kita meyakini janji Allah dan Rasul, dan bagaimana implementasi kita untuk ‘menyambut janji’ tersebut.
“Jika suatu saat nanti kalian ditanya, mana hasil perjuangan kalian selama ini? Apa yang akan kalian katakan?” Baru kemarin rasanya aku dilemparkan sebuah pertanyaan yang membuatku harus memutar otak lagi. Saat itu kami sedang halaqah dan seperti biasa aku dan kawan-kawan kembali dihadapkan dengan seorang ustadz muda yang membebani pikiran kami satu per satu. Kawan-kawan pun mengemukakan persepsinya masing2 dengan optimis, sampai tiba giliranku maka dengan santainya ku jawab “Belum aja lagi ustadz, nanti pasti akan terwujud”.
Seakan-akan menguatkan penekanan pada pertanyaannya, lagi-lagi ia mengungkapkan sesuatu yang membuat kami tak bergeming. “Mungkin mudah bagi kalian untuk mengungkapkan semua hal tersebut, tapi ketika posisi kalian nanti sudah menginjak bertahun-tahun menggeluti bidang ini, berpuluh tahun memperjuangkan dakwah kalian, ‘Belum aja lagi..’ seenak itukah kalian mengucapkannya? Sementara mereka diluar sana semakin merajalela, menertawakan dan meremehkan perjuangan kita yang belum ada hasil memuaskan.”
Termenunglah aku… Dalam kepalaku masih saja terngiang-ngiang kata-kata itu…
Sementara……………………………….
******
Nun jauh disana, di suatu Negeri Timur Tengah, tepatnya di Muktah sebuah kota dekat Syam wilayah yordania, kira-kira 1000 tahunan yang lalu, genderang perang telah berbunyi. Berdirilah tiga orang panglima pasukan kaum muslimin yaitu Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah, bersama-sama dengan para sahabat lainnya mereka siap menyambut kekuatan 100.000 pasukan inti Romawi yang terlatih, berpengalaman, dan membawa persenjataan lengkap. Selain itu, 100.000 milisi Nasrani Arab dari kabilah-kabilah Lakham, Judzam, Qudha’ah, dan lainnya juga ikut andil dalam membantu tentara Romawi. Sementara, tentara kaum Muslimin yang dipimpin Zaid bin Haritsah (saat itu) hanya berkekuatan 3.000 tentara.
Ternyata jauh sebelum itu, Rasulullah telah berpesan, "Jika Zaid tewas atau cidera, komandan digantikan Ja’far bin Abi Thalib. Seandainya Ja’far tewas atau cidera pula, dia digantikan Abdullah bin Rawahah. Dan apabila Abdullah bin Rawahah cidera atau gugur pula, hendaklah kaum muslimin memilih pemimpin/komandan di antara mereka." Inilah janji yang di pegang teguh oleh para sahabat sehingga dengan dahsyatnya mereka bertempur tanpa takut memikirkan jumlah yang tidak seimbang itu.
Pertempuran segera berkobar dengan hebatnya. Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid ketika dia dan tentaranya sedang maju menyerbu ke tengah-tengah musuh. Melihat Zaid jatuh, Ja’far segera melompat dari punggung kudanya, kemudian secepat kilat disambarnya bendera komando Rasulullah dari tangan Zaid, lalu diacungkan tinggi-tinggi sebagai tanda pimpinan kini beralih kepadanya. Dia maju ke tengah-tengah barisan musuh sambil mengibaskan pedang kiri dan kanan memukul rubuh setiap musuh yang mendekat kepadanya. Akhirnya musuh dapat mengepung dan mengeroyoknya.
Ja’far berputar-putar mengayunkan pedang di tengah-tengah musuh yang mengepungnya. Dia mengamuk menyerang musuh ke kanan dan kiri dengan hebat. Suatu ketika tangan kanannya terkena sabetan musuh sehingga buntung. Maka dipegangnya bendera komando dengan tangan kirinya. Tangan kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Dia tidak gentar dan putus asa. Dipeluknya bendera komando ke dadanya dengan kedua lengan yang masih utuh. Namun tidak berapa lama kemudian, kedua lengannya tinggal sepertiga saja dibuntung musuh. Ja'far pun syahid menyusul Zaid.
Secepat kilat Abdullah bin Rawahah merebut bendera komando dari komando Ja’far bin Abu Thalib. Pimpinan kini berada di tangan Abdullah bin Rawahah, sehingga akhirnya dia gugur pula sebagai syahid, menyusul kedua sahabatnya yang telah syahid lebih dahulu.
******
Dulu ketika aku membaca kisah ini, sempat terpikir olehku “Seandainya aku yang berada di posisinya Zaid/Ja’far/Abdullah mungkin saja saat itu aku hanya duduk santai berkuda sambil memberi perintah dan menyemangati pasukanku ‘Semanggat, semanggaat, ayo dongg! gimana sih kalian! pukul! sabet! Ganbatte! Hamasah! Chayoo kawan2!’ ya.. bisa saja itulah hal yang kulakukan. Kenapa? Toh Zaid bin Haritsah cs juga akhirnya akan syahid juga kan. Dari awal kan Rasulullah sudah janji bahwa mereka bertiga pasti akan gugur, yang artinya akan syahid pula. Namun, patutkah hal tsb dilakukan? Tidak, karena baik Zaid maupun sahabat lainnya ingin membuktikan keimanan dan kesungguhan mereka untuk ‘menyambut janji’ tersebut.
Kejadian ini sama halnya dengan Dekan yang mengatakan kepada kita “Tahun depan kamu akan menjadi lulusan terbaik lho..”. Wuihh.. Bila sudah dicap seperti itu mungkin saja kan kita jadi malas2 an belajar tanpa peduli dengan apapun. Toh, nantinya pasti lulusan terbaik juga. Patutkah hal itu kita lakukan? Tidak, karena kita ingin membuktikan kualitas diri untuk diakui menjadi yang terbaik.
Kini aku mengerti jawaban dari ustadz yang belum juga kawin itu “Yang terpenting bukanlah hasil, tapi proses..” Iya.. bukan karena hasil yang belum ada sehingga menyebabkan usaha dan semangat kita menjadi luntur. Bukan juga karena janji Allah dan Rasul-Nya sudah terpatrikan, maka kita jadi bermalas-malasan untuk memperjuangkan agama-Nya. Tapi… proseslah yang terpenting, apakah implementasi kita untuk ‘menyambut janji’ yang benar2 real akan terjadi itu sudah terkategori layak atau belum. Sehingga, meskipun sekarang, sampai nanti, ataupun sampai mati Islam belum berdiri sempurna, tetaplah berjuang kawan… Setidaknya generasi penerus kitalah yang nantinya ‘pasti’ akan menikmati manisnya hasil perjuangan ini. Dan jangan khawatir, semoga usaha dan kerja keras kita inilah yang menjadi amal jariah di akhirat kelak.
Sebenarnya sangat banyak contoh peristiwa yang berkaitan dengan ungkapan janji Allah dan Rasul SAW. Yang jelas.. bagi orang2 yang beriman, semestinya tak ada keraguan padanya bahwa janji Allah dan bisyarah Rasulullah pasti akan terwujud. Janji bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik. Janji bahwa orang2 yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran adalah orang2 beruntung. Janji bahwa surgalah imbalan bagi orang2 yang taat kepada-Nya. Janji bahwa Islam kaffah pasti akan tegak kembali. Janji bahwa khilafah yang bermanhaj kenabian pasti akan berdiri lagi. Maka sudah sebuah KENISCAYAAN baginya untuk MEYAKINI janji itu MELEBIHI keyakinan akan terbitnya MATAHARI. Allahu Akbar! Allahu Akbar!! Allahu Akbar!!!
****
“Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. (Muhammad : 7)
“Jika Allah menolongmu, maka tidak ada (satu kekuatan pun) yang dapat mengalahkanmu” (QS. 3:160).”
****
Inikah janji?
Inilah janji!
Inilah kepercayaan!!
Inilah kepastian!!!
Senin, 15.16
-Dengan Headset ditelinga
-Diiringi Hollywood Studio Symphony - “Red Warrior”
-Sesaat sebelum ngantar ibu ngisi pengajian, 45 menit sebelum menghadiri TM LKMM
*agent_of_change92 - mahasiswa yang kurang pandai bicara tapi suka nulis