Kami pun menyetujui saran dokter, entah dari mana nanti biayanya. Malam itu juga aku menghubungi kakaknya Mas Rio dan menceritakan semua kejadian. Beliau menyanggupi berapa pun biaya perawatannya nanti.
Aku pun melangkah menuju meja dokter. Kutemui dokter yang bertanggung jawab atas nyawa suamiku malam itu.
"Bagaimana, Bu? Sudah rundingan dengan Bapak? Kalau Ibu setuju, silakan tanda tangan di bawah ini."
"Apa pun itu asal yang terbaik, Dok. Saya serahkan perawatan suami saya pada dokter." Segera kutandatangani berkas yang ada. Berharap pertolongan yang terbaik segera diberikan demi belahan jiwaku.
Fajar pun menjelang, terdengar sayup-sayup azan Subuh. Mas Rio dipindah ke ruang ICCU, di ruangan steril dan tak boleh ditunggui. Aku menunggu di luar dan hanya bisa melihatnya saat jam bezuk tiba. Saat korden penutup ruangan dibuka dan hanya bisa bicara dengan isyarat.
Perawat hanya akan memanggilku jika dibutuhkan. Begitu juga dokter hanya memanggil saat butuh konsultasi waktu visite.
Hari itu aku terlupa bahwa di rumah sakit lain terbujur lelaki lain yang telah memberikan nyawanya padaku. Ya, Bapak masih tergolek lemah di rumah sakit. Bagaimana keadaannya?
Kuberitahukan keadaanku kepada Krisna, agar menjemput kedua putriku, tetapi jangan sampai Bapak dan Ibu tahu tentang Mas Rio di rumah sakit. Aku tak ingin menambah berat beban pikirannya. Juga kedua putriku
"Bapak menanyakanmu, kenapa dua hari tidak ke sini menjenguknya," ucap Krisna di ujung telepon. "Aku harus bilang apa?"
Tak sadar bulir hangat mengalir di pipiku. Aku terdiam. Di sini suamiku terbaring lemah, di sana bapakku terkulai tanpa daya. Bagaimana aku harus membagi tubuh.
Aku pun bertukar tempat dengan Krisna. Kuminta ia datang ke Sidoarjo untuk menjaga Mas Rio sementara aku akan ke Surabaya menemui Bapak.
Apa yang aku khawatirkan hanya saat kutinggal menemui Bapak, dokter memanggilku dan menjelaskan perkembangan Mas Rio. Krisna pun memahami dan menyetujuinya.
Setibanya Krisna, kupesan taksi agar bisa melaju dan segera sampai di Surabaya, tak mungkin aku bermotor dalam keadaan begini. Saat jam-jam sibuk, pertimbanganku lebih baik melintas lewat tol. Benar saja, tak lama aku sudah di ruangan Bapak.
Kulihat tubuhnya yang makin kurus, tetap matanya sayu dan tak banyak bicara. Aku berusaha menyuapinya, walau harus menyembunyikan air mata yang mulai menggenang. Bapak tampak lemah dan kehilangan semangat.
"Ayo, Pak, enggal didahar. Bapak sampun sehat, kok. Mbenjang kundur, nggih," bujukku, meski tak mempengaruhi selera Bapak.
("Ayo, Pak. Segera dimakan, Bapak sudah sembuh, kok. Besok pulang, ya.")
"Ayo, Pak, once more!" candaku padanya.
"Ya...Ya...once more," jawabnya. Aku lega, Bapak masih bisa bercanda, meskipun makanan yang kusuapkan tak jadi masuk di mulutnya karena mual.
HP-ku berdering, terbaca nama Krisna yang menghubungi. Kuangkat setelah Bapak kusandarkan lagi pada bantal yang tertata.
"Dokter memanggilmu, ada surat yang harus kau tandatangani berkaitan dengan pengobatan Mas Rio, segera!" sarannya.
"Tandatangani saja, aku gak bisa sampai sana dalam waktu 30 menit," jawabku.
"Tidak bisa, harus istrinya. Tadi sudah mau kutandatangani, tapi dilarang dan sebaiknya kamu, kata perawatnya. Karena risikonya berat. Pengobatannya untuk menghancurkan kerak yang menempel di dinding saluran menuju jantung, tapi jika gagal efeknya malah jadi stroke. Makanya harus kamu yang tanda tangan."
Lemas seketika tubuhku. Separah itukah penyakit yang diderita suamiku. Belum juga 30 menit aku menemui Bapak. Di sana aku sudah dibutuhkan. Tuhan, kuatkan aku.
Dalam perjalanan pulang, di taksi menuju Sidoarjo air mataku mengalir tak henti-henti. Sekuat itukah aku, hingga kau memberiku ujian seindah ini? Tuhan, adilkah ini?
Keesokan harinya, kutunggu dokter untuk minta penjelasan yang lebih detail. Namun dokter menjawab sudah tidak perlu, "Besok Bapak akan dipindahkan, jadi nggak akan ada yang mengawasi lebih detail kalo di ruangan. Nggak usah diberikan saja obatnya. Ibu terlambat memberi jawaban."
"Maaf, Dok. Saya masih ragu."
"Ya, sudah. Kalo besok semakin membaik lusa boleh pulang," ucap Dokter. Aku pun sedikit lega.
Genap sepuluh hari aku menunggui Mas Rio di rumah sakit. Hari itu memang kondisinya sudah membaik, diizinkan untuk pulang dan harus kontrol tiga hari lagi.
Mas Rio paham dengan keadaanku, hari itu juga sepulang dari rumah sakit aku diajak menuju rumah Bapak. Sudah dua hari Bapak dipulangkan dengan alasan sudah sembuh dan hanya menunggu Bapak mau makan saja.
HP-ku berdering ketika aku dan Mas Rio masih berada dalam taksi. Krisna yang menghubungiku, dia tahu hari itu kami pulang dari rumah sakit.
Tak pernah kuduga sebelumnya, bahwa perjalananku sore itu adalah perjalanan untuk mengantar Bapak berpulang selamanya.
"Bappaak!"
Sidoarjo, 10 Juni 2020
Any Sukamto