Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Satu HP Cukup?

12 Februari 2012   06:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:45 256 0
Kemarin, di rumah makan Indonesia di city, saya duduk menanti teman yang belum datang. Bukan salahnya, saya yang datang kepagian. Saya pilih duduk di dekat jendela, supaya bisa leluasa melihat orang-orang yang lalu lalang di luar.

Datang tiga remaja usia kuliahan dan duduk di sebelah kiri meja saya. Ceria, berseri-seri wajah maereka, apalagi pada saat membaca menu makanan di depan mereka.

“Gile, ada ayam penyet, ’bo! Gue pesan itu deh,” pilih laki-laki muda yang wajahnya agak mirip Ralph Macchio, pemeran Karate Kid versi jadul.

“Gue pesan apa ya..gado-gado? Ah nggak ah, itu gue bikin sendiri juga bisa, tinggal beli bumbunya lalu dicampur dengan rebusan sayur..hmm..ini aja deh, Ikan Bakar Bumbu Kuning,” kata perempuan muda, yang kelihatannya paling seru bicara di antara mereka bertiga.

“Pesanan gue standard aja deh, nasi uduk komplit,” pesan perempuan muda satunya, yang kelihatannya lebih kalem.

Sambil menunggu pesanan mereka datang, si Ralph mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

Ha! Saya kok jadi seperti detektif begini ya? Padahal di depan saya ada sebuah Teh Kotak dan buku “Supernova: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh” karangan Dee Lestari, yang sedang saya baca ulang ambil menunggu teman yang tak kunjung datang - yang sekali lagi bukan salahnya.

“Ini gadget gue terbaru!” Dengan bangganya si Ralph memamerkan hp BBnya, yang terus terang saya kurang tau apa istimewanya.

“Tempo hari di Jakarta orang-orang pada antri untuk bisa beli hp ini dengan harga spesial!” katanya berapi-api.

“Elu ikut antri juga?” tanya perempuan yang seru.

“Eh..nggak sih. Rencananya sih pingin ikut antri, tapi gue ketiduran. Akhirnya gue beli juga sih, tapi dengan harga normal,” kata Ralph lagi dengan nada penyesalan, tapi bangga.

“Memangnya elu nggak punya hp? Atau rusak ya?” tanya perempuan yang kalem.

“Enak aja! Gue punya hp kok! Masih bagus, fungsinya bisa macam-macam juga, pokoknya gue suka banget dengan hp gue yang lama,”

“Kalau gitu, kenapa beli lagi?” samber si seru.

“Yah elu..kan trendy lho, kalo punya hp lebih dari satu”.

“Tapi kan nggak praktis? Kalau salah satu hilang, gimana?” si seru memprotes.

“Gini, gue jelasin deh. Yang satu ini untuk BBM, seperti yang elu pada pake itu. Nah yang lama ini, untuk potret-potret, untuk surf internet, untuk main game, macem-macem deh. Mestinya sih gue sudah harus ganti dengan yang lebih baru, tapi nanti dulu deh, berhubung gue baru beli hp yang ini. Hampir semua teman gue hp-nya dua! Jadi gue mah nggak aneh!”

Kedua temannya manggut-manggut, walaupun salah satu dari mereka tampak akan protes. Pesanan mereka datang, percakapan pun terhenti.

Begitu ya, trend di Jakarta? Sama dengan kedua temannya tadi, saya yang mencuri dengar percakapan mereka ini, merasa heran dengan cerita si Ralph tadi. Kenapa harus pakai 2 hp, kalau memang hp-nya berfungsi macam-macam, apa masih perlu pakai lebih dari 1 hp? Apakah mungkin karena sistem pembayarannya?

Kalau disini, dan di beberapa negara lain yang saya tau, cara mendapatkan hp ada dua, yaitu dengan cara pasca-bayar dan pra-bayar.

Biasanya untuk pasca-bayar, pembelian hp akan terikat kontrak 1 sampai 3 tahun. Makin pendek masa kontraknya, makin mahal harga Cap per bulannya dan harga hp-nya (kalau ada). Biasanya pula, hp itu locked pada penyedia servis tersebut. Ada pula yang tidak.

Contohnya, misal saya hanya perlu hp standard yang cukup untuk telpon dan kirim SMS. Hp keluaran lama seperti ini dihargai 0. Jadi saya hanya bayar Cap-nya saja, misalkan Cap 19 atau 29, yang maksudnya adalah $19 atau $29 per bulan, dan sudah termasuk biaya telpon, sms dan sedikit paket data internet. Kalau terdapat pemakaian telpon atau data berlebih, tentu akan ditagih kemudian.

Lain halnya kalau saya menginginkan hp terbaru, paket data besar dan penggunaan telpon yang banyak. Ada pilihan Cap lain seperti 49, 59 dan lainnya. Umumnya untuk hp keluaran baru ini, kita harus bayar harga handset-nya juga. Jadi harga Cap + harga handset, misal Cap 49 + $10 tiap bulan.

Ada juga paket-paket untuk bisnis, yang tentunya lebih mahal lagi.

Untuk pra-bayar, kita cuma perlu beli SIM card saja. Hp-nya terserah pemakai, asalkan hp sudah unlock, tidak masalah. Sistem pra-bayar ini sangat berguna untuk pendatang yang berencana untuk tinggal sementara saja, karena tidak terikat kontrak tahunan.

Umumnya disini orang memakai sistem pasca-bayar. Saya pikir, sistem seperti ini baik karena membuat orang untuk tidak terlalu konsumtif. Membeli barang hanya sesuai kebutuhan saja.

Taukah anda, bahwa ada komponen hp yang mengandung Coltan yang ditambang secara illegal di Congo, dan mengganggu habitat Gorilla? Saya baru tau ketika tempo hari berkunjung ke salah satu kebun binatang di negara bagian Victoria sini.

Mereka memiliki program “They’re Calling On You” yang maksudnya adalah mengajak kita untuk mendaur ulang hp bekas yang kita punya untuk menekan penambangan coltan secara illegal ini.

Adakah program sejenis ini di Indonesia? Saya bayangkan, kalau program sejenis ini ada dan banyak yang mau ikut berpartisipasi, tentunya akan sangat baik sekali.

Tiga remaja tadi masih menyantap makanan mereka, saya masih di halaman 21 buku Supernova. Jam sudah menunjukkan pukul 12.30, mestinya teman saya sudah 15 menit yang lalu tiba disini. Yah sudahlah, sesekali ngaret bisa saya maafkan, asalkan tidak jadi kebiasaan.

Karena teman saya ngaret ini, saya jadi bisa mencuri dengar percakapan meja sebelah dan bahkan dapat bahan renungan baru. Untung saja mereka tidak sadar ada detektif gadungan di meja sebelah mereka.

“Nyes, sorry banget gue telat!” teman saya, Yuni, akhirnya tiba dengan tergopoh-gopoh.

“Tadi itu gue sudah coba telpon, tapi kok nggak nyambung juga. Nggak taunya, baterenya sudah habis lagi, padahal baru saja gue charged tadi pagi. Mungkin sudah soak ya,” Yuni nyerocos, sambil bersungut-sungut pula. Saya tau, hp-nya memang sudah hampir 4 tahun belum ganti.

“Nggak apa kok, gue juga sambil baca buku. Mungkin sudah waktunya untuk ganti hp? Mau gue temenin ke provider hp setelah kita selesai makan siang?” saya menawarkan ke Yuni.

“Wah, mau banget! Sekarang kita makan dulu yuk!” sahut Yuni, riang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun