Aku yang terlahir di keluarga bisa dibilang berkecukupan. Orang tuaku yang selalu berusaha memenuhi semua keinginanku dari waktuku kecil hingga sekarang. Ayah yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga kecilnya, dan Bunda yang berperan sebagai Ibu rumah tangga.
Bunda, Masih kuingat kalimat yang selalu ia ucapkan dari dulu hingga saat ini setiap pagi.
"Yah, dek, ayo bangun pagi sudah tiba, sholat lalu bersiap lah."
Aku tidak mengerti, mengapa selalu Ayah yang paling susah bangun pagi. Itu cukup membuatku kesal, aku lah yang harus membangunkannya lagi dan tetap saja, Ayah selalu susah membuka matanya. Yang bisa membangunkannya hanya Bunda dengan membawa segelas kopi yang dibuatnya. Anehnya, itu mempan.
"dihh, giliran dibuatin kopi aja bangun." Ucapku sambil berjalan ke kamar mandi.
Mendengar omelanku, Ayah dan Bunda hanya menanggapinya dengan tertawa.
Sebelumnya, aku bersekolah di SMA Negeri 3 Kota Mojokerto. Sekarang aku duduk di bangku kelas 11. Jujur saja, sekarang aku masih bingung untuk menentukan langkah kedepanku setelah lulus dari sekolah ini.
Hari ini, sekolah mengadakan sosialisasi tentang perguruan tinggi, disana membahas tentang langkah apa yang harus diambil setalah ini, dan pilihan yang kita buat, entah itu berkuliah ataupun ingin bekerja. Setelah ku perhatikan, rata-rata murid di sini memilih untuk melanjutkan perguruan tinggi. Hatiku tergerak untuk melanjutkan pendidikan selanjutnya, aku pun memiliki cita-cita yang ingin ku gapai, dokter.
Setelah pulang dari sekolah, aku berjalan menuju rumah. Bisa dibilang jarak rumahku dekat dengan sekolah, maka dari itu, aku lebih memilih berjalan untuk berangkat dan pulangnya. Hitung-hitung olahraga kecil.
Sampai ku dirumah, samar-samar ku dengar suara tangisan perempuan, yang kurasa itu Bunda.
"Assalamualaikum, Bunda."
"Waalaikumsalam, nak." Jawab Bunda yang kulihat sambil mengusap air mata dengan cepat.
Kebingungan yang kudapat saat sampai rumah, melihat keadaan Bunda dan ada Ayah disampingnya. Itu yang membuatku heran, tidak biasanya Ayah pulang di jam yang sama denganku.
"Bunda, kenapa ayah sudah pulang?."
Dengan lirih dan kembali menangis, Bunda menjawab
"Ayah dikeluarkan, nak dari pekerjaannya."
Kaget, sedih, bingung menjadi satu. Itu yang kurasakan saat ini
"Kenapa bisa seperti ini, yah?" Tanya ku yang perlahan berjalan menghampiri orang tuaku.
"Ayah difitnah melakukan kecurangan, nak" jawab ayah dengan tetes air mata yang sesekali turun dan berusaha agar terlihat tegar dihadapanku dan bunda.
Hancur hatiku melihat kedua orang tuaku yang menangis. Ayah, yang biasanya tidak pernah kulihat meneteskan air mata di depan anaknya, saat ini, dia melakukannya. Siapa sangka, jika paginya yang terlihat berjalan dengan normal seperti hari biasanya, saat sore hari tiba-tiba ada musibah yang muncul di keluargaku ini. Ku urungkan niatku yang ingin membicarakan tentang perguruan tinggi impianku.
Setelah mendengar semua kejadian kemarin, hari ini, aku bersiap bangun pagi untuk berangkat ke sekolah.
"Dek, maafin ayah, ya?" Ucap ayah yang menatapku tengah memakai sepatu.
"Kenapa ayah harus meminta maaf kepadaku?" Jawabku sambil tersenyum
"Maafkan ayah yang harus mengurangi uang sakumu untuk menghemat pengeluaran kita, tunggu ayah mencari pekerjaan yang baru ya, nak."
"Tidak apa-apa, Ayah." Jawabku sambil memeluk ayahku.
"Assalamualaikum, aku berangkat dulu, yah, bun." Pamitku
"Waalaikumsalam, hati-hati ya." Lanjut Ayah dan Bunda secara bersamaan.
Berjalan ku menuju sekolah seperti biasanya, tidak bisa ku berhenti memikirkan hal yang terjadi padaku dan keluarga ku saat ini, semuanya terasa berat. Sampai ku di sekolah, langsung ku berjalan ke arah meja ku yang terletak di belakang. Entahlah bagaimana ekspresiku sekarang, hingga teman dekatku yang bernama Vina menyadarinya.
"Lia"
"Lia!" Ucapnya sekali lagi, dengan mengguncang tubuhku.
"Ah, ada apa, vin?" Tolehku dengan kaget.
Tergeleng kepala Vina menatapku, melangkahnya dia ke tempat duduk sebelahku.
"Kamu kenapa, Lia?"
"Daritadi kulihat termenung sambil melamun kau disini."
Inginku bercerita kepada Vina, tetapi hati ini mengatakan belum siap untuk bercerita.
"Gapapa, Vin" Jawabku sambil tersenyum kecil.
Seakan paham akan jawabanku, Vina tersenyum lalu berkata
"Yasudah kalau belum mau bercerita, tidak apa-apa, Lia. Tetapi, jika ingin bercerita, aku tetap ada disini untuk kamu."
Mendengar jawaban dari Vina, ku beri tanggapan dengan mengangguk dan terseyum tulus. Aku merasa seperti beban dari pikiran ku menghilang sedikit hari ini. Pelajaran telah berlalu, sejujurnya aku merasa tidak memperhatikan guruku tadi saat menerangkan. Tanpa terasa, ini waktu yang dinanti-nanti kan oleh seluruh siswa, yaitu bel istirahat berbunyi.
"Teng"
"Tengg"
"Tenggg"
Mendengar bel berbunyi tidak membuat semangatku kembali seperti dulu. Kulipat tanganku lalu bersandar kepalaku ke meja. Tampak terdengar langkah kaki yang kian mendekat, yang kutebak itu teman dekatku, Vina. Â Dan ya, benar saja Vina mendekat lalu berkata
"Kantin yuk!"
"Baiklah" Jawabku
Aslinya tidak ada nafsu ku untuk makan, tapi ya karena aku merasa jenuh saja, ku iyakan ajakan Vina. Selama berjalan di koridor sekolah, ku pandangi seluruh isi sekolah yang kulewati dengan termenung.
"Nah, sudah sampai, Li." Ucap Vina
"Mau pesan apa kamu? biar aku yang pesankan." Lanjutnya
Ku lihat seluruh stand makanan maupun minuman yang ada di kantin, tetap saja tidak ada nafsuku untuk makan atau minum.
"Hmm, gausa deh, Vin." Jawabku menatap Vina
"Lah, kenapa gausa?" Tanya Vina dengan keheranan
"Gapapa, lagi ga nafsu aja. Udah ya, kamu pesen aja, biar aku ambil tempat duduk disana." Jawabku tersenyum dengan menunjuk meja yang terletak di pojok kantin
"Yasudah, tungguin ya."
Setelah menunggu Vina makan berjalan kembali kita menuju ke kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya hingga bel pulang berbunyi.
Saat menuju perjalanan ke rumah, aku mampir sebentar ke toko kelontong yang ada di pasar untuk membeli shampo yang kuingat tadi sudah habis di kamar mandi. Setelah membayar barang yang telah kubeli, kulihat seseorang yang mirip sekali dengan ayahku yang tengah menjadi kuli panggul di pasar. Ku dekati seseorang tersebut dan benar saja seperti dugaanku ia benar ayahku.
"Ayah?" Ucapku dengan terkaget
"Loh dek, sudah pulang?" Jawab ayah sambil mengusap keringat yang bercucuran di dahinya
Tak ku jawab pertanyaan yang terlontar dari ayahku, menangisku disana sambil memeluk ayah yang terlihat sangat kelelahan.
Ayah terlihat panik melihat aku yang menangis pun bertanya
"Hey, lihat ayah."
"Kenapa kau menangis, nak?"
"Ayah tak lelah bekerja seperti ini? ini semua terlihat berat, Ayah." Â Tanyaku sambil tetap menangis
"Sudah jangan menangis, gamalu kamu diliatin orang-orang?" Jawab ayah sambil mengusap air mataku
"Lagian ayah bau kecut, pulang sana ditunggu bunda." Lanjut ayah
Kutatap ayah yang terseyum sambil mengelus kepalaku, lalu ku berkata
"Pulang yuk, yah? kita pulang bareng."
"Hahaha, terus yang nyari uang buat kamu siapa kalau ayah pulang?" Jawab ayah
"Yasudah, aku tunggu disini ya, yah?" Ucapku masih menatap khawatir ayah
"Baiklah, terserah kamu saja, Lia."
"Tunggu disana, ya." Ucap ayah lagi sambil menunjuk kursi dipinggir toko
Berjalan ku menuju kursi yang ditunjuk oleh ayah. Kupandangi ayah ku yang bekerja keras demi keluarganya, ya benar, keluargaku.
Langit yang awalnya berwarna terang pun berganti ke gelap yang artinya waktu menunjukkan sudah malam hari. Selesai sudah pekerjaan ayah, ayah berjalan menghampiriku
"Dek, ayo pulang, ayah sudah selesai."
Tanpa ku jawab perkataan ayah, berdiri ku menghampiri ayah dan menggandengnya. Beriringan kita berjalan menuju rumah bersama-sama. Selama perjalanan ayah mengajak bicara, apapun ia tanyakan tentang selama kegiatan sekolah tadi. Di tengah perjalanan aku berkata kepada ayah
"Ayah, hidup lebih lama lagi, ya?"
Berhenti sejenak perjalanan kita. Ayah menoleh ke arahku sambil tersenyum
"Ada apa, Lia? kenapa berkata seperti itu."
"Ayah, terima kasih sudah berusaha keras buat aku sama bunda. Aku gatau lagi kalau ayah gaada, tunggu aku besar ya, yah? nanti aku balas semua kebaikan ayah." Jawabku degan mata berkaca-kaca
Lagi dan lagi ayah menanggapinya dengan tersenyum. Dan kita pun melanjutkan perjalanan menuju ke rumah.
"Assalamualaikum, Bunda." Ucap kita bersamaan
"Waalaikumsalam, ayo bersih-bersih dulu, bunda udah siapin makan malam." Jawab bunda
Aku dan ayah menuju kamar masing-masing dan mulai membersihkan badan. Setelah itu aku dan ayah turun bersamaan menuju ruang makan. Setelah makan malam, berkumpul kita di ruang tamu.
"Dek, nanti setelah lulus sekolah mau ya kuliah?" Tanya ayah membuka obrolan
"Gamau, yah." Jawabku dengan cepat
Ayah dan bunda saling pandang dengan keheranan, lalu bunda berkata
"Memangnya kenapa, Lia? bukannya kau ingin menjadi dokter, dan pastinya kau harus melanjutkan ke sekolah perguruan tinggi."
Ku tatap ayah dan bunda secara bergantian.
"Kalau aku masuk kuliah, ayah dan bunda mau dapat uang darimana. Aku tidak mau menambah beban ayah dan bunda, cukup keluarga kita mengalami kebangkrutan. Aku tidak ingin membuat ayah lebih bekerja keras lagi untukku, ayah pasti lelah." Jawabku
"Huft. Kenapa kau berfikir seperti itu, nak. Ayah bekerja untukmu dan bunda, ayah ini kepala keluarga, sudah semestinya ayah bertanggung jawab atas segala keperluan mu." Balas ayah
"Tapi ayah, aku tidak tega melihat ayah banting tulang hanya karena aku ingin berkuliah."
"Sudahlah, nak. Kau tidak perlu memikirkan seperti itu, kau hanya perlu belajar yang rajin jika ingin meraih impianmu. Jangan berfikir tentang biaya, jika ada keinginan pasti ada jalan keluarnya. Sudah, sekarang tidurlah."
Mendengar nasihat ayah membuatku berfikir dan tidak bisa tidur karena memikirkannya dengan keras. Ah, aku lupa saat sosialisasi tentang perguruan tinggi, ada jalur yang mengandalkan nilai rapor, yaitu jalur SNBP.
Pagi hari pun datang, dengan bersemangat aku menghampiri kedua orang tuaku yang telah berkumpul di ruang makan.
"Ayah, bunda, aku telah memutuskan ingin masuk kuliah menggunakan jalur nilai rapor. Doakan Lia ya, yah, bun?"
"Alhamdulillah, Ayah dan Bunda pasti akan selalu mendukungmu, nak." Jawab bunda dengan tersenyum
"Jika butuh apapun itu, bilang ke ayah ya, nak? ayah pasti berusaha jika itu buat anak ayah." Jawab ayah dengan bangga
Aku pun tersenyum dan memeluk kedua orang tuaku.
Hari-hari berlalu hingga tanpa terasa sekarang sudah mendekati hari kelulusan. Pendaftaran Perguruan tinggi jalur SNBP pun telah dibuka, jujur saja aku takut tidak diterima, karena peminat jurusan kedokteran sangat banyak di kampus yang aku impikan.
Hari ini, hari diumumkannya diterima atau tidak dari kampus yang aku daftar. Disini, di ruang tamu terdapat ayah dan bunda yang mendampingiku. Dengan perasaan tak tenang ku buka hasil dari pengumumannya, dan ya aku diterima. Dengan perasaaan senang, sedih, terharu, semuanya menjadi satu. Ku peluk ayah dan bunda yang ikut menangis melihatku berhasil.
"Ayah, bunda, aku berhasil." Ucapku
"Alhamdulillah, dek." Ucap ayah dan bunda
Dihari ini, dirumah, ruang tamu menjadi saksi dari segala usaha ayah, bunda, dan aku. Semua terasa mimpi yang sangat kunantikan.
Malam ini, kita bertiga berkumpul di halaman rumah sambil menatap langit dan bintang. Bintang yang berkilau, menerangi isi bumi, ayah, bunda, kalian bagaikan bintang  yang menerangi hidupku dengan kasih sayang kalian untuk membuat diriku jadi anak yang bahagia di seluruh dunia. Ayah, dari kecil kau wujudkan mimpi yang terindah di setiap malam agar aku tersenyum terjaga dari tidurku, dan bunda, yang selalu ada saat ku hancur, selalu ku di sayang olehmu, apa lagi saat ku jadi juara kau menjadi garda terdepan yang bangga terhadapku.
"Ayah, bunda, terimakasih ya sudah bertahan melihatku berhasil sampai sekarang." Ucapku memeluk ayah dan bunda
"Nak, bunda dan ayah masih ada disini sampai nanti, jangan lupa ayah dan bunda selalu mendukungmu. Saat duniamu terasa hancur, datanglah kesini, nak. Jalan pulang rumah kita masih sama."
Ayah, Bunda, terimakasih ya, sudah melihat ku berjuang sampai akhir.