Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Globalisasi dan Politik Identitas

17 Oktober 2012   02:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:46 1180 0


Adhe Nuansa Wibisono, S.IP


Kajian Terorisme FISIP UI



Jakarta, 16 Oktober 2012




Sumber Utama : Bice Maiguashca, Chapter 7 ‘Globalisation and the politics of identity’, dalam Catherine Eschle and Bice Maiguashca, ‘Critical Theories, International Relations and the Anti Globalisation Movement’, (New York : Routledge, 2005)



Tulisan ini merupakancritical review dari artikel Bice Maiguashca, ‘Globalisation and the politics of identity,(2005) hal 117-136. Maiguashca pada artikel ini menjelaskan konsep identitas politik dalam globalisasi. Pada artikel ini Maiguascha akan melihat empat perspektif yang akan dirangkum menjadi dua pada artikel ini yaitu konsep ‘identitas kolektif’ menurut Scholte dan ‘politik pengakuan’ menurut Linklater. Pada artikel ini kita akan melihat bagaimana proses identitas terbentuk, selain itu penulisan ini juga ditujukan untuk merangkum dan membandingkan teori yang sama dari beberapa penulis berbeda. Kemudian akan dilakukan analisa dan menarik suatu kesimpulan.



Rangkuman


Pada artikel ini Bice Maiguashca mencoba menjelaskan akan masalah identitas pada globalisasi, ia melihat bahwa identitas-identitas di bawah negara muncul dan mengemuka pada saat era keterbukaan globalisasi hadir. Kehadiran kelompok ethno-religius, feminisme, indigenous people yang semakin massif dalam menujukkan aspirasi akan identitas politik yang mereka perjuangkan. Hal ini menjadi menarik ketika terjadi pertemuan antara globalisasi, negara-bangsa, dan kelompok identitas. Globalisasi mengakibatkan semakin pudarnya batas-batas wilayah dalam konteks negara-bangsa, tetapi mengapa dengan hadirnya globalisasi kemunculan dari kelompok identitas ini semakin menguat? Apakah dengan hadirnya globalisasi juga ikut mendorong akan penguatan kedasaran politik dalam kelompok-kelompok ini, kesadaran yang mendorong akan pentingnya identitas politik. Bice Maiguascha mencoba untuk melihat pendapat Scholte mengenai ‘identitas kolektif’ dan pendapat Linklater mengenai ‘politik pengakuan’.



Scholte Dan Politik ‘Identitas Kolektif’


Argumen utama Scholte bahwa globalisasi menghasilkan tantangan yang mendasar atas konsep dan praktik ‘state sovereignty’ kedaulatan negara, terutama sistem negara yang dipahami oleh kaum realist (Scholte 1996; 2000b). Produksi global, keuangan, komunikasi dan ancaman seperti kerusakan lingkungan, dapat melemahkan kemampuan negara untuk melakukan kontrol atas apa yang terjadi di wilayahnya sendiri. Bersamaan dengan penurunan kedaulatan negara, globalisasi telah memunculkan identitas politik alternatif yang merefleksikan pola baru dari identifikasi diri yang lain, yaitu apa yang disebut dengan politik identitas (Scholte 1996 : 39; 2000b: 86, 107). Globalisasi telah memfasilitasi kemunculan dari ‘politik identitas’ yang sejak tahun 1960-an telah melemahkan posisi dari negara-bangsa sebagai struktur sosial utama di masyarakat dan juga ikut meningkatkan munculnya beragam framework alternatif akan struktur sosial. Pada prosesnya, bangunan dari identitas kolektif bergerak untuk menjadi semakin multidimensi dan tidak pasti. Scholte melihat identitas kolektif menjadi ‘penanda’ bagi sejumlah gerakan sosial.[1]



Untuk menemukan kedekatan interaksi pada saat teknologi globalisasi telah membuka ruang keterbatasan akan jarak, benda, tempat, gagasan yang nampaknya tidak mencapai sasaran (Scholte 1996 : 55). Dalam perspektif ini, mobilisasi akan identitas kultural dilihat sebagai upaya untuk mendekatkan seseorang secara personal dan kultural kepada komunitasnya. Mungkin saja perspektif ini ada benarnya, gerakan indigenous people juga berupaya untuk melakukan perlawanan terhadap relasi kekuasaan yang mengancam eksistensi keberadaan mereka, dengan persenjataan yang tidak berimbang, baik melalui dominasi dan kekerasan seperti genosida budaya (Maiguashca 1994).[2]



Scholte mencoba menjelaskan bahwa globalisasi memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok identitas untuk menemukan akar identitasnya. Melalui teknologi informasi yang membuka keterbatasan akses, kelompok identitas menemukan ruang konsolidasi, ruang pertemuan yang selama ini mungkin dibatasi oleh kontrol dan pengawasan negara. Dengan adanya ruang pertemuan ini maka penguatan identitas-identitas kolektif menjadi memungkinkan dan penguatan basis massa dari kelompok identitas menjadi eksis. Kehadiran kelompok identitas ini kemudian memberikan saluran alternatif politik bagi gerakan sosial di tengah melemahnya peran negara dalam era keterbukaan globalisasi ini.



Linklater Dan ‘Politik Pengakuan’


Menurut Linklater masalah yang utama pada teori kritis dalam hubungan internasional adalah : teori kritis dalam hubungan internasional perlu untuk memahami keterkaitan antara pengecualian pada tingkatan yang berbeda, kemudian teori kritis seharusnya fokus padakedaulatan negara sebagai bentuk yang bermasalah dari komunitas politik (Linklater 1994 : 129). Negara menurut Linklater, berada pada titik problematis sejak awal berdirinya, karena negara dimaksudkan sebagai sistem penyertaan dan pengecualian. Negara memisahkan warganegara, warga domestik, dari yang dianggap sebagai non-warganeraga, pihak luar, yang pada akhirnya cara pandang ini membangun batas diantara manusia yang memiliki identitas kebangsaan yang berbeda. Cara pandang ini juga digunakan sebagai alat marjinalisasi terhadap ‘internal other’, yaitu kelompok-kelompok minoritas yang hidup di bawah batas-batas negara tetapi dibatasi dalam partisipasi dan identitas politik.[3]



Linklater kemudian memberikan formulasi atas permasalahan ini, yaitu memberikan kebebasan dan keistimewaan kepada tiga sumber utama identitas : pertama, perbedaan dan keragaman budaya, kedua, afiliasi nasional dan ketiga, logika universal akan kemanusiaan. Linklater menjelaskan identitassebagai ekspresi dari ikatan sosial kolektif, sebagai representasi dari pengalaman bersama sejumlah manusia pada kelompok tertentu (Linklater 1996a : 96; 1998 : 180). Lebih jauh ia mencoba untuk menjelaskan identitas pada istilah kultural dan universal. Pada titik ini gerakan ‘indigenous people’ dan gerakan perempuan, yang dicontohkan sebagai ‘politik pengakuan’ – dilihat sebagai upaya perjuangan akan perlindungan keragaman budaya.[4]



Tiga asumsi yang dinyatakan Linklater terkait sifat dari politik pengecualian dan hubungannya terhadap identitas. Pertama, Linklater percaya bahwa praktik pengecualian pada dasarnya berkembang sebagairespon dari keberadaan perbedaan (differences). Pendapat inidimunculkan ketika ia menjelaskan, bahwa ‘politik pengakuan menuntut adanya ekspresi sensitivitas kepada perbedaan dan kemungkinan-kemungkinan baru untuk memperluas berbagai perbedaan pendapat terkait komunitas politik’ (Linklater 1998 : 187). Kedua, Linklater mengasumsikan bahwa perbedaan budaya menimbulkan tantangan terbesar bagi struktur dunia post-Westphalian. Ketiga, dengan memisahkan marjinalisasi budaya di luar dari praktik-praktik pengecualian, ia nampaknya tidakmengakui alur kompleks dimana relasi kekuasaan meliputi jender, kelas, ras dan seksualitas yang menghasilkan dinamika layaknya ragam identitas yang termarjinalkan.[5]



Bahan Pembanding


Chipkin (2007) menjelaskan politik nasionalisme itu mengakar dari cara pandang ‘politik kepemilikan’. Kemudian nasionalisme menundukkan segala bentuk lain dari identitas. Dari cara pandang ini kita dapat melihat bahwa identitas dibentuk melalui komitmen politik dari satu bentuk komunitas dibandingkan pada kebebasan untuk mengikuti keinginan manusia untuk mengkonsolidasi satu identitas. Ruang selalu menjadi perhatian para peneliti antropologis dikarenakan objek-objek studi penelitian mereka selalu terkait dengan faktor ruang (Lefebvre, 1991; Moore, 1986) dan ini kemudian menjadi dasar bagi beberapa argumen. Dougan (2004 : 33) berpendapat bahwa konsep-konsep dasar mengenai ruang memberikan penjelasan-penjelasan kunci mengenai batas (boundaries). Kemudian pembahasan mengenai batas ini akan mengantarkan kita pada pengertian akan identitas. Dari perpektif ini pembahasan identitas dikaitkan dengan simbol-simbol yang telah mengakar pada budaya dan batas-batas wilayah.[6]



Erikson (1950) yang melakukan pendekatan atas penanda identitas melalui kedekatan antara identitas dengan keamanan. Identitas dilihat sebagai mekanisme pengendalian kecemasan melalui penguatan rasa kepercayaan, prediktabilitas dan kontrol sebagai reaksi terhadap perubahan yang menganggu dengan cara membangun kembali identitas yang telah ada atau membangun sebuah identitas baru (Kinnvall, 2004). Kemudian Giddens berpendapat bahwa identitas diri terdiri dari pengembangan atas perasaan yang konsisten akan keberlanjutan biografis dimana individu mampu mempertahankan narasi tentang pertanyaan diri akan melakukan, bertindak dan menjadi.[7]



Berkaitan dengan ini Giddens menekankan akan keamanan ontologis dan kecemasan eksistensial untuk memahami hubungan global-lokal sebagai diskursus psikologi akan dominasi dan perlawanan. Kemudian Sigel (1989) menyebutkan bahwa,”terdapat satu dorongan yang kuat pada manusia untuk mempertahankan perasaan identitas seseorang, keberlanjutan yang menimbulkan rasa takut untuk mengalami perubahan terlalu cepat atau mengalami perubahan karena paksaan pihak luar” (hal 459). Globalisasi telah membuat proses ini terlihat menjadi lebih sulit untuk memikirkannya dalam bentuk identitas tunggal, terintegrasi dan harmonis sebagaimana individu secara terus menerus menyesuaikan tindakan mereka dengan orang lain. Individu mencariakan satu identitas yang tetap walaupun belum tentu identitas yang dimaksud itu ada. Maka dari itu kita harus memahami bahwa identitas tidak bersifat tetap, sebagai sesuatu yang telah ada, tetapi dilihat sebagai proses menjadi. Seperti yang dinyatakan Hall (1992), “ Jika kita merasa kita memiliki identitas bersatu dari lahir hingga kematian kita, ini disebabkan karena kita membentuk narasi nyaman itu atau ‘narasi tentang diri’ tentang diri kita” (hal 227).[8]



Analisa


Pada awalnya Globalisasi dinilai telah membantu munculnya ‘politik identitas’ yang juga ikut menggeser peran dari kedaulatan negara sebagai struktur sosial utama di masyarakat. Gerakan sosial kemudian muncul sebagai respon dari keterbukaan globalisasi dan memungkinkan munculnya ragam framework alternatif akan struktur sosial di masyarakat (Scholte : 1996). Tetapi kehadiran gerakan sosial inibisa saja tidak hanya dilihat dari bergersernya peran kedaulatan negara tetapi sebagai konsekuensi dari kebijakan negara. Linklater (1998) mencoba menjelaskan akan adanya upaya negara untuk melakukan pemisahan antar individu melalui batas-batas negara, warganegara domestik, warganegara asing kemudian juga terjadi cara pandang terhadap kelompok minoritas yang dianggap sebagai ‘internal other’, minoritas yang berbeda yang dimarjinalkan. Jika Scholte melihat kondisi ini sebagai awal munculnya kelompok minoritas untuk memunculkan suatu ‘politik identitas’ di dalam negara, maka Linklater bergerak lebih jauh dengan berbicara tentang ‘politik pengakuan’ yang menuntut adanya ekspresi sensitivitas kepada perbedaan dan kemungkinan-kemungkinan baru untuk memperluas berbagai perbedaan pendapat terkait komunitas politik’ (Linklater 1998 : 187)[9]



Dari sisi lain, Chipkin (2007) menjelaskan politik nasionalisme itu mengakar dari cara pandang ‘politik kepemilikan’. Kemudian nasionalisme menundukkan segala bentuk lain dari identitas. Dari cara pandang ini kita dapat melihat bahwa identitas dibentuk melalui komitmen politik dari satu bentuk komunitas dibandingkan pada kebebasan untuk mengikuti keinginan manusia untuk mengkonsolidasi satu identitas. Pada pemikiran Chipkin ini kita dapat memahami bagaimana negara mengkonstruk cara pandang akan identitas, bahwa identitas nasionalisme dibangun untuk mempersatukan dan menundukkan identitas lainnya, baik ethnis, agama, kesukuan, gender, ideologi politik, dan indigenous people. Dari titik ini pulalah kita dapat melihat negara menggunakan identitas sebagai mekanisme pengendalian kecemasan melalui penguatan rasa kepercayaan, prediktabilitas dan kontrol sebagai reaksi terhadap perubahan yang menganggu dengan cara membangun kembali identitas yang telah ada atau membangun sebuah identitas baru (Kinnvall, 2004)



Pertanyaannya sekarang, apakah identitas memang mampu direkonstruksi oleh negara seperti yang disebutkan oleh Chipkin, ataukah kelompok identitas akan memberikan respon melalui hadirnya era keterbukaan globalisasi dan kemudian memunculkan adanya ‘politik identitas’ ala Scholte dan ‘politik pengakuan’ ala Linklater yang kemudian menghilangkan diskriminasi dan marjinalisasi negara terhadap kelompok minoritas? Menarik jika kita mendengar pendapat Giddens bahwa identitas diri terdiri dari pengembangan atas perasaan yang konsisten akan keberlanjutan biografis dimana individu mampu mempertahankan narasi tentang pertanyaan diri untuk melakukan, beritindak dan menjadi. Giddens menganggap individu mampu mempertahankan identitas yang dipilihnya sebagai satu upaya mempertahankan sensitivitas kolektif.[10] Upaya mempertahankan sensitivitas kolektif ini kemudian diungkap Sigel (1989) sebagai “terdapat satu dorongan yang kuat pada manusia untuk mempertahankan perasaan identitas seseorang, keberlanjutan yang menimbulkan rasa takut untuk mengalami perubahan terlalu cepat atau mengalami perubahan karena paksaan pihak luar”. Individu akan berupaya untuk mempertahankan identitas politik dan berusaha untuk melindungi identitas dari upaya rekonstruksi pihak eksternal.



Kesimpulan


Identitas politik menjadi arena pertemuan antara kelompok minoritas dengan negara, negara berupaya untuk melakukan rekonstruksi identitas kolektif menjadi identitas nasionalisme yang berpusat kepada negara. Upaya penyeragaman identitas oleh negara ini kemudian dapat menjadi tindakan-tindakan diskriminasi dan marjinalisasi kepada kelompok minoritas. Kondisi ini memunculkan ‘politik identitas’ dan ‘politik pengakuan’ sebagai respon dari tindakan-tindakan negara. Kelompok minoritas terus berupaya untuk mempertahankan sensitivitas kolektif yang diwujudkan melalui identitas politik. Upaya mempertahankan identitas politik ini akan menjadi semaki kuat apabila negara semakin menguatkan upayanya untuk melakukan penyeragaman identitas. Kehadiran globalisasi yang membuka akses informasi dan menggeser batas-batas kedaulatan negara kemudian menjadi peluang bagi kelompok minoritas untuk terus bertahan dan menyuarakan identitas politiknya.



Referensi


Burchill, Scott, Andrew Linklater, ‘Theories Of International Relations, Fourth Edition, (New York : Palgrave Macmillan)


Maiguashca, Bice, Chapter 7 ‘Globalisation and the politics of identity’, dalam Catherine Eschle and Bice Maiguashca, ‘Critical Theories, International Relations and the Anti Globalisation Movement’, (New York : Routledge, 2005)


Ojong, Vivian Besem, Mpilo Pearl Sithole, ‘The Substance of Identity:Territoriality, Culture, Roots andthe Politics of Belonging, dalam ‘The African Anthropologist,(Vol. 14, Nos. 1&2, 2007)


Kinnvall, Catarina, ‘Globalization and Religious Nationalism: Self,Identity, and the Search for Ontological Security, dalam ‘International Society of Political Psychology,Vol. 25, No. 5,(Malden : Blackwell, 2004)


Viotti, Paul R., Mark V. Kauppi, ‘International Relations Theory, Fourth Edition, (New York : Pearson, 2010)






[1]Bice Maiguashca, Chapter 7 ‘Globalisation and the politics of identity’, dalam Catherine Eschle and Bice Maiguashca, ‘Critical Theories, International Relations and the Anti Globalisation Movement’, (New York : Routledge, 2005), hal 118-119




[2] Bice Maiguashca, Chapter 7 ‘Globalisation and the politics of identity’, dalam Catherine Eschle and Bice Maiguashca, ‘Critical Theories, International Relations and the Anti Globalisation Movement’, (New York : Routledge, 2005), hal 118-119




[3]Bice Maiguashca, Chapter 7 ‘Globalisation and the politics of identity’, dalam Catherine Eschle and Bice Maiguashca, ‘Critical Theories, International Relations and the Anti Globalisation Movement’, (New York : Routledge, 2005), hal 120




[4]Bice Maiguashca, Chapter 7 ‘Globalisation and the politics of identity’, dalam Catherine Eschle and Bice Maiguashca, ‘Critical Theories, International Relations and the Anti Globalisation Movement’, (New York : Routledge, 2005), hal 121




[5]Bice Maiguashca, Chapter 7 ‘Globalisation and the politics of identity’, dalam Catherine Eschle and Bice Maiguashca, ‘Critical Theories, International Relations and the Anti Globalisation Movement’, (New York : Routledge, 2005), hal 121




[6] Vivian Besem Ojong and Mpilo Pearl Sithole, ‘The Substance of Identity:Territoriality, Culture, Roots andthe Politics of Belonging, dalam ‘The African Anthropologist,(Vol. 14, Nos. 1&2, 2007), hal 92




[7] Catarina Kinnvall, ‘Globalization and Religious Nationalism: Self,Identity, and the Search for Ontological Security, dalam ‘International Society of Political Psychology,Vol. 25, No. 5,(Malden : Blackwell, 2004), hal 746




[8] Catarina Kinnvall, ‘Globalization and Religious Nationalism: Self,Identity, and the Search for Ontological Security, dalam ‘International Society of Political Psychology,Vol. 25, No. 5,(Malden : Blackwell, 2004), hal 748




[9] Bice Maiguashca, Chapter 7 ‘Globalisation and the politics of identity’, dalam Catherine Eschle and Bice Maiguashca, ‘Critical Theories, International Relations and the Anti Globalisation Movement’, (New York : Routledge, 2005), hal 121




[10] Catarina Kinnvall, ‘Globalization and Religious Nationalism: Self,Identity, and the Search for Ontological Security, dalam ‘International Society of Political Psychology,Vol. 25, No. 5,(Malden : Blackwell, 2004), hal 746

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun