Adhe Nuansa Wibisono, S.IP
Kajian Terorisme FISIP UI
Jakarta, Selasa 2 Oktober 2012
Sumber Utama : Robert Keohane and Joseph Nye, Chapter I ‘Interdependence in World Politics’, dalam ‘Power and Interdependence’3rd Edition, (New York : Longman Publishing, 2001)
Tulisan ini merupakan critical review dari artikel Robert Keohane dan Joseph Nye, ‘Interdependence in World Politics’, (2001) hal 3-19. Keohane dan Nye pada artikel ini menjelaskan konsep “interdependence” yang kemudian akan dijelaskan melalui penjelasan konsep “sensitivity”, “vulnerability”, dan “power resources”. Pada artikel ini kita akan mendapatkan gambaran cukup jelas mengenai pola interaksi antar negara yang dibahas melalui pendekatan interdependensi antar negara. Selain itu Penulisan ini juga ditujukan untuk merangkum dan membandingkan teori yang sama dari beberapa penulis berbeda. Kemudian akan dilakukan analisa dan menarik suatu kesimpulan.
Rangkuman
Dependensi memiliki arti bahwa negara telah dipengaruhi oleh kekuatan eksternal. Interdependensi secara sederhana diartikan sebagai saling ketergantungan. Interdependensi dalam politik internasional dipengaruhi oleh situasi oleh efek resiprokal [timbalbalik] antara berbagai negara atau antara aktor-aktor di berbagai negara. Efek ini biasanya didapatkan sebagai hasil dari transaksi internasional –aliran uang, barang, orang dan pesan komunikasi yang melintasi batas-batas wilayah. Beberapa transaksi telah meningkat drastis sejak PD II : “ beberapa dekade belakangan ini memperlihatkan suatu kecendrungan akan berbagai bentuk keterkaitan antar manusia yang melintasi batas-batas negara akan semakin meningkat setiap sepuluh tahun. Keterkaitan ini tidaklah sama dengan interdependensi, efek transaksi dari interdependensi akan tergantung kepada hambatan dan biaya.[1]
Robert Keohane dan Joseph Nye menjelaskan bahwa dalam hubungan interdependen akan selalu terdapat biaya, interdependensi membatasi otonomi, tetapi adalah tidak mungkin untuk menetukan keuntungan dari sebuah relasi yang melebihi biaya. Hal ini akan sangat tergantung pada nilai para aktor seperti kondisi alamiah dari sebuah relasi interdependent yang dipengaruhi oleh hubungan timbal balik. Kita juga harus berhati-hati agar tidak mendefiniskan interdependensi hanya padasetiap relasi mutual-dependensi yang seimbang. Ini suatu hal yang asimetris dalam dependensi, ketika para aktor menyediakan sumber-sumber pengaruh dalam berhubungan antara satu aktor dengan lainnya. Aktor yang less-dependent biasanya dapat menggunakan hubungan interdependensi sebagai power resources dalam melakukan negosiasi pada suatu isu.[2]
Power dapat dipahami sebagai kemampuan aktor untuk membuat aktor lain melakukan sesuatu yang tidak mereka inginkan. Power dapat dimaknai dalam pengertian memegang kendali akan hasil dan tujuan. Dengan kata lain, penilaiannya menjadi tidak sederhana. Kita dapat melihat bahwa power resources yangdimiliki membuat aktor memiliki potential ability, atau kita dapat melihat pengaruh aktor pada pola hasil. Ketika kita mengatakan interdependensi asimetris didapatkan dari power resources, maka kita akan berpikir bahwa power mengendalikan resources atau berpotensi untuk mempengaruhi hasil.[3]
Untuk memahami peranan dari power pada interdependensi kita harus membedakan dua hal, yaitu sensitivity dan vulnerabilty. Sensitivity melibatkan tingkat responsivitas dalam framework kebijakan, berapa cepat perubahan pada suatu negara dapat membawa perubahan pada negara lainnya, dan seberapa kuatkah efek perubahannya? Pengukuran tidak hanya tergantung pada volume yang melintasi batas negara tetapi juga dipengaruhi oleh biaya perubahan transaksi yang terjadi di masyarakat atau pemerintah. Sensitivity interdependence tercipta dari interaksi melalui framework kebijakan. Sensitivity berasumsi bahwa framework tidak berubah. Pada faktanya sejumlah kebijakan yang tidak berubah merefleksikan kesulitan akan perumusan kebijakan baru dalam waktu singkat, atau ini juga merefleksikan komitmen pada sejumlah pola dari sistem domestik dan internasional.[4]
Aspek vulnerability pada interdependensi tergantung pada kemampuan relatif dan biaya dari alternatif kemungkinan yang akan dihadapi aktor. Dalam pengertian biaya dependensi, sensitivity adalah tindakan peningkatan biaya dari pihak luar dalam rangka untuk mengubah situasi. Vulnerability dapat dijelaskan sebagai keterikatan aktor untuk mendapatkan biaya yang diakibatkan oleh pihak eksternal bahkan setelah kebijakan telah diubah. Hal ini mengindikasikan bahwa sensitivity interdependence akan sedikit lebih tidak penting dibandingkan vulnerability interdependence dalam penyediaan power resources bagi para aktor. Jika satu aktor dapat mengurangi risiko biaya dengan mengubah kebijakannya, baik pada level domestik maupun internasional, maka pola sensitivity tidak dapat dijadikan panduan yang baik bagi power resources. Vulnerability interdependence juga termasuk pada aspek strategis dimana sensitivity secara politik menjadi tidak begitu penting.[5]
Secara ringkas, Robert Keohane dan Joseph Nye menjelaskan interdependence kepada tiga karakter[6] :
1. Para aktornya adalah negara dan non-negara yang memililki berbagai saluran komunikasi : antar-negara, antar-pemerintahan dan transnasional.
2. Agenda hubungan antar-negara meliputi sejumlah isu yang tidak disusun pada hierarki yang jelas. Dengan kata lain, terdapatberbagai isu dengan tanpa adanya hierarki, aspek keamanan militer tidak secara konsisten mendominasi agenda yang ada.
3. Kekuatan militer memainkan peran yang relatif lemah dalam hubungan internasional dikarenakan, “isu ini tidak digunakan oleh satu negara kepada negara lainnya ketika konsep interdependence digunakan”.
Bahan Pembanding
Karl Deutsch berpendapat bahwa interdependence sebagai interlocking relations, berasal dari pembagian kerja diantara unit-unit politik yang “highly specialized”. Kemudian dia membedakan antara interdependensi dari pola hubungan yang “mutual responsiveness” diantara unit-unit politik yang ada yang mungkin tidak saking tergantung antara satu dengan lainnya, dapat bertindak secara mandiri tanpa perlu bantuan dari aktor lainnya.[7]
Disebabkan perluasan dari interdependensi yang meningkat, begitu juga dengan insentif untuk negara agar mengambiltindakan militer untuk mengurangi economic vulnerability yang mereka miliki [Gilpin 1981, 140-41 : Liberman 1996]. Senada dengan argumen di atas, Alexander Hamiltonmenyebutkan bahwa ,”melakukan proteksi pada sektor industri dalam negeri dari kompetisi produk asing akan menjaga Amerika Serikat dari “keamanan pada bahaya eksternal” dan meningkatkan “frekuenasi ancaman yang lebih sedikit kepada keamanan negara dari negara lain” baru kemudian menetapkan kebijakan perdagangan [Earle 1986, 235].Kemudian Kenneth Waltz [1970, 205,222] menyebutkan bahwa. “interdependensi yang tertutup adalah tertutupnya kontak dan interaksi yang akan meningkatkan adanya kemungkinan konflik. Mitos interdependensi menegaskan keyakinan palsu akan kondisi yang dikatakan dapat meuwjudkan perdamaian, “Dengan demikian interdependensi yang tinggi diantara para aktor juga dapat menyebabkan konflik”.[8]
Struktur model realisme milik Kenneth Waltz berasumsi bahwa military power mendominasi hierarki yand ada. Sejak military power secara efektif digunakan untuk berbagai tujuan politik, dari sanalah struktur internasional terbentuk. Hak ini mengimplikasikan bahwa sistem internasional memiliki beberapa jenis struktur yang berbeda-beda tergantung isu wilayah dan distribusi dari resources dapat digunakan untuk mempengaruhi hasil akhir, Jika power diasumsikan kepada perbandingan yang sempurna, ketika terjadi konflik antara negara besar dan negara kecil, maka negara besar pasti akan menang. Pengalaman Amerika Serikat di Vietnam dan pengalaman Uni Soviet di Afghanistan dan Chechnya membuktikan bahwa asumsi ini tidak selalu benar. Dengan melakukan perubahan pada pola asumsi maka penjelasan akan power akan menjadi lebih dalam. Namun demikian, perlu dipahami bahwa konsep interdependence tidak menolak asumsi dasar realis tetapi memperluas asumsinya. Isu struktur tidak menyatakan bahwa struktur tidak signifikan tetapi menunjukkan bahwa sistem internasional terdiri dari lebih satu struktur.[9]
Analisa
Konsep Interdependensi ini mencoba membangun cara pandang baru akan hubungan antara negara dalam politik internasional. Pada konsep realisme hubungan antar negara selalu dilihat dari kacamata “threat” dan “security” ketika pola interaksi negara yang satu selalu menganggap negara lainnya sebagai musuh. Pendekatan yang digunakan juga selalu mengukur perbandingan antara military power antara satu aktor dengan aktor lainnya. Sehingga pola yang terjadi antara satu aktor dengan aktor lainnya dalam kacamata realisme selalu melihat dalam perspektif konflik. Sebagai hasilnya maka terbentuk satu logika security, yaitu kondisi alamiah dari negara perang (states of war) : sejauh ini manusia hidup tanpa adanya satu kekuatan yang mampu menyatukan mereka semua, manusia selalu berada dalam kondisi bersaing, seorang manusia selalu bersaing dengan manusia lainnya.[10]
Sedangkan pada konsep interdependensi ini pola hubungan antara aktor bergeser dari saling meningkatkan “military power” menjadi ketergantungan antara satu aktor dengan lainnya. Isu “security” kemudian juga menjadi meluas yang tadinya hanya berkisar pada aspek “power”, “military forces”, “warfare” berubah menjadi aspek “economy”, “resources”. Pola hubungan antar aktor tidak lagi berbicara kondisi states of war tetapi juga dependence between states, ketergantungan antara satu aktor dengan aktor lainnya. Robert Keohane dan Joseph Nye menjelaskan bahwa Interdependensi dalam politik internasional dipengaruhi oleh situasi oleh efek resiprokal [timbalbalik] antara berbagai negara atau antara aktor-aktor di berbagai negara. Efek ini biasanya didapatkan sebagai hasil dari transaksi internasional –aliran uang, barang, orang dan pesan komunikasi yang melintasi batas-batas wilayah.[11]
Dari sisi lainnya Kenneth Waltz berasumsi bahwa military power mendominasi hierarki yand ada. Sejak military power secara efektif digunakan untuk berbagai tujuan politik, dari sanalah struktur internasional terbentuk[12]. Keohane dan Nye melihat dari sisi bahwa antara aktor-aktor dalam politik internasional akan terjadi suatu hubungan timbal balik melalui transaksi sosial-ekonomi-budaya yang terjadi dalam upaya penciptaan perdamaian dan stabilitas antar aktor, sedangkan Waltz [1970, 205,222] menyebutkan bahwa. “interdependensi yang tertutup adalah tertutupnya kontak dan interaksi yang akan meningkatkan adanya kemungkinan konflik. Mitos interdependensi menegaskan keyakinan palsu akan kondisi yang dikatakan dapat meuwjudkan perdamaian, “Dengan demikian interdependensi yang tinggi diantara para aktor juga dapat menyebabkan konflik”.[13] Pada titik inilah Keohane-Nye dan Waltz berbeda pendapat mengenai interdependensi, bagi Keohane-Nye, interdependensi adalah salah satu metode untuk membangun perdamaian dan stabilitas antara aktor, tetapi bagi Waltz interdependensi yang berlebihan juga menjadi faktor utama penyebab konflik.
Kesimpulan
Keohane dan Nye mencoba membangun paradigma baru dalam pola relasi para aktor dalam politik international, mereka mencoba menggeser paradigma realisme yang menjadikan negara dalam kondisi state of war menjadi pola relasi yang lebih memiliki banyak kemungkinan diluar kemungkinan konflik dan perang. Keohane dan Nye mencoba menjelaskan kemungkinan adanya dependence dan interdependence antara para aktor dikarenakan perbedaan power dan resources. Paradigma baru ini menggeser cara pandang realisme yang tidak memungkinkan adanya interaksi antara aktor melainkan dalam pendekatan military power. Dengan adanya paradigma interdependence, munculnya pola-pola relasi antara aktor yang less-conflict dapat diwujudkan sebagai cara pandang baru dalam melihat relasi antar negara.
Referensi
Baldwin, David A., ‘Interdependence and Power: a Conceptual Analysis’,dalam ‘International Organization’Vol. 34.4, (Wisconsin : University of Wisconsin, Autumn 1980)
Burchill, Scott, Andrew Linklater, ‘Theories Of International Relations, Fourth Edition, (New York : Palgrave Macmillan)
Isiksal, Hüseyin, ‘To What Extend Complex Interdependence Theorists Challenge to Structural Realist School of International Relations?’, dalam ‘Alternatives: Turkish Journal of International Relations’, (Turkey : Vol.3, No.2&3Summer&Fall, 2004)
Keohane, Robert, Joseph Nye, Chapter I ‘Interdependence in World Politics’, dalam ‘Power and Interdependence’3rd Edition, (New York : Longman Publishing, 2001)
Mansfield, Edward D., Brian M. Pollins, ‘Interdependence and Conflict: An Introduction’, dalam ‘Economic Interdependence and International Conflict’
Viotti, Paul R., Mark V. Kauppi, ‘International Relations Theory, Fourth Edition, (New York : Pearson, 2010)
Waltz, Kenneth, ‘Theory Of International Politics’, First Edition, (McGraw-Hill, 1979)
[1] Robert Keohane and Joseph Nye, Chapter I ‘Interdependence in World Politics’, dalam ‘Power and Interdependence’3rd Edition, (New York : Longman Publishing, 2001), hal 7
[2] Robert Keohane and Joseph Nye, Chapter I ‘Interdependence in World Politics’, dalam ‘Power and Interdependence’3rd Edition, (New York : Longman Publishing, 2001), hal 8
[3] Robert Keohane and Joseph Nye, Chapter I ‘Interdependence in World Politics’, dalam ‘Power and Interdependence’3rd Edition, (New York : Longman Publishing, 2001), hal 10
[4] Robert Keohane and Joseph Nye, Chapter I ‘Interdependence in World Politics’, dalam ‘Power and Interdependence’3rd Edition, (New York : Longman Publishing, 2001), hal 10
[5] Robert Keohane and Joseph Nye, Chapter I ‘Interdependence in World Politics’, dalam ‘Power and Interdependence’3rd Edition, (New York : Longman Publishing, 2001), hal 11
[6] Hüseyin Isiksal, ‘To What Extend Complex Interdependence Theorists Challenge to Structural Realist School of International Relations?’, dalam ‘Alternatives: Turkish Journal of International Relations’, (Turkey : Vol.3, No.2&3Summer&Fall, 2004), hal 139-140
[7] David A. Baldwin, ‘Interdependence and Power: a Conceptual Analysis’,dalam ‘International Organization’ Vol. 34.4, (Wisconsin : University of Wisconsin, Autumn 1980), hal 485
[8] Edward D. Mansfield and Brian M. Pollins, ‘Interdependence and Conflict: An Introduction’, dalam ‘Economic Interdependence and International Conflict’, hal 10-11
[9] Hüseyin Isiksal, ‘To What Extend Complex Interdependence Theorists Challenge to Structural Realist School of International Relations?’, dalam ‘Alternatives: Turkish Journal of International Relations’, (Turkey : Vol.3, No.2&3Summer&Fall, 2004), hal 139-140
[10] Markus Fischer, ‘Machiavelli’s Theory Of Foreign Politics’, dalam Benjamin Frankel, (1996), Roots Of Realism, (London : Frank Cass, 1996), hal 252
[11] Robert Keohane and Joseph Nye, Chapter I ‘Interdependence in World Politics’, dalam ‘Power and Interdependence’3rd Edition, (New York : Longman Publishing, 2001), hal 7
[12] Kenneth Waltz,‘Theory Of International Politics’, First Edition, (McGraw-Hill, 1979)
[13] Edward D. Mansfield and Brian M. Pollins, ‘Interdependence and Conflict: An Introduction’, dalam ‘Economic Interdependence and International Conflict’, hal 10-11