Mohon tunggu...
KOMENTAR
Analisis Pilihan

Berkaca dari Pilkada Simalungun 2015

11 Agustus 2020   20:07 Diperbarui: 11 Agustus 2020   20:07 546 4
Suhu politik di Kabupaten Simalungun semakin panas. Saya merasakannya dari kejauhan. Mengharapkan Pilkada Simalungun 2020 akan bersih dari segala politik uang (vote buying) adalah sebuah keniscayaan. Tapi angka kemiskinan di Simalungun mencapai 10% dari jumlah penduduknya, yang katakan saja 863.693 jiwa (BPS 2018). Artinya sekitar 86.000 penduduk Simalungun adalah miskin yang penghasilannya dibawah Rp.342.477 perbulan.

Juga angka itu bisa bertambah setelah Indonesia dipukul Pandemi Covid-19 dalam 5 bulan terakhir yang juga berdampak pada statistik kemiskinan di Kabupaten Simalungun.

Asumsi paling dasar dalah tingkat politik uang selalu linear atau berbanding lurus dengan tingkat kemiskinan di sebuah wilayah. Semakin miskin sebuah wilayah maka akan semakin tinggi potensi politik uang di kawasan tersebut.

Teori ini sangat dasar dalam pemetaan kampanye politik. Anda mungkin punya proposal kampanye dengan visi, misi dan program bagus. Tapi ujiannya tetap pada keterpilihan di TPS dengan melibatkan faktor ekonomi masyarakat didalamnya.

Melanjutkan analisa yang sempat tertunda kemarin, saya akan melanjutkannya kembali. Kebetulan saya sedang punya waktu luang untuk sekadar menulis tentang kampung halaman saya.

Masih mengutip Edward Aspinall (2017) tentang vote buying dan budaya patronase di perpolitikan Indonesia. Pemberian hadiah di pemilihan adalah sesuatu yang amat lumrah. Bukan hanya soal materi atau uang, tapi juga pemberian jabatan strategis pasca pemilihan.

Terdapatnya pialang suara sudah seperti menjadi kebutuhan untuk mengelola kampanye darat yang secara teknis menjadi sasaran utama pemilihan.

Pada struktur yang lebih terorganisir, para pialang ditugaskan dengan sistem terbatas. Masing-masing diantaranya adalah keluarga, kerabat, jaringan bisnis atau internal kader partai.

Dari situ tim dibentuk menjadi dua kelompok, satu tim inti (terbatas) dan kedua tim bebas yang mampu mengakses pemilih. Tujuannya adalah prefensi pemilih, pemetaan, analisa informasi dan menjalankan politik uang.

Tak jarang, bagi yang punya akses ke kekuasaan. Oknum kepala desa, camat hingga ASN terlibat sebagai operatornya. Pada teori politik, ini bagian dari klientalisme yang tujuannya terlibat dalam pemilihan karena alasan karir di birokrasi dan terlibat keterikatan dengan kandidat.

Pun soal pengkhianatan di jaringan kampanye itu sangat biasa. Lebih lanjut Aspinall (2017) mengilustrasikan dengan contoh. Misalnya : Tim Inti menyediakan dana 10 juta rupiah untuk 100 orang pemilih. Artinya setiap pemilih dianggarkan uang sebesar 100.000 per suara, tapi output suara hanya 25 orang (25%).

Mengapa demikian?  penyebabnya : pertama : Uang yang diberikan ke pemilih hanya 50.000 dan ditimpa jumlahnya oleh kandidat lain. Kedua, uang yang disediakan memang tidak didistribusikan ke calon pemilih.

Sebelum lebih lanjut ke teknis-teknis vote buying, ada baiknya kita mengingat-ingat apa yang terjadi di Pilkada Simalungun 2015 lalu.

Pasangan JR Saragih-Amran Sinaga jelas adalah kandidat yang sejak awal kemunculannya di Pilkada 2015 diprediksi akan menang. Alasannya, selain memang berstatus petahana dan keyakinan pemilih pasangan ini dibasis-basis suara yang mayoritas adalah orang-orang bersuku Simalungun sedang tinggi-tingginya.

Utamanya di Wilayah Simalungun Atas. Adapun Simalungun selama ini terkluster menjadi dua Wilayah Besar yaitu Simalungun Atas dan Simalungun Bawah.

Lihat saja angka-angkanya, mayoritas daerah-daerah di Simalungum Atas dikuasi semua oleh JR Saragih-Amran Sinaga dengan margin suara kemenangan 55-75%. Seperti : Kecamatan Raya dari 17.224 orang yang menggunakan hak pilihnya Pasangan JR Saragih-Amran Sinaga meraih 15.071 suara. Kecamatan Raya Kahean dari 8.301 yang datang ke TPS pasangan ini meraih 4.346 suara. Lalu, Kecamatan Purba dari 9.754 pemilih di TPS pasangan ini meraih 6.783 suara.

Lebih lanjut, Kecamatan Silou Kahean dari 8.133 pemilih meraih 4.133 suara. Kecamatan Haranggaol Horison dari 2.595 pemilih Pasangan JR Saragih-Amran Sinaga meraih 1.173 suara. Kemudian, Kecamatan Dolok Silau dari 7.033 pemilih pasangan JR Saragih-Amran Sinaga meraih 5.443.

Secara elektoral memang wilayah-wilayah Simalungun Atas bukan basis-basis suara di Kabupaten Simalungun. Alasannya adalah jumlah pemilih yang tidak sebesar di Kawasan Simalungun Bawah yaitu Kecamatan Bandar yang punya DPT sebesar 57.077 pemilih, Kecamatan Bandar Huluan yang punya 20.059 pemilih, Kecamatan Bosar Maligas yang punya 30.508 pemilih atau Kecamatan Dolok Batu Naggar yang punya DPT sebesar 29.979 pemilih.

Namun, kemenangan JR Saragih-Amran Sinaga juga dipengaruhi soal kemampuan pasangan ini memecah suara para penantangnya di basis-basis suara Simalungun Bawah.

Waktu itu terjadi kejutan distribusi suara di wilayah Simalungun Bawah. Sejatinya pasangan Evra Damanik-Sugito atau Nuriaty-Posman Simarmata yang sempat diunggulkan akan meraup suara di Wilayah Simalungun Bawah dengan alasan demografi berpenduduk mayoritas Islam dan bersuku Jawa.

Berbalik arah dengan dominasi Pasangan Tumpak Siregar-Irwansyah Damanik yang memenangkan hampir seluruh kawasan Simalungun Bawah : Kecamatan Bandar,Kecamatan, Bandar Huluan, Kecamatan Bandar Marsilam hingga Kecamatan Bosar Maligas.

Suara Pasangan Tumpak Siregar-Irwansyah pun terbilang unggul tipis diantara pasangan  Evra Damanik-Sugito dan Nuriaty Damanik-Posman Simarmata.

Disusul oleh pasangan JR Saragih-Amran Sinaga yang tetap meraup suara di Simalungun Bawah. Meski berada di posisi 3 atau 4 dari 5 pasangan calon yang bertarung di Pilkada Simalungun. Tapi tetap selisihnya tidak banyak dengan urutan sebelumnya.

Pertarungan yang amat menentukan sebenarnya ada di wilayah-wilayah yang selama ini kerap kurang dipetakan dan kurang populis di media.

Saya menyebutkan saja dengan istilah "Wilayah Simalungun Tengah" seperti: Kecamatan Hantonduhan, Kecamatan Tanah Jawa, Kecamatan Siantar, Kecamatan Dolok Pardamean dan Kecamatan Girsang Sipangan Bolon.

Kawasan Simalungun Tengah ini lebih moderat, karena merupakan wilayah campuran Etnis Simalungun, Toba, Jawa dan Melayu. Seperti di Pilkada di 2015, Wilayah Simalungun Tengah ini bisa jadi menjadi faktor kunci di Pilkada Simalungun 2020.

Dari survei tampak pula variabel yang menegaskan Simalungun Tengah ini dalam memengaruhi elektoral di Kabupaten Simalungun.

Dari banyak riset dan survei menyebutkan bahwa, sejarah Pilkada di Simalungun ditentukan oleh tiga variabel penting.

Pertama, variabel sosiologis/primordial seperti kesamaan latarbelakang suku dan agama.

"Anggo lang hita, ise use (kalau bukan kita, siapa lagi)" adalah narasi yang kerap keluar dalam Pilkada Simalungun 2015.

Framing suku dan framing agama menjadi faktor penting keterpilihan kandidat. Utamanya Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) yang mungkin sebentar lagi akan rutin dikunjungi oleh kandidat. Ini lumrah.

Kedua, variabel kepribadian yang dilandaskan suka atau tidak suka. Ketika menyebut nama Anton Saragih di Pilkada 2020 ini, orang akan mengingatkan pada sosok JR Saragih karena framing yang terbangun mereka adalah saudara. Memang demikian adanya.

Lihat saja tim dari Radiapo Sinaga dan tim dari Wagner Damanik yang rutin mengkritik JR Saragih. Situasi ini mirip dengan Kampanye Pilkada Simalungun 2015, ketika Tim Tumpak Siregar, Tim Nuriyati Damanik dan Tim dari Evra Damanik rutin melakukan serangan ke Petahana JR Saragih waktu itu.

Efeknya jelas sangat baik bagi JR Saragih karena serangan ketika kampanye semakin mengkristalkan dukungan pada pasangan JR Saragih-Amran Sinaga. Efek bola salju dukungan pada pasangan JR Saragih-Amran Sinaga justru mucul ketika mereka diserang. JR Saragih waktu itu cerdas, ia menangis di publik dan pemilih banyak prihatin padanya.

Ketiga, variabel rasional seperti persepsi mengenai kemampuan calon dan kinerja petahana. Pada Pilkada Simalungun 2015, Wilayah Simalungun Atas dikunci secara elektoral oleh JR Saragih dengan kampanye pembangunan jalan yang telah diperbuatnya selama periode 2010-2015. Meski demikian, ia tidak melepas seutuhnya Simalungun Bawah karena dia butuh tambahan suara dalam melengkapi kemenangan di Simalungun Atas dan beberapa kecamatan di Simalungun Tengah.

Pilkada Simalungun 2015 yang diikuti oleh lima kandidat berpeluang kembali terjadi di Pilkada 2020 dengan lima kandidat pula. Variebel tambahan, yang selalu tidak muncul dalam teori adalah soal politik uang dan penyalahgunaan kekuasaan pada ASN.

Pasangan Anton Saragih-Rospita Sitorus tentu memiliki kredit tersendiri untuk peluang elektoralnya. Selain punya akses ke Bupati JR Saragih, pasangan ini sudah populer duluan melalui serangan tim pasangan lain di udara melalui media sosial.

Meskipun jika dilakukan survei saat ini engagementnya masih negatif, tapi soal popularitas justru pasangan ini secara tak langsung dikampanyekan oleh tim rival.

Pada pengertian yang seserhana, Engagement (keterlibatan) dalam setiap wacana publik. Dimana cara kerjanya melibatkan audiens para pengguna media sosial. Tentu efek dari engagement ini adalah tingkat penerimaan masyarakat.

Tapi sekali lagi, di awal kampanye, kandidat tidak mencari aksepsibilitas (penerimaan) tapi popularitas.

Saya membaca setiap data engagement di media sosial terkait Pilkada Simalungun 2020 dan membandingkannya dengan Pilkada Simalungun 2015 lalu.

Ada beberapa persamaan dan ada beberapa hal yang baru, utamanya tahun ini tidak melibatkan petahana.

Soal data engagement tersebut tentu saya tidak akan buka semua disini. Sebab, ada beberapa poin krusial terkait reaksi yang muncul yang datanya akan saya jadikan dan akan saya tulis dalam bentuk jurnal ilmiah.

Membaca peta Pilkada Simalungun 2020 ini sangat menarik, tentu saja kita tidak bisa begitu saja melepaskannya dengan fenomena Pilkada Simungun 2005, 2010 dan 2015.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun