Dua minggu berlalu, tiba waktu acara duta resmi. Rumahku seketika ramai dengan keluarga besar ayah dan ibu, ada yang menyapu halaman, memasang tenda dan mengatur kursi.
Di dapur, perempuan sibuk membuat konsumsi, memasak ketupat, opor ayam, membuat kue dan meracik minuman es buah4.
Di ruang tamu, mejaoshin5 ditata sedemikian rupa membentuk huruf ‘U’ beralaskan tikar permadani dan di atasnya diletakkan bossara6, cangkir-cangkir dengan tatakannya, beberapa teko berisi teh dan kopi serta beberapa bungkus rokok dan korek api. Semua ditata dengan rapi dan indah dipandang mata untuk membuat tamu merasa nyaman dan membawa kesan baik ketika pulang ke kampungnya.
Aku? Saat ini aku di kamar dengan beberapa orang gadis yang cantik-cantik. Mereka sepupu-sepupuku. Lia, Nita, Ratih dan Misna.
Aku? Sekarang aku didandani oleh mereka yang berubah laiknya penata rias profesional, aku pasrah saja menurut apa yang mereka lakukan. Mereka, adik sepupuku itu masing-masing membawa alat kosmetiknya, itupun setelah tahu aku tidak punya alat kecantikan yang beraneka rupa itu. Bahkan seperti hendak memberikan surprise, aku dirias dengan membelakangi cermin.
Untuk bersolek, di kamarku hanya ada sebuah cermin yang tergantung di dinding dekat meja kerjaku, tanpa meja rias. Cermin berukuran besar yang bisa memajang seluruh badanku, tempatku mematut wajah sebelum berangkat sekolah atau jika mau kekondangan.
Aku bukanlah tipe gadis yang suka dandan, selain merapikan rambut dengan sisir dan menutupnya dengan jilbab, aku senangnya tampil dengan polesan bedak tipis saja. Lipstik menjadi barang yang jarang menyentuh bibirku,pensil alis, maskara dan perona pipi bahkan tak pernah kenal dengan wajahku. Padahal alat kosmetik seperti itu bisa dengan mudah aku peroleh, sebagai anak tunggal dan boleh dibilang orangtua hidup berkecukupan, ditambah penghasilanku sebagai pegawai negeri tentu tidaklah susah bagiku untuk membeli alat kecantikan yang bermerek untuk mengubah penampilanku.
Tapi tidak denganku, sebab aku senangnya tampil alami saja, kata orang terlihat natural. “Cuma satu yang membuatku tertarik dengan Fitri. Cantiknya itu alami tanpa polesan.” Kata seorang teman di sekolah pada suatu hari saat menyampaikan salam seorang lelaki yang katanya ingin kenalan. Dan sebagaimana yang sudah-sudah terkirim pula salam balik tanpa embel-embel memberi ‘harapan’, lalu pada akhirnya tidak ada umpan balik lagi.
Pada saat ke kota, aku lebih suka berbelanja pakaian ketimbang peralatan make up, sekali waktu mengganti hp yang lama dengan hp keluaran terbaru, ataupun membeli buku-buku terutama yang berhubungan dengan ilmu fisika sebagai bidang studi keahlianku.
Ayah ibu pun lebih memanjakan aku dengan kendaraan daripada mengurus kebutuhan akan kecantikanku, sebuah motor Mio putih dan sebuah mobil Yaris berwarna merah menjadi bukti itu. Meski begitu, aku lebih suka naik motor ke sekolah saja dan ayah yang lebih sering memakai mobil itu. Oh ya, merah putih memang menjadi warna yang tak terpisahkan dari hidupku, dari kecil aku sudah menyukai dua warna ini dan terbawa sampai sekarang.
Ayah ibu juga tentu sudah paham akan aura yang terpancar dari dalam diri anaknya, cantik alami yang telah membuat banyak jejaka terluka, tiada terhitung kumbang yang meradang. Tetapi itu dulu saat bunga masih wangi merekah, dan sekarang diriku yang ‘terlanjur’ kesepian ini akan membiarkan ada lagi yang memuja, tapi cukuplah seorang saja, yang mungkin dalam waktu dekat kan menjadi raja di sisiku.
***
“Waaah, ck ck ck… Kak Fitri benar-benar sudah jadi seorang putri cantik!” Seru Misna yang diamini oleh yang lain. Misna menggeser kursinya dan duduk di sampingku sambil melirik ke cerminmemberi isyarat agar aku berbalik menghadap cermin.
Aku tersenyum dan menggeleng bepura-pura tidak mau berbalik, aku menggodanya. Ada kebahagiaan tersendiri saat berkumpul dengan mereka sepupuku yang selama ini sangat segan denganku, dan hari ini adik-adikku ‘nekad’ menggoda. Aku diam saja, sepertinya mereka senang dan ikut bahagia bisa berakrab ria denganku.
Mana berani mereka bilang aku jelek, hehe. Akupun memutar kursiku melihat diriku di cermin dan kompak adik sepupuku kembali memuji. “Eng ing eng… kakak semakin cantik saja, kalah kita.” Nita ikut memuji. “Iya.’’ Lia dan Ratih serempak. Sekejap aku mendelik terkesima melihat wajahku.
Wah, mereka benar-benar membuat wajahku semakin bercahaya. Kulit muka yang putih semakin cerah. Bibir tipis dipoles tipis warna senada nampak basah. Alis dan bulu mata semakin menawan. Dan tetap terkesan alami alias tidak menor. Aku yang biasanya memakai jilbab tinggal pasang saja, atau sekedar melingkarkan ujungnya ke bahu, kini memakai jilbabnya agak lama, ditata sedemikian rupa. Entah bagaimana cara mereka melakukannya, jilbab merah marun yang kupakai nampak elegan dan terlihat mewah. Selain memuji diriku sendiri, ada dua kata untuk mengapresiasi adik sepupuku , hebat dan sempurna.
Kembali aku melirik ke cermin. Aku hanya bisa tersenyum. Benar kata mereka, aku memang cantik, bak seorang bidadari yang sebentar lagi akan menghadiri perjamuan di taman surgaloka yang indah. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, tampak senyum adik-adikku mengembang memperlihatkan gigi-gigi mereka, “terima kasih ya adik-adik cantik, kalian memang hebat.” Mereka mengangguk-angguk senang, puas dengan hasil kerjanya.
***
Sekira pukul 10.30 siang, tamu yang ditunggu akhirnya datang juga, rombongan itu berjumlah lima belas orang mewakili keluarga Pak Lukman. Mereka disambut oleh Ayah dan Ibu beserta keluarga besarku. Sebagaimana lazimnya perempuan yang dilamar, aku menanti di kamar saja ditemani oleh Ratih, Lia, dan Tante Caya. Tante Caya ini istrinya Om Ambo yang masuk ke kamar setelah ikut menyambut tamu tadi. Misna dan Nita ikut membantu melayani acara di ruang tamu.
Tidak lama kemudian, terdengar melalui pengeras suara Kak Fahmi sebagai protokol membuka acara :
…Assalaamu ‘Alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh, marilah kita sebagai hamba Allah yang beriman untuk tiada henti-hentinya memanjatkan syukur atas berbagai karunia, limpahan nikmat yang telah dicurahkan kepada kita. Teristimewa di pagi hari nan cerah ini, keluarga kami telah kedatangan tamu yang istimewa pula, datangnya dari jauh membawa kabar yang baik dengan maksud dan niat yang suci ingin mempersatukan dua insan, menghimpun dua rumpun keluarga, Andi Firmansyah bin Lukman yang akan mempersunting salah seorang putri di keluarga kami Fitri Gau binti Abdul Rahman.Untuk itu atas nama keluarga besar Bapak Abdul Rahman dan Ibu Nur Halimah mengucapkan selamat datang kepada keluarga besar pihak laki-laki di kediaman kami…
Kami yang di dalam kamar, tenang dalam diam menciptakan hening larut dalam acara yang sedang dimulai di luar sana.
…Hadirin dan hadirat yang dimuliakan Allah...
Kembali terdengar suara Kak Fahmi.
…Membangun mahligai rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah adalah impian setiap umat manusia.Untuk mewujudkannya diperlukan keteguhan hati dan kemantapan jiwa.Keduahal itulah yang menjadikan sebuah pernikahan sebagai suatu momen yang suci dan sakral. Tetapi sebelum kita menapaki prosesi pernikahan ada beberapa tahapan yang harus dilalui berdasarkan syariat dan tak terlepas dari adat dan kebiasaan kita.Berlandaskan itulah, maka pada hari ini kedua keluargaakan bermusyawarah membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan prosesi inti nanti…
MUSYAWARAH…
***
Di kamarku, kami berempat ikut menanti perundingan di ruang tamu. Sebuah kipas angin membuat suasana kamar menjelang siang itu terasa lebih adem. Tante Caya duduk bersila di lantai dan terlihat asyik ngemil kacang goreng asin, sesekali mengisap telunjuknya yang mungkin terasa asin karena serbuk garam halus yang menempel di jarinya itu. Ratih dan Lia yang duduk di samping kiri kananku, masing-masing sibuk berBBM dengan Blackberrynya. Kami duduknya di tempat tidur berseprei warna putih itu.
Aku diam-diam saja, rasanya juga agak susah bergerak dengan busana yang aku kenakan ini, lebih memilih duduk manis sambil berfikir dan membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini. Bagaimana pernikahan, suasana pesta nanti, betapa kebahagiaan akan melingkupi saat duduk bersanding sebagai mempelai. Pada saat itu silih berganti ucapan selamat dari keluarga dan sahabat, dan sebagai balasan tentunya ucapan terima kasih tak terhingga dariku dan suami. Hmm.
Angan-anganku itu buyar seketika oleh sentuhan Lia di bahuku, “mmm, jadi namanya Andi Firmansyah tohh?” Mulut Lia membulat persis huruf ‘o’ saat menyebut kata ‘tohh’.
“Akhh… Kamu!” Aku menatap Lia dengan sedikit kaget.
Sambil beringsut lebih dekat ke sampingku Lia berujar, “kaget ya? Kak Fitri menghayal ya? Yeee…” Lia mulai menggoda lagi.
“Eh… Kak Fit, Kak Fahmi bilang waktu assuro kemarin itu, Ibu ada dikasih foto ya? Lihat dong, Kak…”
“Hmm… jangan ah, nanti juga bakalan kamu lihat!”
“Sebentar saja Kak !” Lia membujuk.
“Iya Kak, sebentar saja. Liat dong !” Celetuk Ratih pula menghentikan aktivitasnya.
Aku luluh juga akhirnya,“lihat sana di laptop!” Sambil menunjuk ke arah meja belajar.
“Cie… cieee… Sudah simpan di laptop rupanya?” Kali ini Ratih yang menggoda dan tak ayal membuatku malu, akupun tersenyum tersipu.Ya, foto itu memang sudah aku scanning dan menyimpannya di laptop. Ratih berdiri menuju meja di mana laptop itu berada, mengambil laptop dan kembali ke tempatnya semula. Lia juga berpindah duduk ke samping Ratih.
Tapi baru saja Ratih hendak membuka laptop itu, tanganku cepat mencegahnya. “Ups tunggu dulu, kemarikan laptopnya!” Ratih menurut dan menyerahkan laptop itu ke tanganku dengan mimik keheranan. Dengan sangat terpaksa, akhirnya aku berdiri menyimpan laptop itu di laci meja dan mengambil sebuah hp di laci yang lain. Kusempatkan berdiri depan cermin melihat penampilanku, tersenyum dan kembali duduk.
“Nih, lihat yang di hp saja!” Aku menyodorkan smartphone Samsung Galaxy S5 itu ke Ratih yang belum juga hilang rasa herannya gegara aku tak membiarkannya membuka laptop. Aku tersenyum melihat muka adikku yang sepertinya masih penasaran itu.
“Wah-wah-wah, sampai disimpan di hp segala, kayaknya ada dimana-mana nih… segit…mpp !” Seru Lia tertahan menutup mulutnya tidak jadi meneruskan kalimatnya sesaat setelah melihatku menempelkan telunjuk di bibir. Aku tak ingin mereka heboh di sini.
Tapi kehebohan itu rupanya terjadi juga sesaat setelah Ratih dan Lia melihat foto itu di gallery hpku. “wooow, keren abis Kak, tidak salah nih ayah dan ibu milih menantu!” Ratih angkat bicara dan tak lagi keheranan seperti tadi, berubah menjadi ekspresi senang yang kuanggap berlebihan.
“Wah, calon iparku serasi benar dengan Kakak!” Lia menambahkan dan tak urung mengusik Tante Caya yang terus bangkit dari duduknya mendekati dua anak gadis itu turut menyaksikan gambar itu.
“Sst… sstt… sudah jangan ribut, tuh dengar acara sudah dimulai lagi.” Dari ruang tamu memang terdengar lagi suara Kak Fahmi membacakan hasil keputusan sidang dua keluarga itu.
***
Akhirnya rangkaian acara demi acara berlangsung, yang pada intinya prosesi duta resmi ini adalah selain menyampaikan pinangan secara resmi yang disampaikan di depan keluarga besar pihak perempuan, ada beberapa hal yang prinsipil dalam sebuah acara pernikahan seperti sunrang7 berupa apa, berapa uang panai8, banyaknya erang-erang9, pakaian pengantin dan penentuan hari pernikahan.
Sampailah pada puncak acara duta resmi, yaitu pemasangan cincin passekko’10, pemasangan cincin ini dilaksanakan di kamarku yang dilakukan oleh seorang ibu yang dituakan atau yang mewakili ibu-ibu dari keluarga pihak laki-laki.
Cincin yang disematkan ini adalah cincin pengikat, sebagai pertanda aku sudah terikat dan wajib untuk tidak menerima pinangan yang lain sebagaimana menjadi tabu pula seorang lelaki melamar seorang perempuan yang sudah terlamar.
Selepas acara pemasangan cincin itu maka selesailah pula rangkaian prosesi duta resmi hari itu, akupun diperbolehkan keluar menemui keluarga Pak Lukman yang sudah menunggu di ruang tamu. Aku duduk di tempat yang sudah disediakan sembari menemani tamu mencicipi hidangan makan siang.Risih juga dibuatnya, sesekali harus melempar senyum saat bertatapan atau disapa oleh orang-orang di sana. Entah aku jadi malu untuk bersuara, cukuplah senyumku yang mewakili itu.
Baru saja para undangan selesai makan, Lia dan Ratih tampak keluar dari kamar dan terus mendekatiku. Ratih memberikan hpku dan membisikkan sesuatu, “Kak Fit, ada sms tapi no name, kami tak berani membukanya.”
Aku perlahan membuka hp dan membaca pesan yang masuk. Sebaris pesan yang nyaris membuatku teriak.selamat yah… tapi aku tak sudi dia jadi milikmu…
Plaakkk. Serasa ditampar dan bahkan aku merasa wajahku memerah seketika itu juga. Dengan cepat aku menguasai perasaan, segera kututup layar hp dan menyimpannya di dekatku tidak lagi kuberikan pada Ratih.
Kuberi isyarat agar mereka masuk saja, walau naluriku menangkap di wajah mereka bahwa Lia dan Ratih seperti tahu ada yang tidak beres pada pesan tak bernama itu.
Aku bersyukur kalo adik-adikku meski usil dan cerewet, tapi tetap menghargaiku dengan tidak lancang membaca pesan itu. Aku juga tetap berprasangka baik, berharap sms itu hanyalah kerjaan orang iseng.
Saat jam menunjukkan pukul 13.20 WITA, para tamu pamit diri. Tentunya dengan membawa beberapa catatan hasil duta resmi tadi. Aku mencoba bersikap wajar dan bergabung bersama ayah, ibu dan keluarga yang lain melepas kepergian keluarga Pak Lukman, keluarga Andi Firmansyah.
***