Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Pilihan

[Cerbung] Bunga-bunga Toleransi #2

27 Desember 2014   10:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:22 92 4
Cerita Sebelumnya : Bunga-bunga Toleransi #1 ________________________________

Begitulah, Deni dan Tapa ‘memaksa’ ingin membantu mengerjakan skripsiku. Sebenarnya uluran tangan mereka adalah untuk kali ke sekian terkait urusan skripsi ini. Lebih tepatnya membantu mengetik, konsepnya aku sendiri yang buat. Tetapi, sedikit banyak ada juga sih sumbangsih pemikiran dari mereka, itu juga karena latar belakang keilmuan kami sama, hanya beda jurusan saja.Apalagi Deni jagonya mengolah data statistika, jadilah aku banyak bergantung sama Deni jika sudah menyangkut rumus-rumus dan berhitung.

Sejak awal pengerjaan skripsi dan pelaksanaan penelitian, ketiga sahabat ini memang sudah banyak menolong.Meskipun mereka itu tanpa pamrih, tapi sudah menjadi kebiasaan mereka mendapatkan ‘imbalan’ dariku, apakah itu traktir makan, beli rokok, atau sekedar transfer pulsa.

Akhirnya urusan pengetikan skripsi itu deal juga.Kamibertiga masuk ke dalam rumah, aku ke kamar mengambil laptop, naskah skripsi, beberapa buah buku dan setumpuk kertas berukuran A4.Deni dan Tapa bersiap-siap di depan komputer yang ada di ruang tengah, tempat yang menjadi ruang belajar kami.

Aku kemudian memperlihatkan beberapa coretan yang harus diperbaiki, rujukan literatur dan beberapa hal yang penting, selanjutnya aku berlalu dari tempat itu menuju warung depan rumah untuk belanja kebutuhan begadang Deni dan Tapa malam ini. Dua bungkus Marlboro, tiga botol Aqua besar, dua kotak biskuit Tango dan dua bungkus kacang disko2 siap dibawa pulang sesuai pesanan.Tidak ada pesanan kopi, rupanya Tapa ada persediaan air mineral di kamarnya dan sudah bikin kopi buat kami bertiga.

***

Setelah memastikan semua motor sudah masuk garasi dan pintu-pintu telah terkunci, aku menghampiri Deni dan Tapa yang begitu serius dengan ketikannya. Mereka bekerja berisik sekali, Tapa membaca dan Deni yang mengetik. “Senangnya punya teman-teman yang baik seperti kalian, rela begadang demi menolong seorang teman…” Ucapku seraya meletakkan belanjaan di sebuah kursi dekat mereka duduk.

“Tenang saja Bro, suatu saat kamu juga pasti akan membantu kami seperti ini… hehehe.” Tapa yang berkomentar. “Tapi kapan Bro… kalau kalian asyik saja pacaran, lihat tuh si Jidon… meski dia dekat dengan Widya tapi kuliahnya aman-aman saja, malah sebentar lagi juga bakalan menyusun skripsi…” Sindirku. Rupanya kalimatku tepat sasaran. Terlihat Deni tertegun sejenak menghentikan ketikannya sementara Tapa hanya cengengesan lalu menyeruput kopinya.

Aku sih sebenarnya heran juga, kok ya anak-anak pintar seperti Tapa dan Deni ini, lebih memilih bikin skripsi orang ketimbang urus diri sendiri. Meskipun itu bagus untukku, sebab ada yang meringankan pekerjaanku, tapi aku berharap sebenarnya bisa wisuda bersamaan dengan mereka. Ahh, mereka bukan anak kecil lagi kok… ada saatnya nanti juga mereka sadar.

“Biarlah kamu duluan saja Bro, kami menyusul… kan gak enak, mendahului Bos… hehehe…” ucap Deni santai, mengangkat sedikit pantatnya yang mungkin sudah penat lalu duduk kembali. Aku hanya geleng-geleng kepala, “okelah kalau begitu, selamat begadang saja… oh ya, buat kalian berdua kalau belum tidur sampai pagi, ingat si Jidon… dia ada final test pagi-pagi, Bosmu pamit duluan ya, daa!” tanpa menunggu komentar mereka aku berlalu dari ruangan itu menuju kamar tidurku.

***

Udara Makassar malam ini benar-benar panas, biasanya ini menjadi pertanda bakal turun hujan deras.Hembusan angin yang sejatinya melaju kencang seperti tak mampu menembus tembok-tembok tebal pemukiman yang rapat berjejal di kompleks tempat tinggal kami. Maka jadilah angin yang sampai ke rumah kami sekedar mengecup mesra tirai jendela saja, bahkan untuk menyibakkannya sangat terlihat payah. Hawa panas ini sepertinya tidak akan lama, sebab guntur sudah menggelegar, gerah segera akan berganti dengan kesejukan seiring dengan turunnya hujan yang sebentar lagi tumpah dari langit.

Hujan? Benar saja. Titik-titik airnya mulai terdengar berjatuhan satu-satu menimpa atap, semakin lama semakin deras hingga suara anak-anak yang riuh di ruang tengah itu sama sekali tak terdengar lagi, tenggelam di kebisingan hujan. Hawa basahpun mulai menerpa kulit menghadirkan rasa dingin yang membuatku terpaksa menarik selimut. Kupejamkan mata mencoba untuk tidur.

Tidur? Ah, berat rasanya mata ini mengatup. Bisa jadi karena kopi buatan Tapa, padahal tubuh ini lelahnya bukan main setelah seharian tadi menghabiskan waktu menyambung puluhan atau mungkin ratusan tangkai Adenium3 di kebun Kampus. Begitulah kesibukanku akhir-akhir ini, bergelut dengan aneka bunga sejak usai penelitian beberapa bulan lalu. Itu juga setelah mendapat restu dari Dekan fakultas yang ‘memberikan’ sebagian lahan milik Fakultas Pertanian untuk kegiatan tersebut.Hitung-hitung jadi ajang bisnis kecil-kecilan mahasiswa yang tergabung di Koperasi Mahasiswa Pertanian dan bisa juga untuk riset teman-teman yang berhubungan dengan tanaman hias.

***

Dalam upaya memejamkan mata ini, aku berterima kasih dan mengucap syukur pada Allah karena dengan kehendak-Nya jualah aku diberi sahabat-sahabat yang baik. Kami sudah bersahabat cukup lama. Dulu kami tinggal satu kost di dekat kampus bersebelahan dengan Aspuri tempat tinggal Lilis alias Ni Luh Liliswati dan Nanik Jingga yang akrab disapa Nanik. Tetapi karena suasana kost yang terlalu sumpek dan pengap, kami sepakat untuk cari rumah kontrakan saja yang dekat dengan kampus.

Ada kejadian lucu saat kami mau pindah, soalnya waktu itu Nanik menangis seakan hendak berpisah lama dengan Deni. Namun, setelah hampir semua penghuni kost tertawa melihatnya, Nanik tersipu malu, kemudian ia diam dan pasrah merelakan kami.

Ya begitulah, di antara kami berempat yang menghuni rumah kontrakan ini, hanya aku yang tidak punya pacar. Malah gara-gara itu, aku sering diolok-olok mereka dengan julukan jomblo. Melekatlah panggilan ‘mblo’ dari singkatan jomblo itu. Panggilan itu  kami anggap bahan bercanda saja. Selebihnya mereka banyak memanggilku dengan menyebut ‘bro’ atau ‘bos’.

Akupun menganggap candaan itu sebagai angin lalu saja, tak pernah menyimpannya di hati. Selain karena mereka itu teman (kami semua satu Fakultas di Unhas, cuma jurusan yang berbeda. Aku dan Wayan Sutapa yang lebih akrab dengan sapaan Tapa di jurusan Budidaya, sedangkan Gideon Lamalama alias Jidon dan Deni Akmal alis Deni di Jurusan Ilmu tanah) juga mereka tak ubahnya seperti saudara sendiri.

Ada satu hal pula yang membuat kami menjadi begitu dekat, kami saling menghargai dan saling tenggang rasa satu sama lain. Meskipun pada dasarnya kami berasal dari suku dan agama yang berbeda. Jidon berasal dari Ambon beragama Keristen, Tapa adalah orang Bali beragama Hindu. Sedangkan Aku dan Deni adalah Muslim, aku dari Bugis dan Deni asli Jawa Tengah. Hari-hari kami lalui tanpa sekat.

Yang paling mengesankan bagiku adalah dua sahabatku Jidon dan Tapa, mereka selalu mengucap salam sebagaimana Aku dan Deni berkata Assalaamu ‘Alaykum acapkali masuk rumah. Siapa sangka kalau ternyata Jidon adalah seorang Keristen yang taat. Setiap hari Minggu pagi, Jidon selalu berpakaian dengan setelan yang rapi. Atasan kemeja lengan panjang dan bawahan celana kain warna gelap, ikat pinggang dan sepatu yang senada, tak ketinggalan sebuah Al Kitab ditenteng di tangan kanannya. Penampilan saat ke gereja jauh beda jika hendak berangkat kuliah, dia biasanya ke kampus hanya memakai jeans dan kaos oblong. Jidon, di kampus terkenal sebagai mahasiswa yang rajin dan tekun. Di luar itu dia seorang yang taat dalam agamanya.

Pun siapa yang menduga kalau Wayan Sutapa adalah seorang Hindu yang fanatis. Pada hari-hari tertentu dia bersembahyang di Pura. Pakaian putih-putih, atasan baju putih dan bawahan serupa sarung juga berwarna putih plus ikat kepala menjadi ciri khasnya. Saat dia pulang akan terlihat bunga yang terselip di telinganya dan tanda putih di keningnya. Penampilan yang sangat jauh beda tentunya saat dia ke kampus.

Kami saling menjaga etika jika sudah menyangkut agama dan ritual ibadah. Tidak pernah kami, baik itu Aku ataupun Deni mempersoalkan kenapa Jidon ke Gereja, kenapa Tapa harus ke Pura? sebagaimana mereka juga tak pernah bertanya kepada kami, mengapa pergi ke Masjid? Dengan cara itulah selama hampir empat tahun persahabatan itu tetap terbina, terjalin dengan kompak. Sampai tetangga dekat yang notabene mahasiswa, akrab menyebut kami “empat sekawan”. Ahhh… lirihku dalam hati dan lalu memeluk guling, waktunya tidur.

***

to be continued

Bulukumba, 2712 2014 (Anugerah Os)

________________________________

2.Kacang disko : Cemilan khas kota Makassar

3. Adenium : Nama lain dari kembang kamboja

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun