Berakhir sudah drama manuver politik yang dilancarkan Prabowo dalam menanggapi kekalahan di Pilpres 2014 ini. Diawali dengan retorika “Siap menang , siap kalah” yang selalu didengungkan, yang pada akhirnya diingkari sendiri. Selanjutnya, manuver yang mengancam akan mempidanakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) kepada pihak Kepolisian, namun sayangnya manuver ini kembali gagal mentah- mentah, karena saat tim Prabowo datang ke Kepolisian, Kepolisian menolak menangani kasus karena memang bukan domain-nya, dan merekomendasikan mereka untuk mengadukan permasalahan ke Bawaslu. Manuver yang paling muhtakhir dan tidak disangka-sangka adalah menarik diri dari penyelenggaraan Pilpres 2014, dan sekali lagi hal ini diingkari sendiri , dengan kembali masuk terlibat dalam proses Pilpres 2014.
Penulis mengatakan drama politik Prabowo- Hatta ini berakhir, dengan keputusan mereka terakhir yang mengadukan sengketa hasil pemilu Pilpres 2014 ke Mahkamah Konstitusi. Terlepas dari opini publik yang mengatakan tim Prabowo sangat ngeyel dan tidak mau kalah, kita bersama-sama harus menghargai keputusan tim Prabowo – Hatta ini, karena ini merupakan hak konstitusional yang memang mereka miliki.
Pertama-tama, apresiasi tertinggi harus diberikan kepada Komisi Pembrantasan Korupsi, yang 9 bulan lalu telah berhasil mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar yang melakukan korupsi dalam hal sengketa pemilu daerah.Akil Mochtar ini merupakan mantan politisi Golkar, dan akhirnya saat ini, Akil sudah divonis penjara seumur hidup. Tidak terbayang apa yang akan terjadi , apabila KPK tidak berhasil menangkap Akil, dan pada yang bersangkutan akan menangani sengketa hasil Pilpres 2014 ini.
“Apresiasi tertinggi harus diberikan kepada KPK RI, yang telah berhasil menangkap Akil Mochtar 9 bulan lalu. Tidak terbayang rasanya apabila hal ini telat dilakukan.”
Menanggapi bagaimana implikasi yang akan ditimbulkan dari gugatan tim Prabowo ke MK, penulis beropini bahwa gugatan ini tidak akan sama sekali merubah pemenang Pilpres 2014, yaitu pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Terlalu sulit untuk membuktikan kecurangan telah terjadi “terstruktur, sistematis, masif”, mengingat perbedaan suara mencapai 8.4 juta suara. Namun terlepas dari hal itu, kita sebagai masyarakat haruslah mengawasi Mahkamah Konstitusi, sebagai pilar terakhir konstitusi, agar dapat adil dan tidak terpengaruh tekanan politik.
Selanjutnya, apabila berkaca dalam proses Pilpres yang telah berlangsung ini, terlihat dengan jelas bahwa tim Prabowo-Hatta sangat habis-habisan dalam memenangi Pilpres 2014 ini, bagaimanapun caranya. Pada sebuah wawancara dengan Strait Times Singapura, Prabowo dengan jelas mengatakan “Losing is not an option.”
“Losing is not an option.”, Prabowo told to us.
-Strait Times Singapore-
Lalu, mengapa Prabowo habis-habisan di Pilpres kali ini, dan merasa harus memenangi Pilpres ini? Setidaknya penulis memiliki 3 opini pribadi untuk menjelaskan hal diatas. Sekali lagi, hal ini hanyalah opini pribadi penulis yang bersifat subjektif.
1.Untuk Memenuhi Hasrat Berkuasa Dirinya.
Di militer, karier Prabowo sangatlah gemilang dan meroket dengan sangat cepat, dia telah terbiasa untuk menjadi Komandan dalam sebuah operasi militer, dan pada akhirnya pada tahun 1996 dia diangkat menjadi Komandan Jendral Kopasus. Dalam Orde Baru, menantu mantan presiden Soeharto ini telah terbiasa memiliki kekuasaan, dan hal ini ingin diulangnya dengan menjadi presiden.
2.Mengembalikan Modal Finansial yang Telah Dikeluarkannya.
Sungguh, tidak terbayangkan berapa jumlah dana yang telah dikeluarkan Prabowo dalam mengikuti Pemilu, yang telah diikutinya dua kali ini, Pemilu 2009 dan 2014 ini.
Apabila kita masih ingat, pada tahun 2009 lalu, Prabowo mendirikan partai Gerindra. Prabowo membesarkan partai ini benar- benar dari awal. Partai Gerindra menggebrak dengan iklan yang sangat masif pada 2009 lalu. Iklannya benar- benar masif. Penulis tidak terlalu ingat apa isi iklan Partai Gerindra di 2009 lalu, namun yang penulis ingat, iklannya berdurasi cukup panjang, dan ada di banyak stasiun TV Nasional. Hal ini pasti memerlukan biaya kampanye yang luar biasa banyak.
Prabowo yang mengajukan diri sebagai wapres Megwati dan partai Gerindra memang kalah dalam kedua Pemilu tahun 2009 lalu. Namun perjuangan Prabowo membesarkan partai Gerindra mulai menampakan hasil dalam Pemilu Legislatif 2014 ini, perolehan suara Gerindra meningkat hampir 300%, dari yang hanya sekitar 4% di 2009 lalu, menjadi sekitar 12% di 2014 ini. Hal ini dapat terjadi karena adanya iklan yang sangat masif dari Prabowo dan Partai Gerindra , yang sekali lagi, membutuhkan banyak dana.
Sukses dalam Pileg 2014, Prabowo yang menjadi capres ini, kembali membutuhkan dana besar untuk berkampanye. Kali ini, untuk menyokong dana kampanye nya, Prabowo membentuk koalisi besar dengan orang- orang yang memiliki impian sama : mengembalikan biaya politik yang telah dikeluarkannya. Prabowo berkoalisi dengan Aburizal Bakrie yang riwayatnya hancur dengan Golkar , dan perusahaan- perusahaanya yang kolaps, misalnya di Lapindo. Prabowo dengan bersekutu dengan si “kutu loncat”, Hary Tanoesoedibjo, pemilik MNC Group, yang ingin berpolitik praktis untuk dengan praktis membesarkan perusahaan- perusahaannya. Hary Tanoe yang awalnya ada di Nasdem, loncat ke Hanura karena di Nasdem dia tidak mendapatkan jabatan Ketua Umum yang diincarnya. Di Hanura, dia sempat menjadi calon wakil presiden, namun kandas karena perolehan suara partainya jeblok di Pileg 2014 lalu. Setelah hal itu, Hary Tanoe kembali loncat, keluar dari Nasdem dan manuver terakhirnya adalah mendukung Prabowo.
Dengan modal biaya kampanye tidak terbatas, Prabowo telah meluncurkan segala kekuatan yang Ia miliki untuk memenangi Pilpres ini. Serangan iklan dibantu 4 stasiun TV Nasional besar, TV One, RCTI, Global TV dan MNC TV. Koalisi partai berkekuatan 6 partai besar dengan total suara 60% telah dikantongi. Mesin birokrasi di seluruh Indonesia, sekitar 60% telah diraih dengan “memegang” para kepala daerah untuk mendukung dirinya. Namun , semua hal itu kandas ketika suara rakyat telah bersuara, rakyat bergotong-royong, turun tangan untuk mendukung langsung Jokowi. Dan akhirnya , suara rakyat lah yang menang.
Akhir kata, pastilah sudah tidak terhitung modal politik yang Prabowo telah keluarkan, Penulis sangat yakin, biaya yang telah Prabowo keluarkan bukan hitungan milyar rupiah lagi, namun telah mencapai hitungan trilliun.
“.... Biaya yang telah Prabowo keluarkan bukanlah hitungan milyar rupiah lagi, namun telah mencapai hitungan trilliun.”
3.Pilpres 2014 ini merupakan akhir karier politik Prabowo.
Ini merupakan alasan terakhir, dan yang paling penting. Prabowo, harus diakui, sangat ahli dalam strategi ini pastilah sudah menghitung benar posisinya. Pada Pilpres 2014 ini, pilihannya hanya “NOW or NEVER”bagi Prabowo. Dengan gagal memenangi Pilpres kali ini, tamatlah sudah karier politiknya. Karena tidak ada gunanya lagi mencalonkan diri dalam Pilpres 2019 nanti, rakyat telah pasti meninggalkan dirinya dan move on ke Jokowi.
Dengan keluarnya Jokowi sebagai presiden terpilih 2014 ini juga menandai masuknya Indonesia ke babak baru dengan masa depan yang cerah. Secara resmi, Indonesia terlepas sudah dari sisa peningggalan Orde Baru yang kelam tersebut. Kita tidak akan melihat lagi orang- orang bekas Orde Baru, seperti Prabowo, Wiranto, Megawati, nantinya akan bertarung dalam Pilpres yang akan datang, karena masa mereka lewatlah sudah.
Kita patut optimis, pada Pilpres yang akan datang, kita akan melihat wajah- wajah yang benar dengan tulus ingin mengurusi Republik ini. Ahok, gurbernur DKI Jakarta, Anies Baswedan,penggagas Indonesia Mengajar, Ridwan Kamil, walikota Bandung, Tri Rismaharini, walikota Surabaya adalah wajah- wajah yang telah siap naik kelas ke panggung perpolitikan nasional.
“Secara resmi, Indonesia terlepas sudah dari sisa peningggalan Orde Baru yang kelam.”
Dan untuk mengakhiri tulisan ini, apabila pada akhirnya nanti Mahkamah Konstitusi tidak mengubah hasil pemenang Pilpres, yaitu Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Maka benar tamatlah , riwayat Prabowo Subianto. Mungkin saat tiba saatnya , akan ada dua hal yang benar-benar Prabowo Subianto sesali, “Mengapa saya tidak mengambil kesempatan mengkudeta pemerintah tahun 1998 saat Ia memiliki kesampatan tersebut.....”. Dan yang kedua adalah “Mengapa dia mendukung Ahok dan Jokowi untuk maju dalam PilGub Jakarta kemarin....” Mari kita biarkan Prabowo Subianto meratapi kesendirian, karena tampaknya Ia juga gagal rujuk dengan Titiek Soeharto. J
“Any man who says “I am the King”, is no true King. “