Di belahan lain, proyek ala sayfudin juga berjalan. Alamnya bernama Liga Super Indonesia. Bedanya, pebisnis yang ini hanya tau peras dan minum susunya saja. Di mata mereka, pemain-pemain tenar itu laksana gerombolan sapi gemuk, segar, bersusu montok dan penurut. Susunya bisa diperas tiap hari sampai kering sampai kurus. Kepentingannya hanyalah untuk asap dapur dan status sosial 4 sekawan dan KPSInya. Kalau sudah habis masa produksi, tinggal oper ke penjagalan. Selesailah riwayat sapi.
Gejala bisnis sapi perah mungkin sudah dirasakan Ponaryo Astaman dan teman-teman lain sesama sap.. Maaf, pemain di APPI. Kegelisahan dan kegerahan mereka disampaikan kepada PSSI dalam kunjungannya 29 april lalu di kantor PSSI. Manusiawi apa yang mereka resahkan. Sebagai pemain profesional, apa yang bisa diharapkan dari kompetisi yang tak diakui nasional dan internasional itu? Katak dalam tempurung.
Kegusaran mereka terhadap KPSI yang selalu mengabaikan keinginan rekonsiliasi, bisa berpuncak pada keputusan yang sangat heroik, berani dan mengagumkan: mogok main. Saatnyalah APPI menunjukkan eksistensi dan berjuang membantu pemain-pemain lain untuk maju, berkembang, dan berjuang mengharumkan nama negara. Di tangan mereka, bisa saja ada kunci pembuka pintu rekonsiliasi dan perdamaian.
Dibenakku, pada masanya nanti, aku sangat menginginkan anak dan cucuku akan mengenang mereka sebagai patriot sepakbola Indonesia, bukan mantan sapi perahan.