[caption id="attachment_133034" align="alignright" width="448" caption="demarkasi"][/caption]
Pada September 2011, satu dari sekian pantai di Bali “menghadirkan” tulang belulang manusia, yang diyakini masyarakat setempat sebagai korban Gestapu (Gerakan september tiga puluh). Mungkin akibat abrasi, seperti yang diberitakan kantor berita ANTARA. Sekarang Oktober, bukan Oktober 1965 sampai dengan akhir tahun 1966. Namun dari tulang belulang dan keyakinan masyarakat itu, penulis dihantarkan pada sebuah pengalaman yang begitu “seksi” dari bangsa besar bernama Indonesia. Kemudian sepertinya menjadi naif juga rasanya jika masih saja ada yang memutuskan mata rantai kehidupan semua atas alasan apapun, karena satu hal terpenting dari setiap perubahan adalah lahirnya kesadaran historis pada masyarakat itu sendiri. Sesaat “menyusur mundur untuk maju guna mencari hubungan baik” antara tulang belulang manusia tersebut dengan masa yang menghidupinya, maka berjumpalah pada suatu kenyataan yang memuat fakta: “ketika Pejuang Kemerdekaan dikutuk seperti bandit dan berselang waktu dipuja bagai Dewa, serta yang Merah jelas tak kalah busuk dan wangi saat 'disekolahkan', sementara yang Humanis merintih pada gunung sampai tuntas. Maka Tantanan Baru sudah mulai dengan penyembelihan manusia oleh pahlawan”. Di titik perjumpaan itu (Oktober 1965 sampai akhir 1967) perbaikan coba dilakukan, tidak mudah menunjuk pada satu orang, satu kelompok, atau satu golongan dalam menarik kesimpulan untuk hari kemudian yang menjadi acuan hidup sebagai satu bangsa yang lebih baik dan belum tentu harmonis. Namun, kebenaran memang tidak pernah mendua dalam segala lini pandangan hidup, sekalipun pernah menjadi begitu gelap dan akan terang benderang sebagaimana matahari yang sadar menyinari kehidupan sehari-hari. Dalam rentang waktu panjang sudah terjadi “seribu bunga tak dibiarkan tumbuh berkembang bersama”, dasar relasi sosial selalu diawali dengan curiga dan ketidakpercayaan menjadi motif berinteraksi, sementara kepercayaan belum lagi dimulai. Sehingga bentuk hubungan dalam masyarakat macam itu menjadi hak individu-individu yang belum pasti konsekuen di hari kemudian. Perubahan perilaku terjadi, mengendap padat dan penuh merasuk dalam periode tanpa variasi yang dikelola oleh satu gagasan tunggal milik penguasa. Apa hendak dirasa jika senjata menjadi satu-satunya pilihan untuk meyakinkan orang? Siapapun pada gilirannya ketahui ekses atas segala hal yang dipaksakan tanpa rasionalisasi yang lengkap, sebagaimana kebutuhan manusia ber-interaksi. Tidak hanya karena berhubungan dengan perubahan secara sosiopolitis, lebih jauh dari itu masyarakat kemudian terbentuk-dirubah secara ke-bahasa-an, sebab bahasa juga merupakan dasar (melekat) pada masyarakat untuk menafsirkan segala peristiwa yang menjadi sejarah masyarakat itu sendiri. Ke-tepat-an memproyeksikan segala kemungkinan pada akhirnya dipengaruhi oleh apa yang disebut hegemonik atau yang dominan sebagai rujukkan dalam memahami keadaan sekitar. Dari keadaan yang dimaksud juga tak kalah pentingnya adalah dengan adanya pemahaman dimana kebenaran dipahami baik secara terbuka maupun diam-diam terhadap sebuah peristiwa di segala lapisan masyarakat, seperti halnya tulang belulang manusia tersebut. Subjektifitas bukan lagi menjadi problem terpenting, tetapi begitulah sepertinya hegemoni sebagai kerangka berpikir tentang kekuasaan dalam masyarakat modern (Gramsci, 1971). Hari ini sepertinya kita pantas untuk tidak segera menjadi ahli sejarah atau ilmuwan, sebab sejarah hampir memang seluruhnya 'dimiliki oleh pemenang' yang berkuasa dan hanya pada titik tertentu menjadi sebatas catatan “kesaksian bagi mereka yang menjadi korban sejarah, bukan aktor utama sejarah,” seperti yang di ungkap seorang Albert Camus. Terlalu berbelit juga sekalipun sekedar menjadi ilmuwan di negeri yang segala sesuatunya sekarang diukur dengan uang! Karena itu biar saja ahli bahasa merumuskan dinamika tata pergaulan (masyarakat) bangsa yang kian jauh dari cita-cita pejuang kemerdekaan, baik dalam tataran nasional maupun internasional. Hal demikian tidak semata-mata apatis dan apriori terhadap pemerintahan kekinian, tetapi seberapa lama “ingatan di-tenggelam-kan oleh perangkat pemaksa paling efektif dari sebuah negara telah mengakibatkan ruang tutur hanya luas diatas langit yang tampak genit-melirik satu generasi ke generasi berikutnya”. Jika kemudian telah menjadi rahasia umum bahwa, demokrasi adalah jalan yang rumit dan selalu meminta jenis korbannya sendiri (Goenawan Mohamad), apakah akan se-rumit perjalanan demokratisasi di Indonesia dengan adanya tulang belulang berikut keyakinan masyarakat yang juga sebagai pelajaran penting? Mungkin terlalu tepat apabila “Kebenaran tentang perebutan kekuasaan tidak boleh dibikin jelas; pada mulanya ia terjadi tanpa alasan tapi kemudian menjadi masuk akal. Kita harus memastikan bahwa kebenaran itu dianggap sah dan abadi; adapun asal-muasalnya sendiri harus disembunyikan, jika kita tidak ingin kebenaran itu cepat berakhir” (Blaise Pascal, Pensees 1670). Ya, menjadi paling rumit dari bangsa-bangsa lain, hal demikian cukup kiranya dipertegas dengan keberadaan tulang belulang manusia tersebut. Akibat terlalu rumit, Indonesia tampak di-biasa-kan dengan hal ikhwal yang kemungkinan selalu sengaja dibuat sulit (akal-akalan ilmiah) dengan alasan yang belum tentu tuntas rasionalisasinya bagi seluruh lapisan masyarakat, padahal modernitas sudah teradikalisasi (globalisasi). Pokok pikiran yang melandasi tulisan ini hanya sekedar “memulihkan batin dan badan yang kalut membungkus tulang manusia paling subjektif atas nasionalisme yang tidak lagi berada pada tataran perut”, sebab memang tidak mungkin menjadi bijaksana dan jatuh cinta dalam waktu yang sama. Saat ini dahulu atau mungkin yang akan datang menjawab, siapa saja pejabat tingkat pusat dan daerah yang korupsi serta berapa jumlah tragedi kemanusiaan (peristiwa bentrok massa) yang terekam media massa dan tidak terpublikasi? Akan serta merta menjelaskan seberapa jauh nasionalisme tertanam sekaligus di-aplikasi-kan oleh manusia kekinian, dan turut menjelaskan seberapa tinggi tingkat disiplin moral yang diaplikasikan negara terhadap warga bangsa. Melihat kembali masa demi masa, dinamika tanggung jawab negara terhadap rakyat yang pada dasarnya “kena pajak” dengan segala aturan diberlakukan (sejak negara terbentuk) oleh pemerintah kepada yang diperintah adalah dialektika yang menjelaskan eksistensi perwakilan dan keterwakilan pasca pemilu sebagai jendela demokrasi paling esensial. Dengan kata lain perilaku para pejabat dari masa ke masa banyak tidak berkesesuaian dengan amanat yang diembannya, sehingga layak menjadi katalisator bukan hanya pada tulisan ini tapi juga pada peristiwa-tragedi kemanusiaan yang melibatkan orang banyak selama waktu berselang, hal demikian telah merupakan sumbangsih terhadap pemandangan negeri. Jika wujud konsistensi seperti air mata yang mengalir maka selayaknya kesedihan dan kesenangan menjadi perpustakaan berjalan, dan bermanfaat “merekonstruksi bangunan kebangsaan Indonesia yang didalamnya terdapat seribu bunga, tumbuh berkembang bersama”. Bali dengan pantai-nya yang mengalami abrasi dan menyisakan tulang belulang manusia itu, menjadi satu dari banyaknya daerah di Indonesia yang nyaris sama punya cerita mengerikan saat baru dimulainya sebuah tatanan (orde), dimana saling meniadakan satu sama lain adalah sah-sah saja! Sekarang reformasi telah berlangsung dengan kecenderungan mengeliminir segala hal bernuansa orde sebelumnya, tapi sekali lagi, korupsi dengan segala macam bentuknya yang khas pada tiap lini kehidupan yang sampai hari ini belum menjadi keyakinan mutlak bersama untuk meniadakan pelakunya, dapat kemudian menjadi tolak ukur bagi kemajuan sebuah bangsa. Bahwa ternyata dalam setiap masa peralihan dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya memiliki “jalannya sendiri-bergerak sekehendak gagasannya telah bertemu dalam satu irisan kepentingan sama, melanggengkan budaya yang hanya menyisakan toleransi pada akhirnya”. Keterkaitan yang tidak terkait dan panjang tersebut mungkin telah melahirkan suatu kecenderungan relasi sosial yang semakin banyak digunakan sebagai kekuatan dalam mempertahankan berbagai kepentingan melanjutkan segala hal yang menguntungkan secara sepihak, dengan klaim kebenaran demi bangsa dan negara, pada gilirannya “toleransi melulu menjadi lampiran akhir dalam ketegangan ikatan kebangsaan”. Tanpa diimbangi dengan pengertian-pengertian dari kaum terpelajar kepada masyarakat secara meluas tersebar merata, maka terlalu berlebihan juga apabila kesadaran berbangsa dan bernegara semua kita segera disebut modern dan sudah sesuai tuntutan (zaman) globalisasi. Harapannya kemudian, demokrasi tidak menjadi pengetahuan yang terlalu rumit ketika dalam jangka waktu bersamaan wujud rasionalitas menjadi disiplin yang menerangkan bukan alat propaganda satu kelompok atau satu golongan dalam berbangsa dan bernegara, dan disisi lainnya integritas ke-Iman-an wajib dimaksimalkan konsekuensinitasnya dalam ber-demokrasi yang melulu menuntut ke-dewasa-an di setiap ruang geraknya. Hal demikian agar supaya tragedi kemanusiaan karya anak negeri sendiri tidak lagi jadi kenyataan, dan (merdeka) tumbuh berkembang bersama di Indonesia.
KEMBALI KE ARTIKEL