Kabar kejahatan asusila terhadap siapa pun, mendidihkan emosi orang banyak. Apalagi bila terjadi pada seorang anak di bawah umur. Seperti kejahatan asusila yang menimpa seorang murid taman kanak-kanak Jakarta Intrnasional School. Anak yang berinisial MAK ini, menurut berita-berita di media massa, disodomi oleh 5 orang petugas kebersihan di JIS.
Betapa bejatnya moral orang-orang tersebut. Dada ini rasanya sesak! Prihatin. Maklum saja, saja juga punya putra yang masih kecil-kecil. Saya ngeri, bahkan tidak bisa membayangkan bila itu terjadi pada anak saya.
Media massa baik nasional maupuan internasional memang begitu antusias memberitakan kasus ini. Bagaimana tidak, JIS, sekolah internasional, ternama dan terbaik di Asia, dengan pengamanan yang super ketat itu ternyata sarang paedofil.
Waktu pun terus berjalan, kasus JIS ini pun disidangkan. Dari proses pengadilan ini banyak fakta-fakta yang terungkap, yang mengemukakan keganjilan dari kasus ini. Berita kasus ini pun mengubah persepsi saya 180 derajat!
Awalnya saya mengira bahwa kejadian kejahatan asusila itu benar-benar terjadi. Namun ternyata, kasus itu hanya rekayasa untuk memojokkan pihak JIS dan menjatuhkan nama baiknya!
Ada beberpa poin yang saya garis bawahi akan kejanggalan kasus ini, dan berharap saya maupun pembaca dapat bercermin dari kasus JIS ini.
Pertama, soal tuduhan sodomi sebanyak 13 kali dilakukan oleh 4 sampai 5 orang secara bergiliran. Tanpa harus mengerti soal hukum dan kedokteran, bagi saya masyarakat awam, sangat mudah untuk menganalisa kalau tuduhan ini hampir bisa dibilang tidak mungkin terjadi dan sangat fantastis. Apalagi dilakukan kepada anak 6 tahun. Terbukti dengan pernyataan seorang saksi ahli di persidangan, yang mengatakan, Jika memang benar MAK disodomi sampai 13 kali, pasti sekarang dia sudah mati.
Kedua, mengenai penyiksaan kepada para terdakwa. Hal ini bukan omong kosong belaka, jika polisi dalam melakukan penyidikan terhadap terduga, menggunakan cara kekerasan atau intimidasi. Maklumlah, Indonesia masih merapkan sistem hukum pidana Belanda, di mana di situ ada ketentuan tindak pidana khusus orang pribumi, dan hanya berlaku untuk masyarakat pribumi.
Dan begitulah, para terdakwa mengalami intimidasi pihak penyidik kepolisian agar mengakui BAP yang susun oleh pihak kepolisian.
Namun agaknya Tuhan berkata lain. Ada yang meninggal dalam kasus ini ketika dalam proses penyidikan. Dan foto orang tersebut sempat beredar di media massa dan televisi. Dengan wajah bengkak dan lebam, mata biru dan bibir pecah. Kalau orang tersebut meninggal karena bunuh diri minum racun seperti yang dulu diberitakan, harusnya orang tersebut mulutnya berbusa akibat keracunan.
Beberapa hal lain yang mencengangkan adalah hasil pemeriksaan medis itu sendiri. Dari saksi-saksi ahli yang dihadirkan baik dari pihak korban maupun terdakwa di persidangan, mengungkapkan bahwa kekerasan seksual terhadap korban itu tidak ada dan tidak terbukti.
Seperti kesaksian dari dr Narrain Punjabi dari Klinik SOS Media. Dokter yang pertama kali memeriksa MAK, mengatakan, MAK tidak pernah mengalami kekerasan seksual.
Fakta medis lainnya dari RSCM juga mengungkap bahwa kondisi dubur AK normal. Dan terakhir, dr Jafferson juga mengatakan, jika 13 kali AK mengalami tindak asusila, bisa dipastikan AK akan tewas. Dan nanah yang terdapat dalam lubang pelepasan AK, bukan akibat penyakit herpes yang ditularkan oleh pelaku kekerasan seksual terhadap AK, akan tetapi karena bakteri.
Sepertinya Tuhan punya andil dalam proses kasus ini sehingga kebenaran secara perlahan bermunculan dalam persidangan. Yang menarik adalah pandangan saya saat ini terhadap ibu korban yang berinisial TPW. Bagi saya, ketika sebuah musibah dapat terhindari terhadap anak sendiri, seharusnya orangtua akan bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan.
Namun ibu korban ini, entah mengapa ia tetap ngotot dengan keyakinannya kalau anaknya mengalami kejahatan asusila. Kalau dipikir lagi, Â anak ini sudah diekspos ke berbagai hal yang terlalu berat bagi anak umur 6 tahun. Bayangkan, anak ini dibawa ke empat rumah sakit untuk dites.
Ia harus membuka celana, diperiksa anusnya, yang pastinya membuatnya tidak nyaman. Ia pun harus menjawab berbagai pertanyaan dari orang yang asing baginya, dan terlalu berat bagi anak seusianya. Ingat, MAK baru berumur 6 tahun. Sungguh berat hari-hari yang harus dilewati oleh MAK.
Saya jadi terheran-heran dengan sikap ibu seperti ini. Apakah karena ego dan rasa malunya sehingga ia bersikukuh kepada pendiriannya meskipun semua fakta menyangkal tuduhannya? Apakah karena keinginan dan tekad bulatnya untuk menjatuhkan institusi telah membutakan mata hati seseorang terhadap kebenaran dan mengorbankan tujuh orang yang saat ini menjadi pesakitan hukum, dan satu lagi tewas di toilet Polda Metro Jaya? Apakah uang Rp 1,5 triliun, seperti yang dituntutkannya kepada JIS, bisa membalik hati nurani dan menjustifikasi sebuah tuduhan dan kebencian?
Seharusnya saat ini, orang yang memiliki logika dan akal sehat dan cukup mengikuti perkembangan kasus ini, bisa yakin kalau ada sesuatu yang tidak wajar dalam kasus ini.
Karena kalau kasus ini wajar, harusnya tidak ada yang meninggal, tidak ada yang disiksa, dan yang terwajar, tidak ada yang ngotot anaknya disodomi ketika bukti tidak mengatakan demikian.
Saya hanya bisa mengelus dada, dan berdoa semoga MAK baik-baik saja, baik sekarang atau pun masa depannya nanti. Semoga kebenaran dapat segera terungkap dan keadilan dapat segera ditegakkan, sehingga para cleaning service itu dapat segera mendapatkan keadilannya. Dan semoga kita semua, terutama para ibu, semakin bijak dalam menyikap setiap persoalan yang menimpa anak-anak kita.